Menanti Hadirnya Jodoh Terbaik

2703 Words
Plot twist macam apa ini!? Vanya terdiam seribu bahasa saat mendengar Lian menyerocos sepanjang itu. Berkisah mengenai dirinya yang sudah pernah menginjakkan kaki di rumah kedua orang tua Vanya ini. Apalagi sampai menjabarkan sejarah gerbang besar depan yang memang selama puluhan tahun hanya dirawat rutin setiap tahunnya oleh Papi Vanya. Tanpa berniat mengubah desainnya sama sekali. Memang betul. Apa yang dikatakan Lian betul adanya! Pria itu seperti pengamat bangunan! Dan yang membuat Vanya ketar-ketir adalah Mbok Sih yang semangat empat-lima memberikan buku catatan kecil milik beliau. Vanya menepuk jidatnya. Sudah pasti Mbok Sih tidak cemas lagi memberikan nomor pribadi Tuan Besarnya pada orang asing, karena orang tersebut ternyata bukanlah orang asing. Dari sini, Vanya merasa Lian adalah sosok pria misterius. Menyimpan banyak rahasia dan kejutan. Tidak tertebak pula! Bila sudah seperti ini, Vanya hanya bisa pasrah menyaksikan Lian tersenyum penuh kemenangan karena akhirnya bisa mendapatkan nomor pribadi Papi Vanya dan bisa melaporkan kenakalan putri satu-satunya—Vanya. “Sudah, Bu. Terima kasih..” “Iya, Den. Sama-sama. Panggil Mbok saja ya, Den. Seperti Non Vanya.” Lian mengangguk dengan tak enak hati. Ia belum terbiasa ketika diminta memanggil wanita tua ini dengan panggilan ‘Mbok’. Dirinya ‘kan orang luar, bukan majikan rumah ini. Tapi ya sudahlah, karena diminta..Lian menurut saja. Mempersingkat semuanya. “Oh ya duduk dulu, Den. Mau Mbok bikinkan teh hangat?” Mbok Sih dengan ramah meminta Lian untuk singgah beberapa saat. Tapi tidak dengan Vanya yang justru sejak tadi ingin segera mengusir Lian dari sini! Cinta sih, cinta. Tapi kalau Lian dalam mode menyebalkan seperti ini, rasanya Vanya ingin menendangnya dari sini sekarang juga! Malam ini, kebucinan dalam dirinya skip dulu. Berganti dengan kekesalan yang lebih dominan. “Tidak usah, Bu—ekhm..Mbok. Karena saya harus segera pergi.” Bagus! Vanya sudah tidak sabar menanti saat-saat kepergian Lian dari sini dan juga Vanya merasa iba pada Kavin bila ditinggalkan terlalu lama di pom bensin. Malang sekali nasib sobat Lian itu.. Lian kejam! “Lhoo kok buru-buru, Den?” Dalam hati, Vanya merutuk kesal. Kenapa Si Mboknya ini seperti menahan-nahan kepergian Lian? Biar saja pria menyebalkan ini pergi! Tidak perlu ditahan-tahan. Vanya sedang ngambek. “Iya, Mbok. Masih ada urusan lain yang harus saya selesaikan.” Entah urusan menjemput Kavin yang sengaja ia tinggalkan di pom bensin? Atau urusan lain, seperti membuat laporan kepada Papi Vanya, mungkin. Masa bodoh! Vanya sudah pasrah bila setelah ini sang papi akan memberikan ultimatum sampai menjatuhinya hukuman berat. Pasrah.. “Oh sama ya, seperti Non Vanya? Banyak urusan.” “Mbok..” lirih Vanya menginterupsi. Supaya obrolan mereka ini segera usai dan Lian segera angkat kaki dari sini. “Ya sudah kalau begitu. Saya pamit undur diri, Mbok. Permisi..” pamit Lian mencium tangan Mbok Sih. Hal tersebut sontak membuat Mbok Sih terkejut dan buru-buru menarik tangannya karena merasa kurang pantas ketika teman majikannya mencium tangannya seperti ini. Lagi-lagi, Vanya berhasil dibuatnya terpesona. Memang hati Vanya itu selalu lemah. Sekali pun dengan tindakan kecil Lian seperti barusan! Benar-benar susah untuk diajak gengsi dan mengangkat tinggi-tinggi kepalanya. “Iya, Den Lian. Hati-hati. Sudah larut malam.” Lian hanya mengangguk dan melanjutkan langkah kakinya. Memasuki mobil. Lalu, melajukan mobil yang dikendarainya setelah membunyikan sebuah klakson tanda sapaan terakhir. Setelah kepergian Lian, Vanya merasa bisa bernapas lega. Ia tidak harus menduga-duga kejutan apalagi yang akan Lian berikan. Badannya terasa sangat lelah. Mungkin efek dari minumannya yang sudah disabotase oleh Jayden dan aksinya melepaskan diri dari pemaksaan Jayden tadi. Semua kekesalan hati dan fisiknya ini kebanyakan disebabkan oleh Jayden. Padahal ini pertemuan pertama mereka. Vanya bukan merasakan angin malam. Namun justru olahraga malam! Amit-amit. Semoga saja Vanya tidak berjumpa lagi dengan Jayden.. “Non, Mbok merasa tidak asing dengan wajah Den Lian. Sepertinya memang Den Lian pernah beberapa kali kemari. Mbok lupa kapan tepatnya.” “Sudahlah, Mbok. Tidak perlu diingat-ingat. Tidak penting juga. Ya sudah, Vanya ke kamar dulu ya, Mbok. Selamat malam dan selamat beristirahat, Mbok Sihh..” pamit Vanya yang langsung ngacir ke kamar. “Iya, Non Vanya juga.” Sesampainya di dalam kamar, Vanya segera membersihkan diri dan berganti baju tidur. Setelah itu, barulah Vanya merebahkan diri di kasur empuknya. Pikiran Vanya berkelana. Bertanya-tanya pula, apakah Lian sudah menjemput Kavin? atau Apakah Lian sudah sampai di rumah dengan selamat? Semua pertanyaan dalam pikiran Vanya dibalut oleh perasaan khawatir. Sekesal-kesalnya Vanya pada Lian, Vanya tetap peduli. Ia tidak pandai mengontrol perasaannya sendiri. Akhirnya Vanya putuskan untuk mengirimkan beberapa pesan singkat ke nomor pribadi Lian. To : Mas Lian Pak, sudah sampai rumah? Balas pesan saya bila sudah sampai! Dua pesan tersebut berhasil terkirim. Tapi belum terbaca. Vanya merasa Lian sengaja mengabaikan pesan singkatnya. “Oke! Kayaknya Mas Lian emang suka dispam chat!” Vanya pun kembali mengirimkan beberapa pesan pada Lian. Berharap Lian jengah dan menyerah. Kemudian mau membalas pesan-pesannya. Kalau Bapak kenapa-kenapa di jalan, saya juga yang repot! Saya akan dijadikan saksi kunci nantinya. Kan saya orang terakhir yang bertemu Bapak. Pak Lian!? Pak Lian enggak ada sinyal atau enggak punya pulsa? Mau saya transfer pulsa? Oke! Saya transfer. Sebenarnya Vanya hanya menggertak Lian. Pria dengan ego tinggi seperti Lian, pasti tidak akan mau menerima pemberian wanita. Apalagi barang seremeh pulsa. Licik juga ide Vanya guna mendapatkan balasan dari Lian. Beberapa menit berlalu, Lian tak kunjung membalas pesan dari Vanya. Tapi kabar baiknya, Lian sudah membuka seluruh pesan-pesan yang Vanya kirimkan. “Awas aja kalau cuman dibaca! Dikira koran harian apa!?” Vanya sudah mempersiapkan dirinya untuk misuh-misuh bila Lian setega ini hanya membaca tanpa membalas pesan beruntun Vanya. Daripada terus memusingkan perihal balasan pesan. Vanya memilih beralih pada foto yang menghiasi kontak pria tersebut. “Ganteng banget sih, foto profilnya!” “Kok aku tiba-tiba enggak rela kalau Mas Lian pakai foto profil seganteng ini? Pokoknya nanti kalau aku udah SAH jadi istri Mas Lian, aku bakalan minta Mas Lian buat pakai foto profil pemandangan! Biar kayak layar laptop pas pertama kali dibuka. Aman..” Vanya tertawa sendiri sampai guling-guling di kasur empuknya. Selalu begini. Gemas sendiri padahal sosok yang berhasil membuatnya gemas—b aja di seberang sana! Vanya-Vanya.. Baru saja Vanya hendak mengirimkan pesan lagi, tapi sebuah balasan didapatinya. Lian membalas pesan Vanya! Astaga, jantung Vanya berdetak lebih cepat daripada biasanya. Mas Lian : Pulsa saya masih banyak. Sumbangkan saja pada yang membutuhkan. Vanya : Terserah! Vanya : Bapak sudah sampai rumah? Mas Lian : Kamu bukan siapa-siapa saya. Jadi saya rasa kamu tidak perlu bertanya hal itu. Vanya : Sekarang sih memang bukan siapa-siapa. Tapi suatu saat nanti, saya akan menjadi sosok yang Bapak sayangi sepanjang masa! Selamat