Para Pengkhianat Di Depan Mata
“Sonya Ardana ditemukan tak sadarkan diri di kaki Gunung Putri. Pewaris tunggal keluarga Ardana ini diduga terpeleset di tebing, yang membuat ia jatuh dan tak sadarkan diri. Pihak keluarga yang mencemaskan kondisi korban, kini memutuskan untuk merawat Sonya di rumah dengan sistem rawat jalan. Sekarang kita beralih pada berita para demonstran di ....”
Konyol sekali!
Dalam berita dikatakan jika keluarga Sonya merasa cemas pada kondisinya. Padahal, semua hanya akting belaka.
Tuhan memberikan kesempatan kedua untuk Sonya.
Kini dia diberkati lagi oleh Tuhan, untuk menguak kebusukan suami dan orang-orang yang membantunya.
“Syukurlah sekarang Nyonya Sonya ditemukan dan telah kembali pulih. Kami sebelumnya benar-benar pontang-panting mencari Nyonya di gunung tersebut.” Ririn bicara pada Sonya yang duduk di sampingnya.
Tentu saja, sekarang wajah Ririn sudah dikenali oleh Sonya. Tapi perempuan itu masih berpura-pura untuk tidak bisa melihat seperti sebelumnya.
“Begitu, ya? Tapi kalian pasti terlambat melaporkan aku pada tim SAR. Karena mereka awalnya sempat tidak mengenaliku dan tidak tahu siapa aku.” Padahal Sonya juga sudah tahu jika suami dan para pengkhianat ini justru bahagia dengan hilangnya Sonya.
“Hmmm, itu ... karena kami semua panik dan tidak terpikir untuk meminta bantuan tim SAR. Kami semua mencari sendiri.” Jawaban Ririn penuh dengan kebohongan.
“Oh, iya, aku bisa mengerti! Untung saja, ya, Rin! Aku ini adalah anak konglomerat, jadi kebanyakan di antara mereka segera mengenalku. Keluarga Ardana memang sangat terkenal di Provinsi ini! Seandainya aku adalah orang biasa sepertimu, mungkin aku akan dibiarkan membusuk di bawah tebing sana sampai mati.” Sonya sengaja menjawab seperti demikian, dia ingin melihat bagaimana raut wajah dari Ririn ketika secara tidak langsung ia sumpahi mati di kaki gunung.
Benar saja, pembantu sekaligus selingkuhan dari suaminya tersebut meremas-remas tangan di depan wajah Sonya. Seakan wanita tersebut ingin memukul Sonya, tapi ia tak kuasa.
Di depan Ririn yang sedang ingin meluapkan amarah, Sonya hanya menikmati pemandangan tersebut dengan tatapan mata kosong seolah ia tak melihat apa-apa.
“Ririn?” panggil Sonya.
“I ... iya?” jawab Ririn dengan wajah jutek.
“Oh, kukira kamu sudah pergi karena tidak ada suaranya.”
“Hmmm, saya masih di sini, Nyonya!”
Sonya juga tahu, tapi ia pura-pura tidak!
“Kalau kau mau lanjutkan pekerjaanmu, lanjutkan saja! Suamiku membayarmu di sini karena menyukai pekerjaanmu, jadi kau harus bekerja! Aku masih ingin duduk ber-SANTAI di sini!” Dari kalimatnya, Sonya ingin menegaskan posisi dan kasta mereka berdua yang jauh berbeda.
Ririn menyipitkan mata dan menatap tajam ke arah Sonya. Seakan dia sadar, jika Sonya memang sedang menghina dirinya. Perempuan itu mengeratkan rahang seakan menahan mulutnya agar tidak mengumpat. “Baik!” jawabnya.
Sonya tersenyum sambil bersandar di sofa. Dia menghabiskan secangkir teh melati di depannya.
“Maas ....” Ririn tiba-tiba memeluk pada Hardi di depan Sonya.
Sesuatu menyerang jantung Sonya dan menancap dengan tepat di ulu hatinya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk kuat melihat pemandangan menjijikkan di depan mata.
“Hei, kau sedang apa ...? Ada Sonya di sana ...,” bisik Hardi sambil mencoba melepas pelukan Ririn.
“Biarkan saja, toh, dia buta!” jawab Ririn dengan penuh kekesalan.
Sonya tersenyum dalam hati. Sekuat tenaga ia menahan agar tidak muntah sembarangan di ruang tengah. “Lihat saja, aku akan membalas semua perbuatan kalian.”
“Jaga mulutmu! Nanti dia mendengar semuanya! Dia hanya buta, bukan tuli!” timpal Hardi yang menghempaskan tangan Ririn begitu saja.
“Sayang ....” Sonya mencoba memanggil Hardi sambil meraba-raba ke depan. “Aku seperti mendengar suaramu. Kau belum berangkat kerja?”
“Hai, Sonya. Ada yang tertinggal, jadi aku kembali lagi. Kau sudah sarapan?” Hardi bertanya dengan lembut sambil mengusap kepala Sonya.
“Sudah!” jawab Sonya dengan senyum yang cerah seperti biasa.
“Kalau begitu aku berangkat dulu, ya!” pamit Hardi sembari mencium kening Sonya.
Hal tersebut membuat Ririn mengerucutkan bibir sampai satu meter di ujung sana, lalu perempuan itu pergi dengan mengentak-entakkan kakinya.
“Dah!”
“Dah, Sayang!” Sonya melambaikan tangan ke sembarang arah seakan tak melihat posisi Hardi sedang ada di mana.
Hardi juga pergi meninggalkan rumah untuk berangkat ke kantor. Seketika Sonya pun bergidik!
“Ya Tuhan, bisa-bisanya selama ini aku selalu terbuai oleh elusannya di kepalaku. Padahal tangan itu sudah sangat kotor untuk dia gunakan menyentuh perempuan rendahan tersebut!” Sonya menyimpan penuh kekesalan dalam hatinya.
**
Di dalam rumah ini, Sonya harus selalu berhati-hati. Walau ia sedang sendiri, dirinya tetap harus berpura-pura buta. Termasuk ketika di kamarnya dan melihat foto pernikahan memuakkan itu dipajang.
Perempuan tersebut meraba-raba pada dinding dan berjalan ke belakang.
“Hari ini kamu kenapa?” Suara ibu mertua di kamarnya.
“Sedang bicara dengan siapa dia?” gumam Sonya di luar. Kebetulan saat ini dirinya sedang melewati kamar sang ibu mertua.
“Mas Hardi, dia bermesraan dengan Sonya di depanku! Aku jadi kesal!”
Sonya pun terkekeh begitu mendengar suara tersebut. “Oh, ceritanya dia mengadu pada ibu mertua! Baiklah, sabar, Rin! Ambil saja ibu mertua dan suamiku, tapi nanti! Setelah aku membalas perbuatan kalian seribu kali lipat!”
“Hah! Jangankan kamu, ibu juga kesal melihat wajahnya ada lagi di rumah ini! Seharusnya dia dibiarkan saja di rumah sakit, kita tidak perlu mengaku kalau Sonya sedang hilang!”
Ucapan ibu mertua membuat Sonya meremas tangannya kesal. Tapi untuk saat ini, ia masih belum bisa bertindak apa-apa!
“Kalau begitu, bagaimana saat Sonya sadar! Dia pasti akan minta diantar kemari oleh polisi,” timpal Ririn.
“Ya, makanya ibu juga heran. Kok bisa dia masih hidup? Padahal ibu melihat sampai berulang kali dari video waktu Hardi mendorong si buta itu! Tidak ada yang salah! Seharusnya dia mati, bagian bawah tebing itu adalah batu-batu tajam, kenapa kepalanya tidak hancur saja!” Sang ibu mertua mengatakan kalimat yang sangat menyakitkan.
Sonya menelan ludah, dia kembali ke kamar untuk mengambil beberapa barang. Lalu dirinya pun menemui Ririn lagi di kamar perempuan tersebut.
“Rin! Ririn!” panggil Sonya dengan penuh kekesalan.
“Duh! Apa, sih, kamu ini teriak-teriak di depan kamar ibu?” timpal ibu mertua yang ikut keluar dari kamarnya.
“Oh, aku mencari Ririn, Bu! Tadi aku dengar suaranya di sini!”
“Ada apa, Nyonya?” jawab Ririn dengan senyum sinisnya. Dia selalu memasang wajah yang kecut saat bertemu Sonya, tapi nada bicaranya selalu dibuat-buat agar terdengar ramah.
“Aku mau minta tolong, bisa kau jepit ini dengan stapler?” Sonya menyerahkan beberapa lembar foto dan juga staplernya.
“Heuh! Melakukan hal yang seperti itu saja butuh bantuan orang! Memang jadi orang buta itu menyusahkan!” gerutu ibu mertua yang pura-pura tak didengar oleh Sonya.
Sementara itu, Ririn menerima stapler dan foto dengan wajah masam. Dia pun mulai menjepit foto-foto tersebut dengan staplernya. “Loh, ini staplernya kosong?” Ririn membuka bagian dalam stapler yang kosong.
“Aku juga membawa kawat stapler isi ulangnya, kok, tadi! Apa tidak ada?” Sonya menoleh ke kanan dan kiri, padahal ia sengaja menjatuhkan kawat tajam tersebut di sekitar kaki ibu mertua dan juga Ririn.
“Jangan-jangan jatuh?” gumam Ririn sambil mencari ke bawah. “Oh, itu! Awas, Bu!”
“Aduh! Aw!” Ibu mertua malah tak sengaja menginjak kawat tersebut dan membuat kakinya berdarah.
“Yah!” Ririn melihat kaki sang ibu mertua yang berdarah-darah.
“Gara-gara itu anak ...!” Sang ibu mertua menunjuk pada Sonya.
“Oh, jadi terinjak, ya? Maaf! Aku juga tidak sengaja.” Sonya memasang wajah melasnya. Dia hanya bisa diam di tempat karena dia buta.
“Rin! Cepat ini bersihkan! Tolong aku!” Ibu mertuanya yang cerewet itu malah mengomeli Ririn.
Sonya mengulum senyum simpulnya melihat bagaimana Ririn membopong sang ibu mertua dan mencoba untuk membersihkan kaki ibunya Hardi tersebut.
“Pelan-pelan! Kau tidak bisa mengurus orang yang terluka, ya?”
“Kenapa kau ceroboh sekali! Kalau kau mengobatinya begitu, kakiku tidak akan sembuh!”
“Ah! Aduh! Perih! Pelan-pelan!”
Mendengar teriakan demi teriakan sang ibu mertua kepada Ririn, membuat Sonya terkekeh. “Nah, Ririn! Ini baru permulaan! Begitulah ibu mertua impianmu yang akan kamu dapatkan nanti!”