Sepasang bola mata Danisha langsung melotot saat memutar rekaman video yang baru saja masuk ke ponselnya. Benar-benar G-I-L-A sahabatnya ini. Belum menjadi mahasiswi di kampusnya ini saja, sudah berani menciptakan kegaduhan. Apalagi Danisha tahu betul siapa yang tengah berhadapan dengan Vanya.
Pak Lian. Seorang pebisnis sukses di bidang pangan yang beberapa kali mengisi seminar di kampusnya ini. Tak hanya kecerdasannya dalam berbisnis yang memukau. Tapi wajah tampannya juga menjadi sebuah daya tarik tersendiri sehingga sudah dapat dipastikan sebagian besar betina di kampus ini mengagung-agungkannya. Ini berarti petaka nyata, di depan mata, untuk Vanya.
“Selamat, Van! Selamat! Hidup lo di kampus ini enggak bakalan tenang!”
“K—kenapa, sih? Rekaman video apa? Sini gue mau lihat..” pinta Vanya yang langsung merebut ponsel Danisha. Padahal tadinya Vanya sudah berpikir positif. Ah..tetapi semuanya buyar seketika kala ia mendengar ucap Danisha diiringi nada amarah.
Seketika itu juga emosi Vanya bangkit kembali. Padahal tadinya sudah merasa baik-baik saja, karena Lian tidak menanggapi amarahnya dengan amarah pula. Justru sebaliknya, Lian begitu tenang, elegan, dan adem pembawaannya.
Kembali pada perkara baru—rekaman video! Bagaimana Vanya tidak emosi? Pasalnya pemeran utama dalam rekaman video tersebut adalah dirinya dan Lian. Tindakannya yang menimpuk punggung Lian dengan totebag dari benar-benar terekam dari awal pergerakannya sampai akhir saat Lian menyeret tangannya.
Jelas sudah. Di rekaman video tersebut Vanya merupakan tokoh antagonisnya. Sedangkan Lian protagonis. Jika sudah begini, mau ditaruh dimana muka Vanya? Ia malu dan sedikit takut karena ekspresi geram yang Danisha tunjukan kepadanya.
Ini semua karena ulah tangan-tangan jahil yang sigap sekali merekam kejadian di koridor tadi! Pasti mereka tak lain dan bukan adalah Pemuja Lian. Mata Vanya tidak buta untuk bisa membaca caption yang tertera jelas di bawah unggahan rekaman video tersebut.
Serangan cewek bar-bar! Kasihan Pak Lian..
Hampir ratusan komentar. Yang sebagian besar para betina tuliskan. Isinya tentu saja makian atas tindakan Vanya yang dianggap mereka merecoki Lian. Benar-benar sebuah petaka yang sama sekali tidak pernah Vanya duga akan terjadi pada dirinya. Sungguh malang nasib Vanya..
Belum juga menjadi mahasiswi baru, tapi namanya sudah jelek di kampus Danisha ini.
Danisha merebut kembali ponsel miliknya dari tangan Vanya. Gerakan kasar Danisha mengindikasikan kemarahannya. Vanya sudah menyiapkan sepasang telinganya, bilamana setelah ini Danisha akan langsung menyemburkan api kemarahan. Tapi ternyata tidak secepat itu, karena tanpa mengeluarkan sepatah kata pun..Danisha melangkah cepat begitu saja. Mau tidak mau, Vanya berlari kecil guna mengikuti langkah cepat Danisha.
Tangan Vanya berusaha menggapai lengan Danisha, walau sahabatnya itu beberapa kali menepis tangannya. Waduh! Kacau..Danisha marah besar.
“Sha, jangan ngambek dong.. Gue bisa jelasin semuanya, kok. Kita ngobrol baik-baik, ya? Maafin gue karena tadi gue sempet bohong sama lo. Tapi itu semua gue lakuin supaya lo enggak kepikiran. Gue bener-bener enggak nyangka kalau masalahnya bakalan jadi sebesar ini.”
“…..”
“Dengerin cerita versi gue dulu, ya? Ya?” bujuk Vanya. Walau sejak tadi Danisha mengunci rapat-rapat bibirnya, tapi Vanya tahu betul bahwa sepasang telinga Danisha mendengar setiap ucapannya.
Hingga tak terasa langkah kaki mereka tiba di koridor kampus yang cukup sepi. Tubuh Vanya hampir terjengkang karena Danisha tiba-tiba menghentikan langkah kakinya.
Danisha membalikkan badannya. Kedua tangannya berkacak pinggang. Napasnya memburu. Seolah-olah ia siap saja bila saat ini diminta menelan bulat-bulat Vanya. “Jelasin ke gue SE-MU-A-NYA. Awas kalau sampai ada bagian yang terlewatkan!” tuntut Danisha kemudian.
“Oke..”
Karena melihat ada tempat duduk, Danisha putuskan untuk duduk manis. Sedangkan Vanya dibiarkannya berdiri begitu saja. Seolah-olah Vanya ini hendak mempresentasikan materi kuliah padanya. Biar saja. Danisha sudah sangat geram sejak tadi. Ingin sekali menguyel-uyel rambut Vanya yang tertata rapih kece badai bergelombang dengan sedikit warna cokelat di bagian ujung-ujungnya itu!
Tanpa berlama-lama lagi karena raut wajah Danisha sudah sangat tidak bersahabat. Vanya mulai menceritakan semuanya dari awal sampai dengan akhir. Ia bahkan sampai mengulangnya, supaya benar-benar semuanya terceritakan. Tidak ada yang terlewatkan sama sekali. “…jadi begitu ceritanya. Tapi sumpah, Sha. Gue udah baikan, kok, sama Pak Lian. Beliau adem banget ngadepin gue yang ngereog tadi.” Anehnya, di akhir penjelasan Vanya justru terbayang-bayang oleh wajah tampan sosok Lian Natan Baskara.
Memang sih, ekspresinya datar-datar-dingin. Tapi kata-kata motivasi khususnya untuk Vanya dan senyum tulusnya masih sangat jelas terekam di memori Vanya. Sepertinya momen perpisahan dengan Lian di depan tadi akan menjadi kenangan terindah yang sulit untuk Vanya lupakan. Lian dengan sikap dewasa dan gentlenya. Ah..idaman Vanya!
“Kenapa lo senyum-senyum begitu?” tanya Danisha yang curiga dengan senyum Vanya. Menurut Danisha, senyum Vanya yang satu ini berbeda daripada senyum normal Vanya biasanya. Seperti sebuah senyum yang mengindikasikan ketertarikan kepada seseorang. Kesengsem.
“Jangan bilang lo—” Vanya memotong ucapan Danisha dengan langsung memeluk lengan Danisha dan menghempaskan tubuhnya untuk duduk di sebelah Danisha.
Vanya menyengir kuda. “Ehe..Pak Lian ganteng banget ya, Sha? Enggak heran kalau mahasiswi sini banyak yang suka.”
“Lo stop, yaa! Senyum lo nyeremin, Van!” Danisha mulai merasakan perasaan tidak enak. Jangan sampai hal yang ada di kepalanya benar-benar sesuai dengan yang dialami oleh Vanya.
Sekata-kata, Vanya mengumumkan. “Gue kayaknya bakalan mulai merajut kisah asmara deh, Sha. Biar hidup gue lebih berwarna gitu. Gue ‘kan juga pengen kayak lo sama Oki.”
“Ha? G—gimana?” Danisha masih loading, karena tiba-tiba Vanya membawa-bawa persoalan kisah asmara. Padahal biasanya, gadis ini selalu skip pembahasan mengenai kisah asmara. Karena sejak dahulu Vanya belum pernah merasakannya.
“Pak Lian kayaknya cocok banget deh sama gue!” cetus ngawur Vanya.
