Sesaat setelah Kavin turun dari mobilnya sendiri atas permintaan Lian. Vanya dan kecemasannya masih berkolaborasi. Ia hanya diam saja dan mulai memikirkan nasibnya sendiri bilamana nanti diturunkan di pinggir jalan oleh Lian. Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat. Masihkah kendaraan online mau menerima orderannya?
Semoga masih..
“Kamu bisa pindah ke depan. Saya bukan sopir kamu,” ucap Lian tiba-tiba. Seketika suara Lian bernada dingin itu, menyapa gendang telinganya. Benar-benar bukanlah sebuah suara yang indah, tapi Vanya sudah terbiasa mendengarnya. Vanya rasa, itu ciri khas Lian.
Tak ingin memperkeruh suasana yang tegang ini, Vanya segera berpindah tempat duduk ke depan. Bukannya turun dari mobil melalui pintu, Vanya seenak jidatnya langsung melangkah melalui tengah mobil. Lian terkejut bukan main. Apalagi saat matanya menangkap pemandangan menggungah—rok Vanya yang semakin terangkat—paha mulus Vanya terekspos.
Sial!
“APA YANG KAMU LAKUKAN, GADIS PEMBANGKANG ANEH!?” bentak Lian seraya menutup kedua matanya dengan telapak tangannya sendiri.
Saat Vanya sudah menyamankan posisi duduknya. Barulah ia menoleh dan menjawab dengan santai bentakan Lian itu. “Seperti yang Pak Lian perintahkan. Pindah ke depan.”
“Sekarang saya sudah pindah. Lalu, perintah apalagi yang harus saya laksanakan?” sambung Vanya bak pelayan kepada rajanya.
Raut wajah Lian menunjukkan amarah yang tertahan. Semua itu Vanya ketahui dari wajah pria tersebut yang memerah dan cengkraman tangannya yang menguat di kemudi mobil.
“Pak, jangan marah-marah terus.. Nanti Bapak cepat tua, loh.”
“Saya memang sudah tua!”
“Tapi saya tetap cinta, kok! Bapak sangat tampan di mata saya..” ujar Vanya secara terang-terangan. Tanpa tahu malu dan memikirkan bagaimana perasaan Lian yang sesungguhnya.
Sementara itu, Lian merasa ada yang aneh dengan reaksi tubuhnya. Diberi ungkapan cinta dan dipuji oleh Gadis Pembangkang Aneh ini..Lian justru merasakan kedua pipinya memerah. Tidak! Ini tidak boleh dibiarkan. Apa-apaan dirinya? Biasanya reaksi tubuhnya tidak begini saat diberi ungkapan cinta oleh wanita mana pun. Kecuali Kirania, dahulu.
‘Lian, ini bukan yang pertama kalinya! Jangan norak,’ kata hati Lian mulai mengambil peran.
Tak ingin berlama-lama bersama dengan gadis ini, Lian segera melajukan mobil Kavin yang dikemudinya. Membelah kembali jalan raya yang renggang, karena larut malam. Meninggalkan sang pemilik mobil yang Lian lihat sudah duduk manis di depan masjid pom bensin. Dalam hati, Lian merasa bersalah pada sahabatnya itu. Sungguh..tindakannya ini bukan semata-mata membalas dendam atas kekesalannya karena Kavin mendukung gadis ini untuk mengejarnya. Bukan. Tetapi karena memang Lian ingin mengantar Vanya seorang diri. Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang harus Lian layangkan pada Vanya. Ini sebagai syarat, agar dirinya mau mengantar Vanya sampai rumah.
Vanya sudah tidak enak hati kala Lian menyuarakan niatnya itu. Tapi apa boleh buat? Daripada dirinya larut malam begini diturunkan di pinggir jalan? Kan tidak lucu!
“Ya sudah. Sebisa mungkin saya akan menjawab semua pertanyaan yang Pak Lian berikan. Pokoknya di luar matematika ya, Pak. Kepala saya masih berdenyut ini..”
“Ya.”
“..juga selain itu, di luar pertanyaan tentang rasa cinta saya pada Bapak. Karena jawabannya sudah jelas. Saya sangat cinta!”
Lian mendengkus kesal. Mencoba cuek saja dengan ungkapan cinta gadis ini. Baginya tidak penting, tidak ada feel, apalagi makna. Lian menganggap Vanya hanya bermain-main saja dengan ungkapan cinta. Lian maklum, seusia Vanya ini ‘kan memang mulai penasaran dengan hal-hal berbau romance. Bahkan bila ada pangeran berkuda putih yang lewat, pasti Vanya juga akan mengejar-ngejarnya dan mengungkapkan rasa cintanya. Lian yakin itu!
Maka dari itu, Lian tetap slow. Tidak memusingkan ungkapan cinta gadis ini. Walau reaksi tubuhnya aneh.
“Pak? Kok diam saja, sih? Bagaimana? Jadi bertanya, tidak?”
“Jadi. Sabar.”
“Oke!”
Vanya mencondongkan tubuhnya ke samping. Berniat mendekatkan telinga kanannya supaya lebih jelas dalam mendengar pertanyaan Lian. Tahu sendiri ‘kan? Lian ini sangat irit berbicara. Pasti Lian juga enggan mengulang pertanyaan yang telah ia layangkan.
Tetapi rupanya yang Vanya lakukan justru membuat Lian tidak nyaman. Sejenak ia hampir kehilangan fokus mengemudinya, karena kepala Vanya mepet dadanya.
“Menyingkir, Vanya!”
“Ihh..apa, sih? Ini biar telinga saya nanti bisa menangkap dengan jelas setiap pertanyaan Bapak!” dalih Vanya.
“Sejak kapan d**a saya bisa mengeluarkan suara? Hebat sekali,” sindir Lian karena Vanya mendekatkan kepalanya pada d**a Lian, bukan sumber suara—bibir.
“Mau deketin ke bibir Bapak, takut Bapak salah tingkah! Terus juga bakal menghalangi pemandangan Bapak pada jalanan.” Kecerdasan Vanya memang tidak perlu diragukan lagi.
“Nah itu kamu sudah tahu. Ya sudah. Duduk manis saja, bisa?”
“Iya-iya..” Dengan segenap rasa kecewanya, Vanya duduk bersandar kembali di kursi. Hal tersebut tidak luput dari lirikan Lian. Sampai ia melihat pemandangan tidak mengenakkan berupa paha mulus Vanya yang terekspos karena roknya sangat pendek ketika dibuat duduk.
Lian sempatkan menepi, sejenak. Ia melepaskan kemeja pendek yang membungkus kaos pendeknya. Tak masalah bila saat ini dirinya hanya mengenakan kaos pendek tersebut. Toh, kaosnya sangat keren untuk dipamerkan. Harganya juga fantastis. Bukan kaos biasa. Kaos bermerk yang ia beli di pusat perbelanjaan karena Kavin meracuninya.
Saat kemeja pendeknya terlepas, Lian segera melemparkan kemeja itu sampai menutupi paha Vanya. “Rokmu terlalu panjang. Membuat saya sakit mata. Tutupi!”
Vanya mempout bibirnya seraya melaksanakan perintah sarkas Lian yakni, menutupi bagian yang tidak seharusnya terekspos. Apalagi pada kaum pria. Mau sebaik apapun pria itu, bila disuguhi pemandangan indah juga tidak akan menolak. Vanya paham betul hal itu.
“Memang ini rok panjang, kok. Tapi sedikit saya modifikasi. Bapak mau bukti?”
“Tidak.” Lian kembali melajukan mobilnya. Kemudian teringat bahwa sejak tadi Lian belum menanyakan alamat gadis ini.
Mereka lagi-lagi terlibat suatu perdebatan mengenai alamat rumah. Sampai Lian menyerah dan terpaksa memberikan nomor pribadinya supaya Vanya dapat mengirimkan lokasi rumahnya secara tepat. Sedangkan Vanya? Ia kesenangan bukan main! Memang ini modusnya untuk mendapatkan nomor pribadi Lian.
“Sudah saya kirimkan alamat akuratnya, Pak. Itu nomor pribadi saya. Jangan lupa disimpan, yaa..” pinta Vanya yang sudah percaya diri nomornya akan disimpan oleh Lian.
Sementara itu, di sisi lain..Lian merasa tidak asing dengan alamat rumah yang Vanya kirimkan. Tapi Lian mencoba mengenyahkan perasaan itu. Mungkin bukan alamat yang Lian maksud. Dunia memang sempit. Tapi Lian berharap, dunianya dijauhkan dari sosok Vanya.
Lain halnya dengan Vanya. Yaa, meskipun Lian tak mungkin menghubunginya lebih dulu. Tapi ‘kan Vanya bisa selalu menghubungi Lian kapan pun itu! Baru membayangkannya saja..Vanya sudah bahagia sekali. Apalagi melancarkan aksinya? Hahaha..jingkrak-jingkrak sampai berguling-guling di kasur!
