Kubalas Mereka dengan Perlahan
“Ibu bilang, dia melihat videoku berulang kali untuk memastikan aku benar-benar mati saat kejadian itu?” Sonya berpikir dalam kamarnya sendiri. Dia mengingat pembicaraan antara ibu mertuanya dengan Ririn barusan.
“Kalau begitu, itu artinya ada orang lain yang mengikuti kami saat ke Gunung Putri. Orang tersebut yang mengambil video saat aku dijatuhkan! Apa Hardi yang merekamnya sendiri? Keterlaluan, dia berniat mengabadikan momen saat membunuh orang! Memang benar-benar perilaku mereka seperti binatang!”
Lagi-lagi, Sonya harus bergidik bila mengingat perilaku Hardi. Dia tak bisa menahan rasa jijik atas kelakuan mereka yang dilakukan di belakang Sonya.
“Aku harus mencari tahu video itu!” pikir Sonya.
**
Matahari tenggelam di ufuk barat. Warna langit yang jingga keemasan membuat hati Sonya terasa hangat. Dia sedang berada di balkon belakang rumah, dekat sebuah ruangan tak terpakai yang biasa digunakan sebagai kamar tamu.
Air matanya mengalir tanpa terasa karena sebuah perasaan rindu tak berujung yang menggerogot jiwanya. Rindu pada sosok yang telah tiada, rindu pada semua pemandangan yang sudah lama tak bisa ia nikmati keelokannya.
“Ya Tuhan, terima kasih! Terima kasih kau telah memberikan keajaiban untuk diriku ini.” Sonya bergumam dalam hati dengan perasaan bahagia.
“Ibu! Berhenti merengek dan kesal karena aku membawa Sonya kembali ke rumah ini.” Suara Hardi terdengar dari luar, sepertinya mereka tak tahu jika Sonya juga berada tak jauh dari mereka.
“Kamu! Hardi ... pahamilah ibumu yang sudah tua ini. Kaulihat sekarang, kaki ibu berdarah karena istrimu yang buta itu ceroboh. Seandainya di rumah ini tak ada seceroboh dia, maka kakiku akan baik-baik saja.”
“Benar, Mas! Aku juga berada di sana saat ibu tak sengaja menginjak kawat stapler tersebut. Semua memang gara-gara Sonya.”
Bahkan ibu mertua dan juga Ririn ikut menggunjing dirinya. Sonya tersenyum dari kejauhan, dia semakin menggeser posisi agar tidak bisa dilihat oleh mereka.
Hardi terdengar menghela napas yang cukup berat. “Baiklah, Hardi mengerti, Bu! Hardi minta maaf untuk rasa tidak nyamannya. Akan aku panggilkan dokter untuk merawat kaki ibu, ya?”
Sonya bergidik membayangkan pasti saat ini Hardi sedang bersujud di kaki ibunya, karena luka tersebut.
“Ibu tidak butuh dokter! Ibu hanya butuh ketenangan di rumah ini. Ibu ingin Sonya kaubawa keluar lagi dari rumah!” pinta sang ibu mertua yang membuat Sonya meradang.
Dari tempatnya, Sonya menggumam. “Rumah ini adalah rumahku, seharusnya kalian yang keluar!”
“Ibu bersabar, ya! Kita sekarang sedang disorot oleh media! Bagaimanapun juga, keluarga Ardana itu sangat terkenal. Jadi ... seperti yang ibu tahu sendiri, kalau berita tentang kejadian yang menimpa Sonya kemarin sedang muncul di mana-mana! Kita tunggu agar media mereda dan mereka tidak memperhatikan kita lagi, ya!” Suara Hardi memang terdengar begitu jantan, berwibawa, dan hangat, sangat pantas jika Sonya menganggap pria itu sebagai sandaran hidupnya.
Seandainya Tuhan tak memberi kesempatan kedua pada Sonya, mungkin selamanya dia akan dibodohi di rumah ini. Setiap pagi bangun tidur di kamar sendiri, sambil berhadapan dengan foto wanita lain yang menjadi selingkuhan suaminya.
Sonya mengintip dari balik tiang balkon. Dia bisa melihat bagaimana ibu mertuanya sedang membuat drama mengenai kakinya yang sakit.
“Oke, kalau kamu tidak bisa mengusir Sonya! Tapi minimal kamu harus menegur dia! Tunjukkan kalau kamu lebih sayang pada ibu daripada Si Sonya yang buta itu!”
“Baik! Aku akan segera menegur Sonya! Tanpa ibu minta juga, aku sudah berniat untuk menegurnya! Dia tidak bisa untuk berperilaku apalagi sampai melukai orang lain, terutama ibuku!” Wajah Hardi tampak sangat serius.
Dari tempatnya, Sonya mengeritingkan bibir mencibir perilaku mereka. Namun kali ini ia kurang hati-hati.
‘Prang!’ Pot tembikar yang berisi anggrek tak sengaja ditendang oleh Sonya.
Hal tersebut sudah jelas menyita perhatian orang-orang yang sedang menggunjingnya barusan.
“Gawat, aku harus apa?” gumam Sonya yang langsung mengulurkan tangan meraba-raba dan pura-pura tak melihat lagi.
“Aduh, sepertinya aku memecahkan sesuatu,” ujarnya sambil berpura-pura membungkuk untuk mengambil pecahan tembikar.
“Siapa itu?” Ririn langsung sigap menuju ke sumber suara.
Begitu pula dengan Hardi dan ibunya yang khawatir pembicaraan mereka didengar orang lain. Bagaimanapun juga, mereka tahu jika Sonya hanya buta, tapi perempuan itu tidak tuli dan bisa mendengar apa yang mereka ucapkan.
Wajah Ririn begitu pucat, saat ia melihat ada Sonya di sana. “Nyo ... nyonya?”
“Sonya? Kau pecahkan pot tembikar kesayangan ibu?” jerit ibu mertua Sonya tersebut dengan histeris.
“Ah, jadi ... ini pot milik ibu? Aku tidak tahu apa yang kujatuhkan sampai pecah, aku minta maaf,” tukas Sonya dengan gaya yang menyedihkan.
“Hardi! Lihat dia! Dia ceroboh lagi, sepertinya dia sengaja melakukannya!” Wanita paruh baya dengan tahi lalat di dekat ujung bibir kirinya itu begitu sinis pada Sonya.
“Maaf, Bu! Aku tidak bisa melihat jika di sana ada pot milik ibu.” Sonya berusaha meminta maaf.
“Sonya! Kenapa kau ada di sini? Sebaiknya kau berada di kamar dan jangan berkeliaran sembarangan! Kondisimu belum pulih, jadi kau sangat ceroboh begini!” hardik Hardi di depan ibunya.
“Kau juga harus mengganti pot ini! Pot ini sangat langka karena dibuat oleh tangan!” Sang ibu mertua berdiri tepat di depan wajah Sonya sambil memandang rendah menantunya yang sedang berjongkok tersebut.
“Oke! Sonya, sebaiknya kau minta maaf saja pada ibu! Untuk urusan pot, biar aku yang mencari penggantinya!” Hardi mencoba menjadi penengah.
Tapi ... apa? Minta maaf? Dia sudah gila!
Tentu saja Sonya tidak sudi untuk melakukannya.
Kali ini wanita yang berpura-pura buta tersebut mengulum senyum tipis, dia yang tadinya membungkuk karena memunguti serpihan tembikar, langsung bangun, dan berdiri dengan tegak.
“Aku mengerti, Hardi! Maaf sudah membuatmu khawatir! Tapi ibu, jangan takut! Semua yang ada di rumah ini adalah milikku, jadi jika ada seseorang yang ingin menyimpan barang di rumah ini, harus sepengetahuanku! Aku tidak tahu ada pot milik ibu di sini, lagi pula, semua pot yang ada di sini dibeli dengan uangku!” jawab Sonya dengan penuh senyum.
“Apa katamu?” bentak sang ibu.
“Sonya, apa maksudmu berkata seperti itu pada ibu? Cepat kau minta maaf!” titah Hardi dengan suara yang bernada agak tinggi.
Sonya menaikkan sedikit ujung bibirnya. “Hardi, aku sudah sering memecahkan barang di rumah ini. Tapi selama ini tak pernah jadi masalah karena semua barang itu adalah barang milikku! Kenapa sekarang jadi masalah? Ibumu yang harus tahu diri, agar dia tidak sembarang menyimpan barang pribadi saat menumpang di rumah orang lain!”
“Sonya!” Hardi membentak Sonya dengan nada tinggi.
Namun kali ini, Sonya berbalik! Dia mengulurkan tongkat untuk meraba jalan.
Tapi sepertinya, mereka masih belum puas. Ririn tiba-tiba berjalan mendahului Sonya, dia pun mengulurkan kaki di tengah jalan untuk menjegal Sonya dengan sengaja.
Wanita yang berpura-pura buta tersebut mengetuk-ngetuk tongkat dengan pelan di atas lantai. Layaknya orang buta pada umumnya, dia seakan tak bisa melihat kaki yang sedang berusaha untuk menjegalnya di depan.
Namun ... tepat saat tongkat Sonya hampir mengenai kaki Ririn, mendadak ketukan tongkat itu dibuat lebih keras olehnya. Hingga akhirnya ....
‘Prak!’
“Aw! Apa itu?” Sonya menoleh kanan kiri. “Rasanya aku seperti memukul sesuatu dengan tongkat ini!”
Sonya yang pura-pura tak melihat itu berjalan lurus dan lanjut mengetuk-ngetuk tongkat di atas lantai.
Sementara itu, orang yang berusaha menjegalnya kini sedang merengek pada suami orang.
“Mas, sakit, Mas! Aduh! Tolongin! Itu Si Sonya benar-benar keterlaluan! Mas, tolong!”
Melihat hal tersebut, Hardi pun langsung berjalan untuk menyusul pada Sonya. Langkahnya semakin dipercepat agar bisa menyusul istrinya yang buta itu.
“SONYA!”