“Halu lo!”
“Gue kayaknya jatuh cinta pada pandangan pertama sama Pak Lian. Yaa..walau pertemuan gue sama Pak Lian berawal dari kejadian yang kurang mengenakkan. Tapi Tuhan enggak pernah salah dalam menitipkan anugerah cinta ‘kan, Sha?”
“Enggak usah bawa-bawa Tuhan deh, lo. Sholat lo aja masih bolong-bolong!” Danisha sempat speechless. Tidak biasanya Vanya membawa-bawa Tuhan. Ini terlalu keluar dari karakter sosok Vanya.
Vanya hendak protes dengan ucapan Danisha barusan. Tapi Danisha sudah lebih dulu menyerocos. “Apa!? Mau marah? Jangan kira gue enggak tau ya, kelakuan lo di rumah. Nyokap lo, noh! Kadang curhat ke gue. Punya anak gadis satu aja, diajak ke jalan lurus..susahhh banget.”
Memutar kedua bola matanya dengan malas. Vanya merasa topik pembahasan ini tidak perlu dilanjutkan. Untuk apa? Toh, isinya tentang aibnya! Memalukan.
“Kok topik pembahasan kita jadi keluar jalur sih, Sha? Ah, lo enggak seru!”
“Kata siapa keluar pembahasan? Justru gue mau kasih tau lo. Dengerin baik-baik, ya.” Vanya manggut-manggut. Sepertinya akan ada nasihat bijak yang Danisha berikan. Maka dari itu, Vanya memasang kedua telinganya baik-baik. Ia bahkan menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. “Sebaiknya lo pendem aja deh, cinta pada pandangan pertama lo itu. Mungkin hanya sebatas rasa penasaran atau kekaguman sesaat. Emang lo tau apa sih, soal cinta? Lagipula juga bakal percuma, Van. Mustahil kalau Pak Lian sampai notice cewek kayak lo.”
“Lah? Emang gue kayak apaan? Kesannya hina banget ya, gue..” Vanya merasa sedikit tersinggung. Hatinya serasa tercubit karena mendengar perkataan sedikit kejam untuknya itu keluar langsung dari bibir sang sahabat. So sad.
Danisha menghela napasnya, ia merasa bersalah karena memilih kata-kata yang sedikit kejam. Apalagi saat sepasang mata Danisha memandang kedua bahu Vanya yang semula tegak, kini sudah lemas. “Sorry-sorry nih, Van. Gue enggak mau lo sakit hati. Lebih baik di awal gue langsung aja patahin semangat lo buat dapatin hati Pak Lian. Karena Pak Lian itu beda dari cowok kebanyakan, Van. Umur beliau sudah cukup matang. Lo enggak ngarep dipacarin ‘kan?”
“Ngarep tipis-tipis enggak masalah kali, Sha..” balas Vanya dengan ekspresi memelasnya. Kasihan sekali sahabatnya ini.
Kenapa juga Vanya harus menjatuhkan hatinya untuk pertama kali pada seseorang yang tidak seharusnya?
Ya, tidak seharusnya. Menurut Danisha, Lian terlampaui sempurna untuk seorang Vanya yang notabenenya masih tergolong gadis yang hidupnya hanya untuk senang-senang. Kerap kali pula melupakan Sang Pencipta.
Meskipun Vanya merupakan gadis gigih yang satu jalur dengan Lian—jalur bisnis—tapi hal tersebut tidak lantas membuat Vanya nantinya akan mudah mendapatkan sosok Lian. Danisha bahkan tidak pernah menyangka bahwa sahabatnya akan kesengsem pada Lian.
“MASALAH, Van! Karena Pak Lian itu enggak mungkin cari pacar. Apalagi pacarin lo!”
“Alasannya?”
“Pertama, karena faktor usianya yang sudah saatnya membina rumah tangga. Beliau enggak mungkin deketin cewek untuk sekadar diajak pacaran. Minimal yaa taaruf-an-lah. Yang kedua, karena beliau terkenal cukup religius. Udahlah. Enggak bakal bisa lo gapai beliau. Meskipun lo jadi bintang, terus beliau itu bulan. Tetap susah buat bersatu. Dunia lo sama beliau beda banget. Jomplang yang ada!”
“Yeee..justru itu! Perbedaan itu menyatukan. Siapa tau aja nanti perlahan gue bisa berubah ke arah yang lebih baik karena jatuh cinta sama Pak Lian. Bisa jadi ‘kan?” Sejak tadi Vanya selalu saja menepis segala kenyataan yang Danisha beritahukan. Bila sudah begini, akan susah bagi Danisha untuk membuka mata Vanya lebar-lebar.
Sudahlah. Danisha merasa perbincangan ini tidak akan ada ujungnya. Hanya buang-buang napas dan tenaga. Lebih baik Danisha akhiri saja. “Kayaknya sampai mulut gue berbusa, lo enggak bakalan ngerti. Ya udah. Kita akhiri aja perbincangan topik ini. Eh..tapi gue mau pesen satu hal sama lo.”
“Apa, Sha?”
Danisha mulai menunjukkan raut wajah seriusnya. Tangannya bahkan bergerak menggenggam kedua tangan Vanya, lalu disatukan. Sepertinya pesan Danisha kali ini sangat penting. Vanya jadi deg-deg-an sendiri. Pikirannya sudah blank. Sehingga tidak bisa menerka-nerka. Maka yang bisa ia lakukan hanya menunggu pesan tersebut keluar sendiri dari bibir sang sahabat.
“Kalau lo mau berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Gue mohon, berubahlah karena memang diri lo sendiri yang mengkehendaki. Jangan karena orang lain. Syukur-syukur karena Allah SWT. sudah memberikan hidayah-Nya kepada kamu, salah satu umat-Nya..”
Benar bukan?
Sebuah pesan religius yang memang sangat bijak dan benar adanya. Tidak biasanya Danisha memberikan pesan-pesan seperti ini. Tapi Vanya tahu, Danisha ini sebenarnya agamanya jauh lebih baik daripada dirinya. Maka dari itu, Danisha bisa memberi pesan padanya. Ya meskipun keduanya sama-sama belum sempurna. Menutup aurat saja masih belum mampu.
Vanya paham dan sadar betul dengan pesan sahabatnya barusan. Menurutnya, seratus persen benar! Vanya mengangguk-anggukkan kepala. “Iya. Gue usahain. Makasih udah selalu ngingetin gue, Sha..” Vanya memberikan pelukan singkat kepada Danisha. Meskipun Danisha suka mengegass ketika berbicara dan kadang kasar, tapi sebenarnya hati Danisha ini lembut.
“Kita jadi keliling kampus enggak, nih? Toh, ternyata lo tadi udah keliling kampus tanpa sadar waktu diseret-seret Pak Lian,” sindir Danisha dengan lengan menyenggol-nyenggol lengan Vanya. Vanya sendiri hanya malu-malu kucing.
Cih, Si Vanya! Sebelas-dua belas sama kucing tetangga Danisha kalau ketemu pacarnya!
Vanya menggeleng, “enggak jadi, deh. Gue pengen langsung pulang aja!”
“Kenapa? Lo capek? Atau banyak pesenan yang mau lo packing?”
“Enggak. Gue justru bersemangat! Habis ini, gue bakalan cari tau semua hal tentang Pak Lian. Di internet pasti banyak banget ‘kan artikel-artikel tentang beliau?”
Hahh..Danisha capek!
“Kepala batu banget ya, lo!”
Meskipun Danisha kembali naik pitam. Tapi Vanya berusaha tetap tenang. Ia menempatkan dirinya di posisi Lian tadi ketika dirinya menjadi reog. Dengan penuh kesabaran dan ketabahan, Vanya mengulas senyum manisnya. “Slow aja, Sha. Gue tau, kok. Sakit hati ‘kan emang udah resiko dari setiap hal yang indah. Termasuk cinta salah satunya.”
“Terserah!!”
Mereka pun berdiri dari duduknya. Kemudian berjalan beriringan dengan sesekali bercanda-tawa. Seolah masalah yang tadi sempat memusingkan kepala, hilang begitu saja!
Di rumah, Vanya benar-benar melakukan apa yang dikatakannya tadi pada Danisha. Dengan ditemani segelas es stroberi buatan Mbok Sih, Vanya fokus berselancar di internet untuk membaca berbagai artikel mengenai sosok Lian Natan Baskara. Tidak hanya artikel saja, Vanya bahkan menyempatkan waktu sibuknya untuk menonton video seminar Lian yang durasinya puluhan menit. Alhasil, Vanya sampai lupa waktu untuk mengecek orderan yang masuk dan packing barang pesanan hari ini.
Hingga Vanya menemukan sebuah artikel yang menarik untuk ditelusuri lebih dalam. Artikel ini dirasa sangat penting untuknya yang memang bertujuan ke sana. Ya, sebuah artikel yang menggosipkan kisah asmara seorang Lian. Bukanlah hal-hal semacam ini yang sebenarnya sedang digali oleh Vanya. Sampai ia mengabaikan sejenak aktivitas mengemas barang dagangan.
LIAN NATAN BASKARA, SEORANG PEBISNIS MUDA YANG MELEJIT KARIERNYA INI TERNYATA PERNAH DITINGGAL MENIKAH OLEH KEKASIHNYA, SIMAK PENJELASAN SELENGKAPNYA!
“Pak Lian yang udah sukses aja pernah ngerasain ditinggal nikah! Apalagi aku yang belum jadi apa-apa. Ngeri banget dunia asmara..” ocehnya sendirian. Seraya sesekali menyeruput es stroberi.
Vanya telah selesai membaca artikel tersebut sampai bawah. Namun, tentang identitas wanita yang telah tega meninggalkan Lian..Vanya belum mengetahuinya. “Enggak apa-apa. Setidaknya aku sedikit taulah riwayat kisah asmara Pak Lian.”
“Ekhm..ekhmm..kayaknya enggak bagus banget ya, manggil ‘Bapak’? Aku panggil ‘Mas’ aja kalau di luar suasana resmi.”
Dengan layar laptop yang mempertontonkan foto tampan Lian mengenakan setelan jas hitam, Vanya tersenyum manis dan mengulang panggilannya pada pria yang berhasil membuatnya segila ini. “Mas Lian..”
Jantung Vanya berdebar-debar. Padahal ia hanya memanggil nama Lian tanpa ada sosoknya di sini.
Meninggalkan meja belajarnya, Vanya berguling-guling di kasur seraya mengangkat tinggi ponselnya. Dalam posisi rebahan itu, Vanya melakukan langkah selanjutnya yakni mengikuti semua akun sosial media Lian. Tangannya bahkan sudah gatal. Tak dapat menahan jari-jarinya untuk tidak memulai komunikasi virtual lebih dulu.
Alhasil, terkirimlah sebuah pesan singkat di media sosial Lian yang diikuti ratusan ribu orang. Vanya sudah menduga, bahwa kebanyakan pengikut Lian adalah kaumnya—para betina!
irsy.vanya_ : Pak Lian Yang Terhormat, ikuti saya balik dong..
irsy.vanya_ : Maafin saya atas insiden di koridor kampus tadi. Saya sudah dapat karma, Pak. Saya viral!
irsy.vanya_ : Oh ya, lupa mengenalkan diri. Nama saya Vanya. Dipanggil ‘Sayang’ enggak masalah, kok..
Vanya terkikik geli karena ia menambahkan banyak sekali emoticon tertawa sampai bunga-bunga yang mengindikasikan bahwa dirinya tengah salah tingkah. Astaga! Kenapa Vanya bisa segila ini? Memulai percakapan lebih dulu? Benar-benar sekarang dunia terbalik, karena wanita yang mengejar pria!
Tapi tak apa. Untuk sekelas Lian, yaa wajar saja bila dikejar. Bukan mengejar. Tapi yang membuat Vanya heran adalah mengapa Lian tak kunjung mengakhiri masa lajangnya?
“Apa Mas Lian belum bisa move on ya, dari mantan kekasihnya yang ninggalin dia nikah itu?” tanya Vanya pada dirinya sendiri. Mencoba menerka, walau segala terkaannya belum terverifikasi kebenarannya.
Vanya masih akan terus mencari tahu latar belakang Lian. Karena hari ini ia sudah berjanji. “Sebesar apapun rintangan yang nanti aku hadapi, aku siap! Demi menggapai cinta Mas Lian..”
“Aaaaa..”
“Non Vanya!? Kenapa teriak-teriak, Non? Ada apa!?” Mbok Sih tergopoh-gopoh karena mendengar suara teriakan yang begitu keras dari dalam kamar nonanya. Raut wajah khawatir tergambar jelas menghiasi wajah keriputnya.
Tapi Vanya hanya meringis seraya mengubah posisinya menjadi duduk. “Enggak kenapa-kenapa, Mbok. Vanya lagi senanggggg banget!”
“Kenapa? Banyak orderan yang masuk hari ini?”
Vanya menggeleng.
“Lalu bahagia karena apa, Non?”
“Karena untuk pertama kalinya, jantung Vanya terus deg-deg-an!”
“Jantung Non bermasalah? Nanti Mbok sampaikan pada Tuan dan Nyonya ya, Non. Siapa tau ada masalah dengan jantung, Non..”
“Jantung Vanya sehat kok, Mbok! Vanya yakin itu! Ini masalah di luar medis, Mbok.”
“Kenapa jantungnya terus deg-deg-an?”
“Vanya lagi jatuh cinta!” Bersamaan dengan itu, sebuah notifikasi masuk. Mengabaikan ekspresi terkejut Mbok Sih, Vanya langsung membuka pesan balasan Lian.
Ya, Lian membalas pesan yang Vanya kirimkan.
Pertama-tama, Vanya bahkan sujud syukur. Karena pesannya yang tertumpuk dengan ratusan bahkan ribuan pesan, dapat dengan cepat Lian baca dan balas. Bukannya Vanya tak tahu, dengan pengikut yang super banyak, isi pesan Lian pasti banyak pula!
“Nyatanya diantara ribuan pesan, pesan yang aku kirimkan mendapat balasan dengan waktu tunggu yang tidak lama..” Vanya terkekeh senang. “Asik!”
Melihat kebahagiaan Vanya yang begitu nyata, Mbok Sih hanya mengulas senyum tulusnya. Diusapnya lembut rambut kepala Vanya. Mbok Sih seperti mempunyai seorang cucu. Dahulu Vanya bahagia karena mendapat permen cokelat darinya. Kini, Vanya bahagia karena jatuh cinta. Waktu berjalan begitu cepat. Mbok Sih merasa sudah siap bila sewaktu-waktu dipanggil oleh Sang Pencipta.
lianata_baskara : Saya sudah memaafkan kamu. Rekaman video kamu yang beredar juga sudah saya ‘bereskan’. Jangan mengirimkan pesan beruntun pada saya.
“Lhooo ya enggak bisa!”
irsy.vanya_ : Oke. Kalau saya tidak boleh mengirim pesan beruntun, boleh dong saya minta nomor telepon yang bisa dihubungi? Saya mau telepon..
lianata_baskara : 8-0012-551. Pasti nomor tersebut dapat kamu hubungi. Bahkan 24 jam.
Nomor call center rumah sakit terdekat!
Vanya tertawa kencang sampai berguling-guling di kasur. “Mas Lian ternyata selera humornya boleh juga..”
“Gemesin banget, sih!”
***