Tapi jawaban Lian yang selanjutnya langsung mematahkan segala angan indah Vanya. “Maaf. Kontak saya sudah penuh. Jadi tidak bisa menyimpan kontak baru lagi.”
Vanya mengulum senyum tipisnya. Ia tahu, ini hanya dalih Lian supaya tidak menyimpan nomor Vanya. Pria itu masih menunjukkan keengganannya. Baiklah. Tak apa. Vanya tak akan memaksa. Toh, semua membutuhkan sebuah proses. Pendekatan pun juga. Vanya mencoba berbesar hati dan mengerti.
“Ya sudah. Tidak apa-apa. Biar saya saja yang menyimpan nomor Bapak.”
“Buat apa?”
“Buat Bapak bisa cinta sama saya!”
“Berhenti bermain-main dengan kata ‘cinta’. Fokus pada pendidikanmu.”
“Iya-iya. Tapi cinta saya ini bukan sekadar cinta main-main lhoo, Pak.”
“Ya, percaya..” Vanya dapat dengan jelas melihat senyum miring Lian.
Oh..pria ini sepertinya tidak percaya dan terkesan meremehkan perasaan Vanya? Tidak masalah. Justru setelah ini, Vanya akan semakin berusaha menunjukkan dengan berbagai tindakan. Bukan sebatas omong kosong belaka. Bila nanti Vanya telah mengambil tindakan, Vanya pastikan—Lian akan megap-megap dan tak sanggup menolak pesonanya!
“Sekarang..kita kembali pada perbincangan sebelumnya. Jadi, Bapak mau tanya apa?”
Keluar dari pembahasan perasaan, Vanya masih penasaran dengan pertanyaan apa yang hendak Lian layangkan kepadanya. Semoga bukan suatu pertanyaan yang jawabannya sulit untuk didapatnya. Karena Vanya tidak ingin terlihat bodoh di mata Lian.
“Kenapa kamu bisa ada di area itu? Apa kamu baru saja berkunjung ke sana?”
“Ke sana mana? Yang jelas dong, Pak!” Vanya sebenarnya tahu arah perbincangan Lian. Hanya saja, Vanya ingin Lian bertanya dengan pertanyaan yang jelas. Memangnya, apa susahnya menyebut ‘klub’? Toh, tidak lantas membuat Lian mabuk keliyengan!
Lian mendecak sebal. Tapi kemudian memperjelas pertanyaannya, “Kenapa kamu bisa ada di sekitar area klub? Kamu habis dugem?”
Nah, begini ‘kan jelas pertanyaannya!
Vanya menggeleng keras. Enak saja Lian menuduhnya dugem!
“Saya memang masuk ke dalam klub. Tapi hanya duduk manis dan minum air es dingin. Menunggu sahabat saya. Bang Oki namanya,” jawab Vanya dengan sejelas-jelasnya. Ia seperti tidak mempunyai privacy sama sekali bila berhadapan dengan Lian. Padahal Lian belum begitu dekat dengannya. Entahlah..saat Vanya berkata sejujurnya, Vanya merasa senang. Walau Vanya tidak tahu apakah itu penting untuk Lian.
Lian kembali melayangkan pertanyaan lainnya. “Pria tadi kekasihmu?”
“BUKAN! DIA PRIA b******n!”
Lian terkejut dengan nada bicara Vanya yang tiba-tiba meninggi. Bahkan Vanya tanpa sungkan menyematkan sebutan kasar pada pria tersebut. Dari sinilah Lian mulai percaya dengan jawaban Vanya. Pria itu menyimpulkan, sepertinya memang Vanya pergi ke tempat itu hanya untuk menemui sang sahabat. Kemudian diganggu oleh pria yang memaksa mengantarnya pulang tadi.
“Hehehe..maaf, Pak. Kelepasan.” Vanya menunjukkan cengirannya.
“Ya.”
Hanya itu balas Lian. Bukan ‘tidak apa-apa’. Apa telinga Lian risih oleh kata-k********r Vanya? Jelas IYA jawabannya! Vanya bodoh sekali karena kelepasan bila mengingat Jayden.
“Langsung ke pertanyaan selanjutnya saja, Pak.”
“Kepergianmu ini, sudah mendapat izin dari orang tua?”
Tibalah pada sebuah pertanyaan yang sulit untuk Vanya jawab. Beberapa menit berlalu, Vanya masih mencoba menimang-nimang. Haruskah ia berbohong pada Lian untuk membersihkan namanya sendiri? Tapi bukankah hal itu nantinya dapat membuat Lian beranggapan bahwa kedua orang tua Vanya bukanlah orang baik-baik? Jika mereka merupakan orang tua yang becus mendidik anaknya, tidak mungkin mereka memberi izin anak gadisnya pergi ke klub!
Sial!
Vanya belum kunjung menemukan jawaban dari pertanyaan Lian.
“Kenapa kamu diam saja? Kamu kabur dari rumah hanya untuk pergi ke klub? Rugi sekali masa mudamu itu.” Cibiran Lian di akhir katanya, membuat Vanya menunduk. Ia sudah sangat salah. Tidak ingin menambah kesalahan lainnya lagi. Toh, sepertinya percuma saja membohongi Lian. Yang ada segala kebohongan Vanya dapat dengan mudah pria itu telanjangi.
“Maafkan saya, Pak..”
“Jangan meminta maaf pada saya. Saya bukan orang tua kamu.”
“I—iya..” gugup Vanya, karena ia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Lian ternyata sama tegasnya dengan Papi Vanya.
“Lain kali bila kamu penasaran dengan dunia malam, sebaiknya kamu mendaftar saja menjadi wanita penghibur di sana. Totalitas begitu. Jangan nanggung seperti ini.”
Kata-kata Lian barusan sukses membuat Vanya merasa hina. Ia marah. Tidak terima dengan saran ngawur Lian.
“Kenapa? Mau marah pada saya? Silahkan..”
Vanya urungkan aksi protesnya. Ia kembali menutup rapat-rapat bibirnya dan menunduk. Saat ini, Lian benar-benar persis seperti papinya.
“Kamu itu masih muda. Masih banyak tempat-tempat menyenangkan lainnya yang bisa kamu kunjungi. Mengapa kamu memilih klub?”
“Sudah saya bilang, saya itu nyusulin sahabat saya, Pak Lian! Lagian ini kali pertama bagi saya berkunjung ke sana. Setelah beberapa tahun yang lalu saya pernah diajak oleh sahabat saya pergi ke sebuah klub. Tapi bukan untuk minum-minum! Hanya untuk melihat-lihat. Seperti apa sih, tempat yang katanya surganya dunia di malam hari!”
Lian terperangah. “Wahh..hebat ya, kamu! Berati semasa SMA, kamu sudah pernah menjelajah tempat seperti itu.”
“Saya akui. IYA.”
Lian mengangkat salah satu tangannya. “Sudah cukup perbincangan kita. Saya akan laporkan semuanya pada kedua orang tua kamu. Supaya mereka bisa lebih ekstra dalam menjagamu. Jikalau perlu, menyewa bodyguard sekalian! Supaya mengikuti langkahmu kemana pun itu.”
Baru mendengar maksud Lian saja, d**a Vanya sudah sesak. Kebebasannya mau direnggut begitu saja? Oh tidak bisa!
“Bapak tidak berhak, ya!” bentak Vanya.
“Berhak. Anggap saja saya ini pemerduli masa depan gadis seperti kamu.”
Hah?
Apalagi istilah resmi yang Lian gunakan saat ini? Setelah kemarin Misi Membantu Sesama. Kini Pemerduli Masa Depan Gadis Sepertinya. Vanya tidak terima. Memangnya seperti apa dirinya?
“Seperti saya!? Seperti apa maksud Bapak!?”
“Nakal.”
Satu kata. Sangat singat. Tidak jelas dan tidak menggambarkan karakter Vanya sesungguhnya. Lian hanya asal berkata!
Vanya mendiamkan pria ini begitu saja. Sesuka hati Lian-lah! Sampai mulut Lian berbusa pun..Vanya rasa Lian tetap belum mengetahui karakternya yang sesungguhnya. Titik.
Tak terasa, mobil yang Lian kemudikan telah memasuki halaman besar kediaman Wiryawan. Satpam di depan rumah dengan sigap membuka pintu gerbang tadi. Itu semua karena melihat penumpangnya Nona Besar rumah ini. Jadi lolos begitu saja dari sesi interogasi.
“Kita sudah sampai. Ayo saya antarkan kamu masuk ke dalam..”
“Enggak mau! Enggak perlu!” tolak mentah-mentah Vanya. Ia sudah menanggalkan kata-kata formalnya. Entahlah, mengalir begitu saja.. Mungkin karena kekesalan yang teramat dalam. Sampai Vanya tidak peduli lagi mengenai caranya berinteraksi dengan Lian.
“Kenapa? Kamu takut?” Senyum miring Lian membuat bulu kuduk Vanya berdiri. Lian juga bisa menjadi setan ternyata!
“E—enggak! S—siapa yang takut!? Lagian juga percuma. Bapak enggak bakalan bisa ketemu orang tua saya. Mereka sedang pergi ke luar kota. Wlekk!” Vanya menjulurkan lidahnya. Ia senang sekali karena kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah.
Apa kata Lian tadi? Melaporkan? Laporkan saja pada dinding!
“Ayo turun..”
“Iya-iya, sabar!”
Mereka berdua pun turun dari mobil Kavin dan berjalan beriringan menuju pintu utama rumah besar ini.
Pintu seketika terbuka lebar. Mungkin orang dari dalam sana sudah melihatnya dari CCTV rumah. “Non Vanya!? Ya Allah, Non.. Non kemana saja tadi? Kok tidak berpamitan pada Mbok Sih?” sambut seorang wanita paruh baya dengan setumpuk kecemasannya. Lian dapat melihat jelas hal itu terpancar dari kedua bola mata beliau.
“I—iya, Mbok. Maafin Vanya ya, Mbok. Mendadak. Vanya ada urusan tadi.”
Sosok wanita tua yang Lian duga adalah pembantu rumah ini, kemudian menatapnya. Tatapannya teduh sekali. Lian jadi teringat oleh almarhumah eyang putrinya.
“Ini siapa, Non?” tanya beliau.
“Ini..”
“Saya Lian. Seseorang yang kebetulan menemukan Non Vanya di jalan.”
Mendengar jawaban Lian, Vanya sudah bisa menebak. Lian sepertinya memang sengaja menciptakan kegaduhan! Vanya semakin kesal karena kelakuan Lian!
“Astaga, Non! Non Vanya kenapa bisa tertelantar di jalanan!?”
“Terima kasih ya, Den Lian. Kalau tidak ada Den Lian, mungkin Non Vanya belum sampai di rumah sekarang.”
“Sama-sama, Bu. Bisakah saya meminta nomor Pak Wiryawan yang bisa saya hubungi? Emm..selain nomor kerja. Karena ada hal pribadi yang harus saya bicarakan dengan beliau. Se-ce-pat-nya.”
Kedua bola mata Vanya terbuka lebar. Ia tidak menyangka bila Lian mengetahui nama papinya.
‘Tenang, Vanya. Papi ‘kan memang terkenal sejagad negeri!’
“Oh tentu saja ada! Mari Den Lian masuk dulu..” Mbok Sih mempersilahkan tamu agungnya untuk masuk ke ruang tamu mewah kediaman Wiryawan.
“Non Vanya segera ganti baju!” titah Mbok Sih.
Tapi kali ini Vanya enggan meninggalkan Lian seorang diri. Vanya harus senantiasa waspada. Lian tidak bisa diremehkan!
“Enggak, Mbok. Vanya ganti bajunya nanti saja!”
Tidak kehabisan akal, Vanya mencoba menghasut Mbok Sih. “Oh ya, Mbok.. Kayaknya Papi bakalan marah kalau Mbok sembarangan memberikan nomor pribadi Papi pada orang asing. Yaa..Vanya hanya mengingatkan sih, Mbok.”
“Iya juga ya, Non. Waduh, bagaimana ini?” Mbok Sih kebingungan karena hasutan Vanya.
Disitulah Vanya merasa kemenangannya sudah ada di depan mata. Vanya tertawa jahat dalam hatinya. Raut wajah Lian sudah benar-benar masam. Tapi ketampanannya tetap terpancar! Istimewa pria ini..
“Maaf, Bu. Tapi saya bukan orang asing. Saya ingat betul. Saya dan Papa saya pernah sesekali berkunjung kemari. Mungkin beberapa tahun yang lalu. Gerbang besar di depan sana tidak pernah dirubah, ya? Mungkin Pak Wiryawan ingin mempertahankan ciri khas rumah besarnya ini. Sehingga hanya melakukan perawatan saja di setiap tahunnya.”
“APA!?”
Kena kamu, Gadis Pembangkang Aneh..
“Wah..Den Lian betul sekali!”
***