tidur Pak Lian!! Di akhir kata yang Vanya ketik, Vanya memberikan banyak sekali emotikon hati berwarna merah. Ia sudah tidak peduli dengan bagaimana respon Lian. Risih kah? Atau justru, Lian sebenarnya diam-diam senang dengan setiap kelakuan Vanya. Masih menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini. Maklum saja, keduanya baru-baru ini dipertemukan. Namun Vanya sudah sangat yakin bahwa perasaannya murni cinta, bukan rasa penasaran belaka. Tak lagi menunggu balasan pesan dari Lian, Vanya bergegas mematikan lampu kamar dan hanya menyisakan lampu kecil di atas nakas. Menarik selimut dan memejamkan kedua matanya. Berusaha menggapai mimpi indah. Hmm, siapa tahu Lian hadir malam ini dalam mimpinya. Keesokan harinya, Lian bersiap untuk pergi ke kantor. Seperti biasanya, hari-hari Lian tadi pagi telah diawali dengan membaca kitab suci Al-Quran, mendengar ceramah singkat mengenai kehidupan, lalu kini dirinya menyapa kedua orang tuanya yang sudah duduk manis di kursi meja makan. Mulanya interaksi mereka hangat. Kemudian dilanjut dengan fokus pada makanan masing-masing. Hingga makanan di piring masing-masing habis tak bersisa. Ketika Lian berpamitan dan hendak pergi ke kantornya, sang papa menahan langkahnya dengan melayangkan sebuah pertanyaan bernada dingin. “Semalam kamu pulang jam berapa?” Meskipun tak bisa menebak reaksi sang papa selanjutnya. Lian tetap berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan jujur. “Jam setengah sebelas malam, Pa. Ada masalah kecil di jalan.” “Masalah apa?” “Mengantar teman Lian pulang ke rumahnya terlebih dulu.” Yunita yang merasa suaminya sudah berlebihan bertanya sedetail itu tanpa memikirkan privacy sang putra. Kemudian menyela, “Sudahlah, Pa. Yang penting ‘kan Lian sudah pulang semalam. Selamat. Tidak kurang satu pun..” “Tidak apa-apa, Ma. Supaya Papa lega.” Lian merasa senang ketika sang mama mulai paham. Bahwa dirinya ini sudah besar. Bahkan sudah dewasa. Tidak semestinya selalu diinterogasi seperti ini. Tapi Lian berusaha tetap ikhlas legowo menerimanya. Pasti yang papanya lakukan demi kebaikannya juga. Demi menjaganya dari pergaulan yang ugal-ugalan di zaman sekarang ini. “Masih ada lagi yang ingin Papa tanyakan pada Lian? Jika tidak ada, Lian harus segera berangkat sekarang, Pa. Takutnya nanti Lian terjebak macet yang parah.” “Kapan kamu mengenalkan calon istrimu pada kami, Lian? Hal baik jangan ditunda-tunda..” “Maaf, Pa, Ma. Lian belum mempunyai calon istri. Sedang dalam pencarian,” jawab Lian dengan mengulas senyum tipisnya. Toh, pertanyaan papanya barusan bernada lembut. Tidak sedatar dan sedingin pertanyaan sebelumnya. Tampak raut wajah penuh kekhawatiran terpancar nyata pada Baskara. Sebagai orang tua, Baskara ingin segera melihat Lian menikah. Mengingat usia Lian sudah hampir menginjak tiga puluh tahun. Sukses berkarier pun, sudah merasakan. Apalagi yang sebenarnya Lian sedang cari? “Papa tenang saja. Bila tiba saatnya Lian bertemu calon istri Lian, pasti akan segera Lian ajak ke rumah untuk Lian kenalkan pada Papa dan Mama.” “Bagaimana Papa bisa tenang ketika anak pertama Papa masih belum menemukan tambatan hatinya? Lihat adikmu, Lian. Dia sudah bahagia dalam pernikahannya. Sudah hamil besar pula. Hmm..sebentar lagi Papa dan Mama akan menimang cucu dari Leta. Tapi semua itu terasa belum lengkap, karena seharusnya kamu juga segera menyusul.” Bila Baskara sudah membawa-bawa Leta dalam perbincangan ini, sudah dapat dipastikan Lian hanya mampu terdiam. Mau bagaimana lagi memangnya? Lian sudah tak mempunyai jawaban mengenai takdir. Karena sejatinya takdir itu rahasia illahi. Lian tidak pernah merasa tersinggung ketika kedua orang tuanya membahas-bahas mengenai pernikahan. Bagi Lian, mereka hanya sedang menunjukkan kepedulian pada anak mereka yang tak kunjung menikah. Sementara anak kedua mereka, sudah hendak menjadi seorang ibu. Berdo’a mengenai jodoh, senantiasa tidak pernah Lian lewatkan. Ia memohon diberi yang terbaik. Dan, jikalau mungkin..segera dipertemukan dengannya. Tahun ini. “Lian..” panggil Yunita yang langsung membawa Lian pada kesadarannya kembali, seusai melamun. Lian mendongak dan menatap sang mama. “Ya, Ma?” “Mau Mama kenalkan dengan anak teman Mama?” Senyum manis Yunita saat memberi sebuah penawaran pada Lian justru membuat bulu kuduk Lian berdiri. Lian tentu saja tidak mau. Ia ingin menemukan calon istrinya sendiri. Pilihannya sendiri atas jalan Sang Pencipta. “Tidak perlu, Ma. Lian akan cari calon istri Lian sendiri.” “Hmm..yang bener? Apa mau sama..” Ucapan Yunita yang menggantung sukses membuat Lian dan Baskara penasaran. Pandangan mata ayah dan anak itu tidak lepas dari Nyonya Besar rumah ini. Hingga Yunita berseru, “Yasmin!?” Ketika Yunita melihat sosok gadis cantik, telah berdiri di depan sana. Gadis itu tersenyum manis karena kehadirannya terdeteksi oleh Yunita—Sang Nyonya Besar. Di tangan kanannya membawa rantang. Sudah pasti berisi makanan. “Assalamu’alaikum. Selamat pagi, Om, Tante, Mas Lian..” “Waalaikumsallam..” “Maaf tadi Yasmin sudah mengetuk pintu depan berkali-kali. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudian, Bu Indri yang membukakan pintu untuk Yasmin.” Semua orang di meja makan mengangguk paham. Memang ketika sesi makan bersama, tidak bisa diganggu gugat. Untung saja ada Bu Indri yang merupakan ART mingguan yang selalu datang di hari jum’at untuk mengerjakan cucian dan hal-hal lain yang mempermudah pekerjaan sehari-hari Yunita. “Iya, Yasmin. Tidak apa-apa. Duduk, Nak..” Baskara mempersilahkan Yasmin untuk ikut duduk di kursi meja makan. Yunita senang sekali dengan kedatangan Yasmin pagi ini. Apalagi kedatangan Yasmin ini bertepatan dengan suatu pertanyaan yang tadinya hendak Yunita layangkan. Semua memang terjeda begitu saja. Tapi justru langsung menghadirkan sosok yang bersangkutan. Kedatangan Yasmin ini seperti bisikan mengenai spoiler takdir. Mungkinkah memang Yasmin orangnya? Gadis cantik berusia dua puluh empat tahun yang masih betah dalam kesendiriannya. Padahal sudah banyak sekali yang melamar gadis anak dari Adik Yunita ini. Selain cantik, dia juga merupakan gadis baik-baik, santun, cerdas, dan saat ini diketahui sedang menjalani bisnis kecil-kecilan rumahan. Berupa kue kering, bolu, sampai brownis yang dijual secara online. Bukan karena kedua orang tuanya tidak mampu memfasilitasi sebuah toko. Bukan. Hanya saja, Yasmin lebih suka berjualan online. Apalagi saat ini sudah tersedia jasa pengiriman super cepat. Jadi, tidak perlu khawatir kue-kuenya akan berjamur. Mengenakan gamis cantik menjuntai hingga mata kaki dan jilbab segi empat. Lengkap dengan bros-bros koleksinya. Yasmin selalu anggun dan enak dipandang. Hanya mata pria yang tidak normal saja yang tidak terpikat dengan kecantikan dan keindahan outfitnya. Yunita yang merupakan wanita saja selalu merasa adem ketika memandangi Yasmin. Apalagi kaum yang berbeda jenis. Misalnya, Lian. Tapi tak baik dipandang terus-menerus. Belum halal! Yunita kemudian tertarik pada apa yang dibawa Yasmin. “Kamu membawa apa itu? Kenapa selalu repot-repot sih, kalau ke sini? Kalau mau main, main saja. Tidak perlu membawa apa-apa begini.” “Ah..ini bukan apa-apa kok, Tante. Ini bubur sum-sum. Ada santan dan juga gula jawanya.” “Kamu buat sendiri?” “Iya, Tante.” “Hebat ya kamu. Pintar masak!” puji Yunita sesekali melirik Lian yang hanya terdiam di posisi duduknya. “Cuman bubur sum-sum. Mudah dibuatnya, Tante.” Yasmin memang selalu merendah. Tidak hanya cantik fisik, hatinya pun juga cantik luar biasa. Perhiasan dunia yang sayang sekali bila tidak didapatkan. “Ekhm..apa sama Yasmin saja, Lian?” Yunita melanjutkan pertanyaannya yang sempat terjeda karena menangkap kehadiran Yasmin tadi. Mendengar tantenya tiba-tiba bertanya pada sang sepupu dengan membawa-bawa namanya, Yasmin tentu saja merasa kebingungan. Ia penasaran. “K—kenapa membawa-bawa Yasmin, Tante? Ada apa ini?” “Bukan apa-apa. Mama hanya asal berbicara,” ketus Lian. “Ohh begitu ya, Mas..” Diam-diam, hati Yasmin merasa nyeri karena keketusan Lian barusan. Memangnya ia salah apa? Ia hanya bertanya baik-baik karena penasaran namanya dibawa-bawa. Wajar bukan? Lian memang selalu begitu. Menunjukkan secara terang-terangan dinding pembatas besar sejak mereka telah menginjak dewasa. Padahal dahulu semasa kecil, sikap Lian selalu menyenangkan dan menghibur Yasmin. Hal itulah yang Yasmin rindukan. Dan, karena hal itu juga perasaan cinta di hati Yasmin untuk Lian—tumbuh. Tapi semua masih terkendali. Buktinya, Yasmin bisa menyimpan rapat-rapat perasaannya ini. Bertahun-tahun, mencintai dan menunggu Lian menyadarinya. Menolak halus setiap lamaran yang datang ke rumah dengan alasan ingin fokus berbisnis. Ah..Yasmin dan penantian merupakan kawan sejati. “Ya sudah. Ayo kita sama-sama mengicipi bubur sum-sum buatan Yasmin! Pasti lezat. Hitung-hitung dessert sarapan pagi ini, Pa, Lian.” Yunita sangat bersemangat. Hal ini juga dilakukan oleh Yunita untuk mencairkan suasana akibat keketusan Lian barusan. Anak itu..benar-benar. Sikap menyebalkannya kadang muncul tidak tahu tempat! Baskara menimpali sebisanya. “Iya, Ma. Kelihatannya lezat.” Saat Yunita sudah sibuk menyajikan hidangan buatan Yasmin itu untuk suaminya dan untuk dirinya sendiri. Ekor mata Yunita menangkap adanya perhatian lebih dari sosok Yasmin pada Lian. Terbukti saat Lian hendak mengambil jatah buburnya, tangan Yasmin sudah lebih dulu mengambil alih pergerakan Lian. Lian yang mungkin merasa tak enak hati, membiarkan Yasmin melayaninya begitu saja. Selayaknya sang papa yang makannya selalu disiapkan sang mama. “Sudah cukup, Yasmin. Nanti tidak habis malah mubazir. Karena tadi saya sudah makan cukup banyak.” “Iya, Mas..” Yasmin patuh dan perlahan meletakkan mangkuk berisi bubur sum-sum itu tepat di hadapan Lian. Tidak kapok dengan keketusan Lian tadi. Saat melihat celah untuk menggoda putranya, Yunita pun tetap bersemangat untuk melancarkan aksinya tersebut. “Lian? Enak ya, kalau makan ada yang siapin..” “Mama..” geram Lian dengan penuh kekesalan. Mamanya jahil sekali! Berkali-kali menyerangnya tanpa ampun. Berbeda halnya dengan sang mama. Gadis cantik yang duduk manis di sampingnya justru tersenyum tulus dan berucap, “Yasmin do’akan. Semoga Mas Lian segera bertemu jodoh Mas Lian.” ‘Bila itu Yasmin. Sampai kapan pun Yasmin akan menunggu, Mas Lian. Tapi bila itu bukan Yasmin. Do’akan hati Yasmin untuk mengikhlaskan Mas Lian yang ternyata tercipta bukan untuk Yasmin..’ batin Yasmin melanjutkan do’anya, yang tak mungkin terucap melalui lisan dan perkataan langsung. “Aamiin..” Semua orang serempak meng-aamiin-kan do’a baik Yasmin kepada sepupunya. Baskara yang sejak tadi berbicara sekenanya. Tiba-tiba melayangkan sebuah pertanyaan yang tidak pernah Yasmin duga-duga sebelumnya. “Yasmin sudah mempunyai calon? Atau..sedang menunggu seseorang datang untuk melamar?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD