BSC 2

1094 Words
Sebuah ballroom hotel mewah telah disulap menjadi sebuah ruang pertemuan super luas. Dimana terdapat meja-meja yang tersusun rapi. Terdapat berbagai hidangan mewah berikut minuman berwarna warni. Ruangan megah itu kini tampak dipenuhi tamu bersetelan jas dan gaun-gaun mahal. Itu adalah pertemuan para pengusaha yang memang kerap diadakan setiap tahunnya oleh asosiasi pengusaha yang ada di negara itu. Kenzio sebagai salah seorang tamu pun masuk ke dalam ballroom tersebut. Ia melangkah dengan penuh percaya diri. Wajah tampan dan tubuh proporsionalnya seketika menarik perhatian lawan jenis. Kenzio termasuk salah seorang pengusaha muda yang kompeten dan handal. Setelah sukses dengan bisnis hotel-hotel mewahnya, kini Kenzio akan merambah ke dunia konstruksi. Perkembangan pembangunan di segala sektor membuat instingnya sebagai pengusaha ingin mengembangkan usahanya di bidang tersebut. Tak tanggung-tanggung, ia pun mengembangkan usahanya di lima jenis bidang konstruksi. Mulai dari jasa perencana konstruksi, jasa pelaksana konstruksi, pengawas konstruksi, penyedia alat dan material konstruksi, serta penyewaan hasil konstruksi (properti). Jelas saja, hal ini akan menambah pundi-pundi uang miliknya. Wajar saja, kini ia semakin digilai para wanita. Bukan hanya karena parasnya rupawan, tapi juga kekayaannya yang mungkin takkan habis sampai sepuluh turunan. Satu persatu pengusaha mencoba mendekati Kenzio. Tentu saja dengan harapan bisa menjalin kerja sama. Bahkan ada juga yang berniat menjodohkannya dengan putri-putri mereka. Tak peduli dengan rumor yang mengatakan kalau Kenzio merupakan seorang casanova sebab bagi sebagian besar pengusaha yang terpenting adalah keuntungan. Mereka lebih mementingkan keuntungan dan keberlangsungan usaha mereka. Toh, memiliki wanita lain merupakan hal yang wajar bagi para pengusaha besar yang penting kehidupan anak-anak mereka akan terjamin pun usaha mereka semakin besar dan berjaya. Sungguh Kenzio merasa jengah berada di perkumpulan itu sebab para penjilat biasanya akan mulai beraksi. Mencari simpati, melontarkan kata-kata manis penuh sanjungan, ah, sangat menyebalkan. "Jam berapa acara ini berakhir?" tanya Kenzio yang memilih menepi ke tempat yang sedikit tertutup. Sejak tadi orang-orang sibuk mendekati dirinya. Kenzio yang pada dasarnya introvert benar-benar merasa risih. "Kurang lebih dua jam lagi," jawab Devon santai sambil menenggak cairan kuning keemasan miliknya. Kenzio berdecak kesal. Sebenarnya ia bukan hanya kesal dengan pertemuan itu, tapi ada satu hal lagi yang membuatnya semakin tak nyaman. Lucy Hayley. Dia ada di sana. Dia datang mendampingi suaminya–Alfons Belgio. "s**t!" umpat Kenzio pada akhirnya, akibat rasa tak nyaman yang ia rasakan. Kenzio menenggak isi gelasnya hingga tandas. Kemudian, ia mengambil lagi dari pelayan yang melintas di depannya. Saat baru saja hendak menenggaknya, tiba-tiba ada suara seseorang yang menyapa dirinya. Kenzio dan Devon pun segera menoleh. Kenzio dan Devon terkejut saat melihat siapa yang menyapa tersebut. Namun, sebisa mungkin mereka menutupi ekspresi itu. "Senang melihatmu lagi, Tuan Kenzio," ucap laki-laki yang tak lain adalah Alfons tersebut. Kenzio mendengus. "Tak perlu berpura-pura ramah karena kita tidak sedekat itu," jawab Kenzio bernada ketus. Tawa pun terdengar dari mulut Alfons. "Bukan tidak, tapi sudah tidak. Jangan lupa kalau kita pernah bersahabat dulu!" Kenzio berdecih. "Dan kau sendiri yang merusaknya, kau tidak lupa itu, bukan!" Lagi-lagi Alfons tertawa. "Ya, ya, ya. Jadi apakah kita bisa kembali bersahabat seperti dulu?" Ya, dulu Kenzio, Devon, Alfons, dan Jackley bersahabat. Mereka bersahabat sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Kenzio, Alfons, dan Jackley merupakan anak-anak pengusaha. Orang tua mereka saling mengenal, tapi bukan bersahabat. Sementara Devon adalah anak asisten pribadi ayah Kenzio. Kenzio tersenyum miring. "Kau pikir aku mau?" "Ah, ya, tidak mungkin lagi, benar?" Kenzio tidak menanggapi. Ia lebih memilih menenggak minuman miliknya. Getir terasa, tapi nyatanya minuman itu mampu sedikit menetralisir ketidaknyamanannya atas kehadiran Alfons. "Ekhem, Kenzio, apa kau tidak mau memberiku selamat?" ucap Alfons ambigu. "Selamat?" Kenzio mengerutkan keningnya. "Ya. Selamat. Selamat atas kehamilan kedua istriku. Sebentar lagi keponakanmu akan bertambah satu lagi. Bagaimana? Benihku tokcer, bukan?" Alfons tersenyum lebar. Jelas Kenzio tahu apa maksud dari senyuman itu. Senyuman mengejek karena mantan kekasihnya yang kini sudah menjadi istrinya berhasil mengandung anaknya. Senyuman mengejek karena sampai kapan pun ia takkan mungkin menghamili seorang perempuan pun. Dada Kenzio seketika sesak. Pasokan oksigen di sekitar seakan menipis membuat dadanya naik turun. Rahangnya mengeras. Jelas sekali kalau Alfons sengaja menyentuh titik terlemahnya. Devon yang melihat itu jelas khawatir. Devon pun segera bergerak dan mengajak Kenzio pergi dari sana. Tangan Kenzio mengepal erat. Sekuat tenaga ia mengendalikan diri agar tidak menghajar laki-laki sialan di hadapannya itu. Awalnya, Kenzio hendak menolak ajakan Devon, tapi Kenzio sadar membuat keributan hanya akan menjatuhkan nama baiknya. Orang-orang akan semakin mengecapnya lemah. Kelemahannya akan menjadi olok-olok. Kenzio jelas tidak menginginkan hal itu terjadi. Alhasil, ia pun memilih berdiri. Dengan sorot mata setajam tatapan elang saat mengintai mangsa, Kenzio menatap Alfons mengintimidasi. "Selamat atas kehamilan mantan kekasihku itu. Tapi ingat, kau memang berhasil memilikinya, tapi ...." Kenzio tersenyum remeh. "Akulah yang pertama menjadi pemilik utuh seorang Lucy Hayley. Apakah nikmat memiliki bekas diriku?" sinis Kenzio dengan tatapan mengejek. Mata Alfons seketika membulat. Ia tidak menyangka kalau Kenzio akan mengeluarkan kata-kata setajam itu untuk membalasnya. "f*****g s**t!" umpat Alfons yang seketika terpancing emosinya. Meskipun apa yang Kenzio ucapkan itu benar kalau Lucy pernah menjadi milik Kenzio, tapi tetap saja mengingat hal tersebut membuat Alfons kesal bukan main. Kenzio tidak menanggapi umpatan Alfons. Ia lebih memilih beranjak dari sana meninggalkan Alfons yang mengumpat marah. Sementara itu, kini Kenzio dan Devon sudah berada di dalam mobil mereka. Wajah Kenzio tampak merah padam. Sekuat tenaga ia menahan amarah pada Alfons, apalagi mendengar kabar kalau Lucy Hayley sudah hamil anak keduanya, membuat rasa sakit yang belum sembuh kembali menguar. "Aargh ... b******k! b******n kau, Alfons! Aku membencimu. Sangat membencimu." Kenzio menjerit dan mencaci maki dengan suara menggelegar. Devon yang sudah biasa mendengar itu segera mengambil earphone dan menyumpalkannya di telinga. Ia menyetel suara musik sekencang mungkin agar telinganya tidak ikut pengang atas segala umpatan dan caci maki Kenzio di bangku belakang. Melihat wajah sopirnya yang sesekali mengernyit karena mendengar teriakan Kenzio membuat Devon menahan tawa. Ia pun melepaskan kembali earphone dan menyerahkannya pada sang sopir. "Aku belum mau mati karena kecelakaan akibat kau yang tidak bisa berkonsentrasi. Pakai ini!" Sopir pun segera menerima dan memakai earphone itu. Kini tinggal Devon yang terus memperhatikan Kenzio yang sudah tampak lebih tenang setelah meluapkan segala emosinya. Devon membuka sebotol air mineral dan menyerahkan pada Kenzio, tapi ia menolaknya. "Vodka," ucap Kenzio. Ia memang membutuhkan cairan bening itu untuk menenangkan pikirannya yang sedang bergemuruh. Benci, marah, kecewa, dan cemburu bercampur aduk menjadi satu. Devon pun mengalah dan memberikan apa yang Kenzio inginkan. Setelah menerima minuman itu, Kenzio pun menenggaknya santai seakan sedang meminum air putih. Setelah menghabiskan satu botol, ia pun meminta hal lainnya pada Devon. "Carikan aku wanita sekarang juga!" titahnya tepat saat mobil yang ia tumpangi berhenti di depan pintu masuk hotel miliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD