Tidak menyerah setelah mendapatkan penolakan di usahanya yang kesekian kali. Setelah mencari tahu artikel, mengikuti akun sosial media, hingga mengirimkan pesan. Bukankah itu termasuk usaha yang lebih dari satu kali? Dan, yang paling epic adalah ketika Vanya meminta nomor pribadi Lian. Namun Lian justru memberi nomor call center rumah sakit terdekat, yang kerap digunakan sebagai rujukan orang-orang di kota ini.
Benar-benar menggemaskan bagi Vanya. Lian ternyata sehumoris ini. Vanya pikir, Lian orangnya terlalu serius. Sehingga hidupnya membosankan.
Tapi ternyata pikiran Vanya itu salah besar. Dunia Lian sepertinya menarik untuk ia jelajahi dan singgahi untuk selama-lamanya. Vanya semakin bersemangat untuk bisa mendapatkan hati seorang Lian. Walau pertemuan pertama dan kedua mereka tidaklah menyenangkan. Tapi Vanya berjanji akan memberikan kesan menyenangkan di pertemuan ketiga. Agar Lian dapat dengan mudah menjatuhkan hatinya pada Vanya.
Siapa memangnya yang dapat menolak pesona kecantikan Vanya?
Sudah cantik, mandiri karena mempunyai sebuah bisnis online kecil-kecilan, dan bersedia melanjutkan pendidikannya kembali untuk membahagiakan kedua orang tua. Pasti Lian dapat dengan mudah dibuatnya jatuh cinta—percaya diri Vanya.
Kenyataannya? Kita lihat saja!
Masih bersandar nyaman di tubuh Mbok Sih, jemari tangan Vanya bergerak cepat membalas pesan dari Lian. Tentu saja seusai Vanya tertawa kencang akibat insiden nomor call center rumah sakit.
irsy.vanya_ : Jelas bisa dihubungi 24 jam, yang Pak Lian kirim ‘kan nomor call center! Jangan meragukan kecerdasan saya ya, Pak. Saya tidak akan mudah tertipu seperti gadis-gadis lain.
lianata_baskara : Apa tujuan kamu terus mengganggu saya?
irsy.vanya_ : Nanti saya susun proposal pengajuan untuk PDKT dengan Pak Lian, ya! Biar semuanya jelas, karena saya mau mengawali semuanya dengan kejujuran. Bapak tidak keberatan ‘kan?
Vanya tersenyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya. Hingga Mbok Sih menegur, “Non, sudah yaa senyum-senyum sendirinya? Mbok takut Non Vanya kenapa-kenapa.”
“Vanya baik-baik aja, Mbok! Vanya ‘kan sudah bilang, kalau Vanya itu lagi jatuh cinta. Senyum-senyum sendiri sampai guling-guling di trotoar pun—wajar. Namanya juga orang lagi jatuh cinta! Serasa melayang di angkasa dan enggak mau menginjak tanah.”
“Jangan berlebihan, Non. Mbok tidak ingin melihat Non Vanya bersedih,” nasihat beliau pada Vanya, yang sudah dianggapnya seperti cucu sendiri.
Tapi dengan semangat membara Vanya justru memberitahukan, “Justru sebaliknya, hidup Vanya kedepannya akan sangat menyenangkan. Pria ini menarik sekali, Mbok!”
Mbok Sih menghela napasnya. Susah memang. Menasihati orang yang sedang jatuh cinta itu sama saja menasihati orang yang budeg. Tidak akan ada faedahnya. Lebih baik Mbok Sih kembali pada niat awalnya kemari. “Ya sudah. Sekarang sudah sore. Non mau makan apa untuk makan malam?”
“Apa aja deh, Mbok. Vanya selalu suka dengan masakan Mbok! Harus Mbok ya, yang memasak untuk Vanya..” Di akhir jawaban, Vanya memberi peringatan. Karena jika tidak begini, maka masakan yang tersaji untuknya bukanlah berasal dari tangan Si Mbok. Meskipun beliau sudah tua, tapi cita rasa masakannya tetap sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Selalu menjadi favorit Vanya. Tapi masakan Isna—Mami Vanya—juga tidak kalah enak. Walau maminya jarang memasak.
“Iya. Mbok sendiri yang akan memasak spesial untuk makan malam Non Vanya. Oh ya, Mbok juga mau mengabarkan bahwa Nyonya dan Tuan tidak pulang malam ini. Tuan sedang ada acara bisnis di luar kota, karena jaraknya jauh..memutuskan untuk menginap di hotel.”
Vanya menganggukkan kepalanya. “Mungkin Mami udah ngabarin Vanya. Cuman belum kebaca sama Vanya,” kata Vanya dengan menunjukkan cengirannya. Ia terlalu asyik menyelami dunia Lian sampai-sampai lupa untuk membuka pesan maminya.
Maminya memang tipe istri yang setia dan mau menemani acara bisnis papinya di luar kota. Selama bertahun-tahun hal seperti ini tidak berubah. Syukurlah..hubungan keduanya tetap harmonis. Semoga nanti hubungannya dengan Lian juga seharmonis mami dan papinya. Hehe..khayalan Vanya sudah sampai sejauh itu!
Mami : Van, Mami nemenin Papi ke luar kota. Kamu jangan keluyuran malam.
Nah, benar bukan dugaan Vanya. Sang mami mengirimkan sebuah pesan.
Vanya : Iya, Mi.
Hanya iya-iya saja. Tapi tidak berjanji untuk diam di rumah malam ini. Karena malam ini, Vanya mempunyai rencana untuk berjalan-jalan keluar. Entah sendiri atau bersama Danisha. Yang jelas Vanya ingin pergi berjalan-jalan. Hari ini Vanya putuskan untuk meliburkan toko onlinenya sehari. Itu artinya segala aktivitas yang berhubungan dengan dagangan, berhenti semua.
Vanya menatap nanar room chat dengan papinya. Tidak ada pesan masuk sama sekali. Padahal biasanya sang papi selalu memberinya kabar bila hendak pergi ke luar kota. Ah..Vanya peka. Mungkin papinya masih marah karena perdebatan di meja makan kemarin malam. Tak apa, nanti Vanya akan membujuknya dengan membawa kabar bahagia mengenai keputusannya yang mau melanjutkan kuliah di kampus yang sama dengan Danisha.
Berbeda halnya dengan Vanya. Di sebuah meja makan keluarga Lian menjadi pusat perhatian mama dan papanya. Bagaimana tidak? Sejak tadi Lian sibuk dengan ponselnya. Sesekali Lian juga berdecak kesal, dahinya mengerut, dan tanda-tanda bahwa ia sedang kesal lainnya. Hingga sebuah suara berat menginterupsinya.
“Ada apa, Lian? Apa ada masalah dengan perusahaanmu? Bisa letakkan ponselmu beberapa menit kedepan? Kita sedang melangsungkan makan bersama.” Suara berat tersebut bernada dingin. Lian sadar bahwa dirinya telah membuat kesalahan karena menanggapi gadis pembangkang aneh yang tiba-tiba mengganggunya via pesan.
Sementara itu, pandangan Lian tertubruk pada sepasang mata tajam sang mama. Mamanya memberitahu melalui isyarat mata bahwa papa marah karena Lian bermain ponsel di meja makan.
“Maaf, Pa. Ada pesan penting yang harus Lian balas cepat tadi.”
Cih, pesan penting? Yang benar saja! Memangnya siapa gadis pembangkang aneh itu bagi Lian? Bukan siapa-siapa.
Lian tersenyum miring. Satu kebohongannya ini dibuatnya hanya untuk menyembunyikan aksi gadis tersebut. Lian merasa rugi telah membohongi papanya karena hal konyol seperti ini. Tidak seharusnya ia membohongi papanya..
“Ya sudah. Bila kamu masih sibuk, silahkan selesaikan kesibukanmu terlebih dulu. Tapi tidak di sini. Karena ini meja makan. Tempat untuk makan. Bukan tempat untuk menyelesaikan pekerjaan.”
Bila papanya sudah berada di mode tegas seperti ini, Lian hanya bisa diam. Ia tak melanjutkan mengirim pesan menohok pada gadis yang mengaku bernama Vanya-Vanya itu. Biarlah, nanti akan Lian selesaikan sampai akar-akarnya. Untuk saat ini, lebih baik Lian segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Dari pada meletakkan ponselnya di meja makan, bisa semakin runyam situasinya bila gadis pembangkang aneh itu mengirimkan pesan beruntun. Selain itu juga, agar sang papa tidak lagi menganggap dirinya memperhatikan ponsel.
Makan bersama sore ini pun berjalan dengan khidmat.
Sikap tegas Baskara pada Lian memang tidak pernah berubah. Bahkan Lian sudah menyadari hal tersebut sebagai sebuah perbedaan sikap antara dirinya dan sang adik—Leta. Ya, sikap papanya kepada Leta tidak terlalu tegas. Bahkan Leta begitu dimanja di rumah ini. Namun, Lian? Ia mendapatkan pendidikan yang tegas dari papanya. Mungkin karena Lian merupakan anak pertama dan anak laki-laki di rumah ini. Maka dari itu Baskara mendidik Lian dengan tegas.
Tapi semua itu membuahkan hasil. Lian sukses kariernya di masa muda. Namun sayangnya hingga menginjak usia dua puluh sembilan tahun, Lian belum kunjung menemukan calon istrinya.
Setelah makan bersama selesai. Lian bermaksud untuk bersiap-siap bepergian malam harinya. Lagi-lagi ia harus menemani Kavin untuk pergi. Semoga saja kali ini tanpa mengajak Shafa, karena Lian enggan menjadi obat nyamuk mereka berdua. Tapi tak apa, Lian mengiyakan ajakan pergi Kavin yang katanya mau mengajaknya menongkrong sambil cuci mata tipis-tipis. Entah pemandangan indah kafe seperti apa yang Kavin tentukan? Lian hanya mengikut saja.
Lumayan bisa Lian gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan suasana outdoor. Tentu saja! Lian akan membawa serta laptop kerjanya. Judulnya : Menongkrong Sembari Bekerja.
Sekitar setengah jam kemudian, Lian sudah berada di dalam mobil Kavin. Ya, sahabat karibnya itu menjemputnya di rumah dan mendapatkan sedikit interogasi dari Papa Lian.
“Hendak mengajak Lian pergi kemana, Kavin?” tanya Baskara langsung pada intinya ketika Kavin tiba dengan berpakaian santai. Baskara menebak, sudah pasti kepergian mereka berdua bukan untuk urusan pekerjaan.
Kavin mengenakan celana jeans pendek selutut berwarna broken white yang ia padukan dengan kaos hitam polos. Rambutnya tersembunyi di balik topi hitam.
Simpel tapi sangat-sangat tampan!
“Pergi menongkrong, Om. Boleh ‘kan, Om?” Kavin merasa harus meminta izin kepada Baskara. Pasalnya Lian ini sudah seperti perawan, penjagaannya begitu ketat! Padahal kenyataannya Lian merupakan anak laki-laki yang sudah berusia dua puluh sembilan tahun. Astaga..
Baskara hanya manggut-manggut. “Ohh, menongkrong. Ya sudah. Jangan pulang subuh, yaa..” Tak lupa, Baskara berpesan tentang kepulangan dua anak bujang ini.
Wajar saja. Anak bujang bila tidak diberi pesan tentang kepulangan, bisa-bisa sampai besok pagi mereka baru pulang. Padahal keesokan harinya mereka harus berangkat ke kantor. Baskara tidak suka bila Lian menongkrong sampai subuh.
“Siap, Om! Jika perlu jam sembilan tepat saya akan mengantar Lian pulang tanpa kurang satu pun,” canda Kavin yang sebenarnya sedikit menyindir Papa Lian. Bisa-bisanya penjagaan Lian seketat ini?
“Bagus.”
Saat melihat Lian sudah siap dengan setelan baju yang sama santainya dengan dirinya. Kavin lantas mencium tangan Baskara sebelum pergi membawa Lian.
Sepanjang perjalanan menuju kafe. Di mobil yang Kavin lajukan, pria itu terus mengolok Lian mengenai sikap posesif sang papa.
“Pantas saja kamu ini betah di rumah. Sekalinya keluar rumah saja Papamu langsung membuka sesi interogasi!” Kavin tertawa kencang. Tapi tidak dengan Lian. Raut wajah Lian begitu kecut. Ia berusaha memasukkan olokan Kavin ke telinga kanan, lalu mengeluarkannya melalui telinga kiri. Alias tidak peduli.
Tapi Kavin tidak menyerah untuk bisa membuat Lian angkat bicara. Jika di luar perusahaan seperti ini, Kavin memang sangat berani untuk berinteraksi dengan Lian. Berbeda halnya dengan ketika di perusahaan. Bisa-bisa dipecat dia! Haha..
“Keterdiamanmu itu seperti anak gadis yang merajuk, Lian..” ejek Kavin dengan menaik-turunkan alisnya. Sungguh mengganggu sekali, karena bertepatan dengan itu—Lian menatapnya.
Tak kuasa lagi menahan bibirnya untuk tak bersuara. Pada akhirnya Lian memberikan tanggapan perihal sikap sang papa. “Papa saya itu terlalu khawatir. Yaa, kamu tahu sendiri ‘kan? Seperti apa pergaulan anak muda zaman sekarang. Seperti mendekatkan kita semua pada akhir zaman.”
Kavin berpura-pura mengusap telinganya. “Hmm..ujung-ujungnya ceramah. Malam ini skip dulu-lah ceramahnya. Telinga saya tiba-tiba adem, Lian!”
“Hal baik seperti ini mau kamu lewatkan, Vin? Bodoh kamu.”
Sedikit terkejut karena Lian mengatainya ‘bodoh’. Tapi slow, Kavin sama sekali tidak tersinggung. Justru ia senang. Inilah sisi lain Lian yang menyenangkan di luar perusahaan. “Hahaha! Astaghfirullah.. Ternyata kamu bisa juga ya mengatai saya.”
“Saya manusia biasa, Vin. Bukan malaikat yang tidak pernah berdosa.”
“Ya..ya..yaa..”
Meninggalkan dua sahabat yang saling berbincang selama perjalanan menuju kafe. Malam ini Vanya benar-benar nekad mengabaikan peringatan sang mami. Setelah menyelesaikan makan malam masakan lezat Mbok Sih, Vanya bermaksud mengajak Danisha untuk pergi berjalan-jalan. Yaa paling tidak pergi ke mall atau ke kafe untuk nongkrong. Tapi sayang seribu sayang, Danisha ternyata tidak bisa. Ia sudah ada janji bertemu dengan gebetan barunya.
Entah, ini sudah pria yang ke berapa? Yang jelas baru terhitung tiga hari ini Danisha putus dengan pacar sebelumnya karena Danisha di selingkuhi!
Gadis itu memang hatinya mudah sekali terobati dari rasa sakit hati.
Benar-benar sosok gadis yang menerapkan prinsip, mati satu tumbuh seribu!
Menghela napas kecewanya karena harus pergi sendiri tanpa tujuan. Vanya melangkah lesu menuju pintu utama rumah. Karena pergi diam-diam, ketika Mbok Sih memanggilnya, Vanya langsung berlari. Lagi-lagi aksi kabur-kaburan Vanya lakukan untuk menikmati apa itu kebebasan.
Sampai di luar gerbang rumah, kebetulan ada taksi yang melintas, langsung saja Vanya menaikinya. Di dalam taksi, Vanya mengatur pernapasannya. Berlari dari dalam rumah sampai jalan raya ternyata cukup melelahkan. Apalagi Vanya berlari bukan untuk berolahraga. Namun untuk melarikan diri. Semoga saja Mbok Sih berbaik hati padanya malam ini, sehingga tidak tega melaporkan aksi kaburnya ini pada mami dan papinya.
“Kemana, Mbak?”
“Eee...” Vanya tampak berpikir. Lalu memberi jawaban, “Jalan dulu saja, Pak. Saya telepon posisi teman saya dulu.”
“Baik, Mbak..” balas sopir taksi tersebut dengan ramahnya.
Vanya teringat dengan salah seorang sahabat lainnya—Oki! Ia putuskan untuk menghubungi Oki dan menanyakan posisinya saat ini. Sudah pasti Oki berada di luar rumah. Pria tampan, hitam-manis itu..selalu menghabiskan malamnya di luar rumah. Entah itu menongkrong di kafe, bersenang-senang di klub, sampai jajan kenikmatan di hotel. Bukan sembarang hotel dan wanita yang dipilihnya untuk menghabiskan malam. Oki merupakan anak konglomerat yang bermain licin. Dalam artian, ia cerdas dan pemilih soal jajan yang dibelinya dan tempat yang menjadi saksi kesesatannya.
Bukan maen!
Meskipun Oki bukan pria baik-baik. Tapi bila bersama dengan Danisha dan Vanya, Oki selalu bisa menyesuaikan dirinya. Sisi baik Oki adalah menjaga dua sahabatnya dan bertanggung jawab apabila mengemong dua sahabatnya itu. Oki sudah seperti kakak Danisha dan Vanya, karena usia Oki lebih tua beberapa tahun di atas usia Danisha dan Vanya. Yaa, sudah legallah bila untuk ngeroom.
Dosa? Biarlah ditanggung sendiri olehnya. Baik Danisha maupun Vanya tidak mau mengurusi dosa Oki. Lagipula, mereka berdua juga manusia penuh dosa.
“Bang, share location lo dong! Gue nyusul, yaa..” Langsung saja pada intinya, Vanya meminta Oki untuk mengirimkan lokasi terkininya.
Abang.
Panggilan yang selama ini Vanya berikan pada Oki.
Dari seberang sana, Vanya mendengar suara musik dj yang begitu kencang. Vanya heran, apa telinga Oki baik-baik saja? Vanya yang mendengarnya melalui panggilan suara saja langsung pengeng seketika!
“Gue enggak bisa share location gue saat ini, Van! Lo denger enggak suara apaan itu!?”
“Lo lagi di klub, Bang?”
“Yes, Baby..emmhh..I—iya, Van. Gue lagi di klub.”
Astaghfirullah..
Vanya sampai menyebut dan mengelus dadanya. Ia menebak, Oki sedang dimanjakan oleh wanita penghibur di sana. Sudah jelas itu! Karena Vanya mendengar desah kenikmatan Oki. Gila memang pria yang satu ini..
“Pikiran lo jangan ngeres ya, Van! Gue belum ke bagian inti, kok.”
‘Ya tapi ‘kan OTW kegiatan inti, Bang! Panassssss!’ batin Vanya misuh-misuh.
Oki ini memang selalu jujur. Tapi Danisha dan Vanya justru menyukai karakter Oki. Dengan memasukkan Oki ke dalam persahabatan mereka, kehidupan mereka setidaknya tidak monoton. Meskipun mereka tetap membatasi diri mereka agar tidak ikut masuk ke dunia gelap Oki. Oki sendiri tidak pernah mempengaruhi hal buruk yang dijalaninya itu pada Danisha dan Vanya. Itulah mengapa persahabatan mereka langgeng bertahun-tahun.
“Tapi habis ini gue mau check-in di hotel! Makanya gue nyegah lo buat nyusulin gue. Udahlah! Lo sama Danisha aja! Gue tutup ya, Van..”
Panggilan pun terputus sepihak.
Di tengah kebingungannya tanpa arah, Vanya tidak menyerah. Ia mengirimkan Oki pesan beruntun yang pastinya sangat mengganggu Oki. Hal ini dilakukan oleh Vanya untuk memaksa Oki memberitahukan lokasi klubnya. Meskipun Vanya masih ragu-ragu untuk menginjakkan kakinya di sebuah klub, kembali.
Yaa, sebelumnya Vanya dan Danisha sudah pernah pergi ke klub untuk menyusul Oki. Tapi itu beberapa tahun yang lalu. Saat keduanya benar-benar penasaran dengan hingar-bingar klub. Karena pada saat itu usia mereka sudah cukup umur dan Oki juga merupakan member VIP. Jalan mereka untuk masuk klub benar-benar dipermudah.
Walau sesampainya di dalam klub Danisha dan Vanya tidak memesan alkohol. Mereka ternyata diam-diam sudah membawa minuman dingin yang mereka beli di supermarket. Benar-benar berhasil membuat Oki melongo.
Bang Oki : Ya udah kalau lo maksa. Ni gue serlok!
Bang Oki mengirimkan lokasinya terkini.
Bang Oki : Awas lo spam chat gue lagi!!! -_-
***