'Hana... Sebenarnya ia mau apa? jadi benar apa kata Mama kalau Hana adalah wanita tidak baik, ia selalu merayu laki-laki siapapun itu termasuk aku?' telisik James.
"Aku tahu bagaimana caranya membuat gadis itu tidak lagi berkutik" seringainya jahat.
Flashback Off
Fokus James kembali ke ruangan Hana, dan terlihat wanita itu sudah berada disana memasang wajah datar seolah tidak terjadi apa-apa. Geram dan marah, membuat James keluar menghampiri Hana.
"Kemana saja kamu?" omelnya. Hana tidak berkutik, ia melanjutkan mengetik pekerjaannya. Ia sudah kehilangan waktu istrirahatnya. Dan kini ia justru memilih kembali sibuk bekerja.
"Vadhana..." bentak James menyebut nama panjang gadis di depannya.
"Maaf, Pak saya sibuk" sahut Hana dengan suara serak, meski wajahnya tidak lagi menunjukkan kesedihan disana.
James melirik bekal Hana yang tergeletak di sampingnya tanpa disentuh sang empunya.
"Kamu belum makan?" selidiknya. Sesaat Hana menghentikan memainkan jari-jemarinya di atas keyboard. Lelaki itu tanya apa ia sudah makan atau belum? Hhee... Bukankah ini semua salahnya?
"Sudah, Pak" sahut Hana jutek masih berusaha menjaga kesabarannya.
"Tapi bekalmu masih penuh!" elak James yang melihat isinya hanya berkurang sedikit. Kesal membuat Hana bangun, mengambil tasnya dan memasukkan bekalnya ke dalam sana.
"Itu bukan urusan, anda?" sinisnya. Jika lelaki itu membencinya, maka ijinkan juga Hana untuk perlahan melupakannya. Jangan selalu memberikan wanita itu sejuta perhatian yang tak bisa Hana hindari, Hana hanya takut rasa ini perlahan membunuhnya. Dalam perasaan cinta, disambut baik oleh orang yang dicintai adalah suatu anugerah bagi pencinta itu sendiri. Jika James selalu tarik-ulur perasannya, Hana tak yakin bisa tahan dengan semuanya.
"Yudi... Yudi..." kembali James memanggil OB muda itu.
"Iyah, Pak" sahut Yudi yang sigap datang
"Belikan Ibu Hana makan!" titahnya
"Gak usah, Yud" sela Hana yang dengar.
"Saya bilang belikan!"
"Saya bisa sendiri membeli makanan saya" tekan Hana
"Belikan apa yang biasa Bu Hana makan!" James mengeluarkan uang dari dompetnya, ia sama sekali tidak peduli dengan laragan Hana. Kesal, membuat Hana refleks mengambil dompet James.
Dompet yang terdapat foto Ines, sahabatnya memakai baju kebaya tengah tertawa di samping James yang memakai jasnya. Yah... Foto pernikahan mereka.
Hana beku, sekali lagi ia harus menerima kenyatan bahwa selamanya James tak mungkin menjadi miliknya meski Ines sendiri yang memintanya untuk menggantikan posisinya setelah tiada.
Tapi apa Hana tega menyingkirkan Ines dari hati James. Hana mengembalikan lagi dompet James.
"Ines sangat cantikkan di foto ini?" bangganya berniat membuat Hana cemburu.
"Yah..." sahut Hana lemah.
"Dan Yudi, kamu gak perlu membelikan saya makan, saya akan memakan bekal saya di pantry" kata Hana membawa tasnya pergi. Ia harus cepat jika tak ingin James sadar air matanya ingin jatuh lagi. Cepat Hana menghapus cairan bening itu, seolah menghapus segala lara yang hinggap di hatinya.
James merasa tak puas, Ia mengekori langkah Hana, Ayohlah... Setiap hari ia ke kantor tujuannya tak lain memastikan Hana menderita. Karena James yang notabanenya pemilik hanya perlu bekerja di rumah seraya menerima laporan para karyawannya.
"Tunggu...!" James menahan daun pintu. Hana mendengus jengah.
"Apa anda juga ingin memeriksa pantry, Pak?!" sarkasnya.
"Memangnya kenapa ini kantor saya. Dari lantai satu sampai lantai lima belas semua yang ada disini milik saya" ucapnya angkuh.
"Termasuk kamu!" desisnya egois.
"Saya bukan..." Tak peduli, James mendorong Hana masuk ke dalam. Menghimpit wanita itu ke dinding.
"Kamu milikku, semua yang ada di dirimu adalah kepunyaanku" seringainya menyentuh pipi Hana dengan punggung tangannya.
"James, tolong jangan terus seperti ini!" lirih Hana memohon.
"Panggil aku seperti dulu kamu memanggilku!" bentak James hanyut dengan kenangannya bersama Hana.
Hana mengeleng kuat. "Itu tak akan terjadi, cerita kita sudah usai sejak kamu menikahi sahabatku!"
"Kamu bahkan tahu, jika aku tidak begitu mencintai Ines, kamu... Kamu cintaku" jujur James, semakin merapatkan dirinya pada Hana
"James, aku mohon..." Kuat Hana mendorong lelaki itu, sayang tubuhnya yang bergetar setiap kali mendapat sentuhan James begitu lemah.
"Katakan Han, kamu milikku. Dan kamu tidak boleh dekat dengan lelaki siapapun" sahut James panik.
"Kamu jahat James, kamu menikah dengan Ines. Sedang aku, tak pernah kamu mengijinkanku mengenal lelaki lain" cicit Hana, James semakin lepas kendali. Ia marah karena Hana tidak mengijinkan ia jadi milik lelaki itu seutuhnya.
Dengan kasar ia melumat bibir Hana.
"Eeuumphh... James" panggil Hana tertahan di kerongkongannya karena James semakin liar mencium bibirnya. Lelaki itu bahkan mengigit bibirnya
Perih yang Hana rasakan tapi ia tak mampu berbuat banyak, James semakin merapat kearahnya. Kedua d**a mereka menyatu, dan semakin membakar gairah James.
Bahkan saat ini lidah James menelusuk masuk ke dalam rongga mulut Hana. Mengabsen setiap deretan giginya.
"Hhhaaahh... hhaaahh... " Hana hampir kehabisan nafas, mereka sudah melakukannya lebih dari sepuluh menit. Rasanya wanita itu tak mampu lagi melawan. Pukulan-pukulan di punggung James juga semakin lemah. Berganti dengan dekapan hangat wanita itu, sesaat ia lupa dengan keangkuhan yang selalu ia jaga antaranya dengan James.
James merasa dekapan hangat tangan Hana di punggungnya, membuat ia mengelus rambut Hana. Pelan ia menarik bibirnya dari atas bibir Hana, dilihatnya bibir kekasihnya yang sudah membengkak.
Tersenyum saat sadar semua itu karena ulahnya. Lagi ia ingin mencecap bibir merah merekah itu. Tapi kali ini dengan penuh kelembutan.
Cecapan demi cecapan mengisi pantry, pelukan Hanapun semakin erat. James memang sangat pintar dalam berciuman. Bahkan rasanya masih sama saat seperti waktu mereka memadu kasih.
Bibir James beralih ke leher jenjang Hana, menciumnya sekilas karena ia tahu tidak boleh meninggalkan bekas disana.
Ia memilih membuka kancing kemeja atas Hana, Semula Hana melarangnya. memegangi tangan lelaki itu dengan tatapan ragu, tapi senyum iblisnya membuat Hana melepaskan tangannya yang tadi memegangi tangan James.
Merasa menang sekali lagi, James membuka kancing yang kedua.
Bibirnya mengecup tulang selangka Hana.
"Aaahh... Aahhh... Jangan" rancau Hana terpejam, apalagi tangan James meremas satu payudaranya.
"Desahkan namaku, Hana" pinta James, masih mengisap kuat kulit d**a Hana.
"James... Aku mohon" lirih Hana mengoyang-goyangkan pinggulnya ke dinding. Sungguh sebuah reaksi yang mungkin akan Hana sesali.
"Terus Hana aku suka" sahut James dengan nafas berat. Tangannya yang di d**a Hana beralih ke rok span wanita itu. menyentuh paha mulus Hana dengan gerakkan sensual.
"James!" geram Hana sekuat tenaga menegakkan kepala James.
"Kenapa, Hana?"
"Aku... Aku gak bisa, aku tak mau menghianati Ines"
"Hhaah... Mustahil. Kalian dua orang sahabat yang membuatku bingung, Hana aku bukan barang yang bisa kalian lempar sana-sini!" geram James frustasi seraya mencengkram bahu Hana.
"Kalau begitu lupakan aku!" pinta Hana kemudian
"Gak mungkin, aku tak akan sanggup" James berbalik membelakangi Hana, dan kesempatan itu Hana pakai untuk kabur dari James. Lagi dan lagi meski raganya mampu pergi tapi hatinya tak mampu berpaling, semua tentang James masih menjadi mimpi indah untuknya.
Hana POV
Apa kalian fikir aku merasa bahagia berada di tengah-tengah cinta segitiga ini? Tak pernah aku berharap menjadi penganggu rumah tangga orang lain, apalagi orang itu sahabatku sendiri. Ines... Mengapa kamu pergi secepat ini, perasaan bersalah semakin menguar kuat bersama cinta yang tak juga mau surut.
Mengapa Ines, disaat akhir kamu memintaku untuk bersama dengan James lagi. Mengapa ada kata maaf itu. Seharusnya biarkan saja aku terluka dan James membenciku. Mungkin itu menyakitinya. Tapi aku yakin perlahan ia mampu ikhlas dan mulai menata hatinya. Sedang aku... Biarkan aku membawa luka ini pergi jauh.
Hana POV end.
Hana kembali terkenang dengan saat itu. Saat dimana Ines memohon agar Hana menjadi istri James selanjutnya dan menjadi ibu sambung untuk Violet, anak yang baru saja ia lahirkan.
Flashback On.
Ddriitt....Ddriittt... Hana mengucek matanya mendesah saat ponselnya menampilkan nama Ines.
"Iyah, Nes?" Hana memperkirakan Ines menelponya karena ingin mengajaknya melihat hasil pemeriksaan kehamilannya, Yah... Ines memang selalu manja. Ia tak pernah luput mengajak Hana ke bidan. Wanita itu begitu bangga dengan kehamilannya
"Hana... Hah... hhaah... haahh... Tolong aku, aku ingin melahirkan" lirih Ines dengan peluh sebesar biji jagung menghiasin pelipisnya.
"Astaga, kamu sudah memberi tahu James?" komentar Hana.
"Tolong jangan... Ja... ngan sampai James tahu dulu!" pinta Ines.
"Itu tak mungkin, anak itu anaknya. ia berhak tahu tentang kamu dan anak itu, Ines" tekan Hana sambil memasang jaketnya. Ia bersiap ke rumah Ines.
Sejak awal pernikahan James dan Ines tinggal berpisah. Alasannya sederhana, Marta Mama James tidak percaya anak yang dikandung Ines adalah cucunya. wanita sosialita itu hanya tak ingin mempunyai menantu anak yatim piatu.
"Hana, aku gak kuat.... aahhkk" teriak Ines yang terakhir Hana dengar, ia langsung memesan ojek depan gang kostannya itu.
"Cepet Pak, temen saya lagi sekarat" resahnya khawatir.
Hanalah yang paling tahu persis apa yang dihadapi Ines saat ini. Ia bukan cuma sedang mempertaruhkan nyawanya untuk buah hatinya itu. Tapi memang sikap keras kepala Ines bisa mengantarkan nyawanya sendiri
Hana sudah sampai ke kediaman Ines, ia menggedor paksa dibantu tukang ojek tadi.
"Pak tolong panggilkan taksi" pintanya
"Baik, Non" sahut tukang ojek sigap
"Ines, tolong bertahanlah"
sekitar tiga puluh menit kemudian Hana dan Ines sampai di rumah sakit.
"Dokter tolong teman saya" lirih Hana penuh harap.
"Hemm suster cepat" teriak Dokter Gunawan.
"Kamu sudah tahukan jika suatu saat ini akan terjadi, apabila Nyonya Ines memaksa mempertahankan anak yng di kandungnya" kata Dokter Gunawan mengingatkan Hana.
Hana hanya tertunduk. Meskipun sudah tahu, tapi ia tetap berharap Ines dan anaknya selamat sampai ke dunia ini.
"Ya Tuhan, tolong selamatkan mereka berdua" lirih Hana.