WILLIAM'S EYES

910 Words
Selama di pesawat, Liam mencari tahu tentang Emily, terutama tentang suami wanita itu. Karl Mackenzie berhenti menjadi vokalis band ketika ia tahu pacarnya sedang mengandung anaknya. Setelah menikah dengan Emily, Karl tahu kehidupan yang sebenarnya ada di depan mata dan ia harus berhenti bermain-main. Karl meminjam uang dari bank untuk membuka usaha sebuah coffee shop yang ternyata tidak terlalu sukses. Liam mulai berpikir, mungkin Karl meminta Emily meneleponnya untuk meminta bantuan kepada Liam. Meski hubungan Liam dan Karl tidak sedekat itu, namun pertemanan Liam dan Emily bisa menjadi alasan untuk membuat panggilan. Karena Liam tahu sangat sulit meminjam dana lagi dari bank jika hutangmu yang sebelumnya belum terbayarkan. Mungkin Karl sangat frustasi dan membutuhkan uang. Karl pasti tahu Liam adalah salah satu teman Emily yang terlahir dari keluarga kaya raya. Jika kemungkinan Liam ini benar–bahwa Emily membutuhkan uang untuk usaha Karl–Liam bisa membantu. Liam melakukannya untuk Emily, bukan untuk Karl. Saat turun dari pesawat, Liam mendapatkan pesan dari Emily, sebuah alamat rumah sakit, bukan alamat rumahnya dan Karl. Liam berpikir ulang. Mungkin Emily membutuhkan uang bukan untuk usaha coffee shop milik suaminya, melainkan ada seseorang dari keluarganya yang sakit dan membutuhkan biaya? Apa pun itu, Liam langsung menyewa taksi dan pergi ke alamat yang Emily maksud. Wanita itu juga memberikan nomor ruang rawat inap dan meminta Liam untuk langsung masuk. Liam harus mengatur napasnya ketika ia berdiri di depan pintu ruang rawat inap bernomor 05. Pada pintu itu terdapat sebuah kaca sehingga Liam bisa melihat ke dalam, dan matanya menangkap satu tempat tidur yang diisi oleh Emily. Liam memberanikan diri membuka pintu, dan melangkah masuk. Semakin dekat kepada Emily, semakin Liam bisa melihat bahwa wanita yang tidak ia lihat selama lima tahun itu sangat kurus dan pucat. “Hai, Will, kamu datang…” Emily langsung menangis namun juga tersenyum ketika Liam berdiri tepat di hadapannya. “Look at you, kamu lebih tampan dibanding terakhir kita bertemu.” “Hai, Em.” Tenggorokan Liam terasa kasar. “Kamu sakit apa?” Liam benar-benar ingin tahu. Emily hanya tersenyum. Meskipun wajahnya pucat, kecantikan Emily tetap terpancar dari matanya. “Will, ada yang lebih penting dari sakit yang aku derita, dan kamu harus tahu.” Liam menarik kursi lalu duduk di sebelah brankar yang menjadi tempat tidur Emily. Liam mengusap perlahan tangan Emily yang tidak dipasangi jarum infus. “Apa yang mau kamu katakan?” tanya Liam dengan lembut. “Tapi, berjanjilah kepadaku kamu tidak akan membenci aku, Will.” Emily mengambil jari-jari Liam untuk ia genggam dengan lemah. Tangan Emily sangat dingin, dan Liam khawatir. “Aku tidak mungkin membenci kamu, Em.” Karena meskipun Emily tidak membalas cintanya, Liam tidak pernah membenci wanita itu. “Aku tahu seharusnya aku mengatakan ini lima tahun lalu, tapi aku terlalu takut.” Emily mencoba menatap mata Liam. “Aku berpikir untuk menghubungi kamu, dan baru kali ini aku memiliki keberanian itu.” Liam merasa bersalah selama lima tahun ini dirinya menghindari Emily karena patah hati. Sebagai seorang sahabat, Emily pasti kehilangan Liam yang memutuskan kontak dengannya. “Aku di sini sekarang, dan aku akan mendengarkan apa pun yang ingin kamu katakan, Em. Jangan takut,” ujar Liam kepada Emily. “Berjanjilah kamu tidak akan membenciku setelah ini.” Dari matanya, Emily terlihat sangat cemas. “Aku tidak mau kehilanganmu lagi, Will.” “Meski aku tidak menghubungimu selama lima tahun ini, tapi asal kamu tahu kita akan selalu jadi sahabat baik, Em. Dan sahabat baik tidak akan saling membenci.” Emily mengangguk, ia sangat berharap Liam menepati kata-katanya yang tidak akan membencinya. Lalu Emily menjulurkan tangannya kepada seoarang anak kecil yang sejak tadi duduk si sofa sudut ruangan ini. Liam menatap anak lelaki itu dan yakin bahwa ia adalah anak Emily dan Karl. “Lucas, ini teman Mommy, namanya William.” Emily mengenalkan putranya kepada Liam. “Hallo,” Lucas menyapa Liam sedikit canggung sebab ini pertama kalinya ia bertemu dengan Liam meski lima tahun lalu ada kesempatan untuk Liam menyapanya. Namun pria itu tidak melakukannya. “Hai, Lucas?” Liam balas menyapa, sama canggungnya. Lucas memiliki bibir seperti Emily, dan rambutnya juga coklat, mengikuti gen ibunya. Dan, mata Lucas… berwarna biru. Sangat tampan. “Lucas, duduk lagi di sana, Mommy ingin berbicara dengan teman Mommy.” Lucas mengangguk, ia menurut kepada Emily untuk duduk kembali di sofa dan membuka buku gambarnya. “Will, mungkin umur aku tidak lama lagi.” Emily menghela napas, bahkan matanya terpenjam untuk beberapa saat. “Jangan berkata seperti itu, Em.” Liam tidak tahu sakit apa yang diderita Emily, namun ia tidak suka dengan kata-kata tersebut. “Aku bisa bicara dengan suamimu dan mencari rumah sakit yang lebih bagus jika di sini belum cukup.” “Aku tidak mau rumah sakit bagus,” Emily menggeleng. “Aku ingin kamu mendengarkan aku, Will.” Emily menatap Liam, “Kamu sudah bertemu dengan Lucas. Bagaimana menurutmu, Will?” “Bibir dan rambutnya mirip denganmu, anakmu pasti semakin tampan jika sudah besar.” “Ya, dia memang tampan.” Emily tersenyum lemah kepada Liam. “Apa kamu memperhatikan mata Lucas?” “Iya.” Liam mengangguk. Memiliki mata biru secerah itu, sulit untuk tidak diperhatikan. Liam tahu sebab ia memiliki warna mata yang sama seperti Lucas. “Keluarga aku tidak memiliki mata biru, begitu pun Karl...” Emily menggigit bibir bawahnya, menahan isakan. “Lucas adalah anak kamu, Will. Darah daging kamu. Aku sudah mengetahui kebenarannya sejak Lucas lahir. Maaf aku baru mengatakannya sekarang.” []

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD