4. Keluarga Impian

1583 Words
Senyuman terbit di bibir kecil Ines, harapan yang indah akan segera dia lontarkan, "Aku berharap keluarga baru Hana, aku ingin seseorang datang mengadopsiku!" pekiknya senang. Hana yang tengah tersenyum, langsung terdiam. Jantungnya kian berdetak dengan cepat tanpa dia pinta. Hana terdiam cukup lama, "Keluarga baru?" beo Hana. Tiba-tiba pertanyaan itu dia lempar pada Ines yang malah mengernyit heran dengan nada suara Hana. "Iyah... Aku ingin keluarga baru Hana," pinta Ines. Matanya tampak berkaca-kaca senang ketika membayangkan jika seandainya ada kesempatan untuk dirinya mendapatkan keluarga baru. Hana tersenyum, kemudian dia mengajak Ines untuk pindah duduk di halaman depan. Setelah mereka duduk, keheningan mulai datang, hingga Hana membuka obrolan. "Memangnya ada apa Ines? Kau tidak bahagia tinggal di sini?" tanya Hana. Jujur dirinya sedikit khawatir dan juga sedih ketika Ines meminta keluarga baru. Tetapi, tak dapat dipungkiri jika Hana juga menginginkan hal yang serupa. Dirinya juga ingin mendapatkan keluarga nyata, tidak seperti selama ini yang hanya tinggal di panti asuhan. Namun, Hana masih bersyukur dengan keadaannya. Menurutnya, ini lebih baik daripada anak di luaran sana yang sama sekali tidak punya tempat berteduh atau pun berlindung dari terik matahari juga hujan yang membasahi Ines menunduk ke bawah, dirinya juga merasa canggung dan malu jika mengatakan hal ini pada Hana. Tetapi, dia tidak sanggup jika harus mengharapkan hal seperti ini sendirian saja, makanya dia berbagi cerita pada Hana. "Aku ... Aku tidak tahu, hanya saja sepertinya menyenangkan jika memiliki keluarga lengkap. Ada ayah, ibu, kakak yang akan menyayangi kita. Lalu, akan adik kecil yang imut menggemaskan nanti," tuturnya berharap semua itu menjadi kenyataan. Hana tersenyum, diambilnya tangan Ines. "Keluarga seperti apa yang kau harapkan Ines?" tanyanya penasaran, ia pun ingin tahu keluarga seperti apa yang didambakan oleh Ines. Senyuman terbit di bibir Ines, dan kini senyuman itu semakin mengembang tanda bersemangat untuk membahas mengenai keluarga impian yang selalu dia impikan setiap saat. "Kau tahu? Aku ingin sekali memiliki sebuah keluarga lengkap. Ada seorang ayah yang akan selalu melindungi anak serta menafkahi keluarganya. Ada ibu yang selalu memberikan kasih sayang tiada tara, dan juga ada kakak. Mungkin terlihat menyebalkan, tetapi sepertinya akan sangat seru karena aku tidak akan sendirian nantinya," tutur Ines panjang lebar dengan senyum terus mengembang. Hana menganggukan kepalanya antusias, "Lalu, kau ingin menjadi anak terakhir?" tanyanya lagi. Ines menggeleng dengan cepat, menolak apa yang dikatakan oleh Hana. "Tentu saja tidak, aku juga ingin mendapat adik lucu menggemaskan dan juga imut, aku ingin merawatnya juga dengan memberikan kasih sayang yang melimpah padanya nanti," balasnya kembali berkhayal. Hana mengangguk mengerti, jika dipikir-pikir Ines jarang sekali mengungkapkan isi hati yang sesungguhnya. Biasanya dia akan memilih menguburnya dalam-dalam sampai orang tidak akan mudah mencari atau mengetahui apa yang menjadi fikirannya Namun, sekarang berbeda. Ines lebih terbuka terhadap impian dalam memiliki keluarga yang utuh tanpa cacat dalam arti tidak ada anggota keluarga yang hilang. Ketika melihat kedua mata Ines yang berbinar dan senyuman yang selalu mengembang saat menceritakan tentang keluarga impiannya, Hana jadi ikut tersenyum senang. Ines yang pendiam dan tak tersentuh itu kini perlahan menghilang dan diganti dengan dia yang selalu terbuka mengharapkan sesuatu dengan segenap hatinya tanpa dilebihkan atau pun dikurangkan. Ines terdiam menatap lurus ke depan. Kedua kakinya dia mainkan maju mundur berulang kali dengan menghentaknya. Tatapannya beralih ke arah Hana yang sama seperti dirinya terdiam melamun. "Hana," panggil Ines membuat Hana menoleh dan menatapnya penuh tanda tanya meminta penjelasan dari panggilannya ini. "Ada apa?" tanya Hana penasaran. Ines menggeser posisi tubuhnya untuk bisa berhadapan dengan Hana. "Bagaimana dengan keluarga impianmu?" tanyanya antusias. Hana terdiam cukup lama, wajahnya tertunduk lesu. "Aku juga menginginkan hal yang sama sepertimu Ines. Aku menginginkan sebuah keluarga yang lengkap. Namun, yang paling aku inginkan adalah keluarga yang dilingkupi oleh kebahagiaan dan kasih sayang. Semua anggota keluarga menyayangi satu sama lain tanpa ada perselisihan," balasnya panjang. Ines mengangguk-anggukan kepalanya, mencoba memahami apa yang dimaksud dengan perkataan sahabatnya itu. Dahinya mengernyit heran, "Kau ingin dicintai Hana?" tanyanya. Hana mengangguk kembali, "Benar, aku ingin selalu dicintai dan kasih sayang yang tidak akan berhenti datang padaku," balasnya lagi. Ines tersenyum, "Baiklah mulai sekarang aku akan mencintaimu dan menyayangimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri," ujarnya membuat Hana tersipu malu mendengarnya. Hana senang bisa mengenal Ines dan begitu juga sebaliknya. Ines juga bersyukur bisa dipertemukan dengan orang baik seperti Hana. Keduanya tengah senang saat ini, tanpa mereka tahu ternyata seseorang tengah mendengarkan obrolan mereka berdua. Orang itu adalah Bu Ayumi, pemilik tempat panti asuhan ini. Kedua matanya berkaca-kaca karna sedih melihat harapan dari Hana dan Ines tentang sebuah keluarga yang utuh, selalu ada dan dikelilingi dengan cinta dan kasih sayang. Harapan itu sungguh indah tetapi menyayat hati. Bu Ayumi sedih jika ternyata Hana dan Ines juga masih memimpikan keluarga yang utuh untuk akhir tujuan hidupnya. Sebelumnya Bu Ayumi ingin pergi ke belakang rumah, namun saat melewati pintu jendela halaman depan kakinya berhenti saat mendengar percakapan Hana dan Ines tentang keluarga impian mereka. Ayumi mendengarnya sejak awal, bahkan sekarang dia masih bersembunyi di balik tembok dengan posisi berdiri dan kedua matanya yang hampir basah. Mendengar hal itu membuat Ayumi bertekad untuk mencarikan sebuah keluarga untuk Hana dan Ines. Dirinya sangat ingin mewujudkan impian kedua anak malang itu. Segera dia bergegas dari tempatnya dan meninggalkan Hana dan Ines yang masih senantiasa berpelukan menatap lurus ke depan. Hana terdiam, tiba-tiba sebuah pertanyaan hinggap di kepala kecilnya. Tatapannya beralih ke Ines yang sedang bersenandung senang dengan senandung tidak jelas. "Ines, apa yang akan kamu lakukan jika keluarga yang kau dapat tak sesuai dengan harapanmu?" tanya Hana tiba-tiba. Hana berpikir jika pertanyaan seperti ini juga harus dia pikirkan, karena dia juga tidak mau jika hanya berpikir kesenangan saja. Takutnya, harapan itu harus pupus dengan kenyataan yang datang padanya sendiri. Dia tak mau jika dirinya harus menyalahkan takdir karna harapan dirinya yang gagal terwujud. Menurut Hana, takdir yang datang padanya pastilah memiliki hikmah di baliknya, tidak mungkin sampai tidak. Mungkin kita belum menyadarinya saja. Ines terdiam mendengar penuturan Hana, wajahnya seketika memberengut. Ada sedikit kekecewaan tersirat saat Hana menyebutkan pertanyaannya tadi. "Hana, kau tidak boleh berucap seperti itu. Kau harus yakin jika nantinya baik itu kau atau aku akan mendapatkan keluarga yang sempurna seperti yang kita idamkan," tuturnya. Ines memang gadis yang antusias, ia berharap bisa mendapatkan apa yang ia inginkan Hana terdiam, ucapan Ines benar-benar membuatnya sedih. Karena Ines masih menaruh harapan lebih tentang keluarga impiannya itu. Khawatir mulai menghampiri sanudari Hana. "Bu-bukan itu maksudku Ines, hanya saja kau juga harus tahu jika terkadang kehidupan ini tak mungkin berjalan sesuai ekspetasi kita sendiri," balas Hana berusaha mengingatkan sahabatnya tentang dunia yang sesungguhnya. Hidup tidak selalu serta merta memberikan apa yang kamu mau, tapi karna itulah setiap manusia bisa bersyukur atas nikmat kecil yang mereka dapatkan Ines kembali memberengut, tatapannya berubah menjadi sayu dan lemah. Dia menatap ke arah lain, kemudian menunduk dan memainkan jemarinya. Semangat yang membara seketika hilang dengan penuturan Hana yang mengingatkan tentang kehidupan. Jujur itu membuat Ines sakit hati, tetapi yang dikatakan Hana memanglah benar. Ini adalah kehidupan, tak semua kehidupan akan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Namun, Ines juga sudah merasa lelah jika harus hidup seperti ini terus. Dirinya ingin berubah lalu mendapatkan keluarga impiannya. Keheningan datang kepada mereka berdua. Setelah percakapan tadi, Hana dan Ines memilih diam satu sama lain dan tak ada yang ingin memulai berbicara kembali. Keduanya lebih memilih menikmati sejuknya angin di sore hari. Hana yang masih membeku bingung bagaimana dia memulai obrolan lain lagi dengan keadaan canggung seperti ini. Dia berpikir apakah kata-kata yang dia ucapkan tadi itu tidak terlalu kasar? Apakah dia harus meminta maaf? Seluruh pikiran Hana dihinggapi banyak pertanyaan. Saking tidak mau menyakiti hati Ines "Aku sudah mendambakan keluarga impianku ini sejak kecil Hana, aku ingin memiliki seorang ayah, ibu, kakak, yang akan selalu ada untukku dan juga menyayangiku," ucap Ines berhasil memecah keheningan di antara mereka berdua. Hana menatap Ines yang seperti tengah melamun, senyum simpul tercetak di bibirnya. Hana merangkul bahu sahabatnya. "Baiklah, kau mau berusaha untuk mendapatkan keluarga baik itu?" tanyanya iseng. Ines menatap balik Hana, senyuman Hana juga dia balas. Ines menganggukkan kepalanya semangat, "Iya, aku akan berusaha untuk mendapatkan keluarga impianku," balasnya yakin. "Benar, kau harus berusaha, ok?" tanya Hana yang diangguki oleh Ines lagi. Lalu mereka tertawa bersama-sama, senang dan tidak ada perasaan canggung seperti tadi. Jauh di dalam lubuk hati Ines, tumbuh sebuah ide dan sikap egoisnya. Aku akan lakukan apapun caranya agar bisa mendapatkan keluarga baru! batinnya bertekad. Ines akan berusaha melakukan segala cara, tidak peduli jika cara itu kotor atau tidak yang terpenting adalah dia akan mendapatkan keluarga baru untuknya. Dia tidak peduli jika harus mengorbankan seseorang yang paling berharga demi mendapatkan impiannya itu. Itulah tekad Ines, berbeda sekali dengan Hana. Dirinya bahkan tidak pernah memikirkan rencana kotor. Sikapnya yang polos dan sangat baik itu kelak akan menghancurkan dirinya sendiri. Karena baik memang perlu, tetapi jika terlalu baik akan membuat Hana masuk ke dalam jebakan seseorang yang berhati iblis. Namun, hal itu tak disadari keduanya. Mereka terlalu bahagia dan menikmati waktu seperti ini. "Hana, kita masuk ke dalam, yuk! Di sini udaranya menjadi dingin," ajak Ines yang sesekali menggosok kedua tangannya mencoba menghangatkan tubuh yang perlahan menggigil terkena angin dingin sore yang perlahan merayap senja. Hana mengangguk, dirinya juga merasakan seperti Ines, kedinginan. Segera dia berdiri dan mengikuti Ines pergi masuk ke dalam rumah. Tak lupa juga dia menbawa bunga-bunga yang habis ia petik, rencananya dia ingin membuat mahkota bunga alami untuk dia pakai dengan sahabatnya Ines. Hana melingkarkan lengan kanan ke tangan Ines, sedangkan tangan kirinya memegang ke ranjang bunga. Berjalan berdampingan dengan senyum yang masih terus mengembang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD