3

1517 Words
"Paman sebenarnya ndak enak harus mengatakan ini saat jenazah Andita dan Bastian baru dikebumikan. Namun, perusahaan juga harus tetap dijalankan. Ribuan karyawan nasibnya bergantung pada perusahaan ini. Dan kamu, Paman yakin belum cukup mumpuni, jika harus menggantikan ayahmu walau usia kamu sebentar lagi sudah tujuh belas tahun." "Jadi, menurut Paman siapa yang lebih mumpuni menggantikan, ayah? Pamankah?" tanya Brian sarkas. Bahkan pantatnya saja belum menempel pada kursi. Sekali lagi, tidak bisakah mereka menanyai keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana perasaannya? "La iya, wong Pamanmu itu yang lebih tahu seluk beluk perusahaan. Mau siapa lagi?" kata bibinya. Istri dari adik sang ayah itu terlihat sekali tidak suka dengan ucapannya. Perempuan itu bahkan menghindar saat Brian akan duduk pada kursi yang ada di sebelahnya. Sebegitu menjijikkannyakah, dirinya? Brian mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Geram dengan sikap keluarganya, yang sama sekali tidak menunjukkan kesedihan saat anggota keluarganya meninggal. Tapi apa daya, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mau nekat pun percuma. Sebenarnya, jika dipikir-pikir ada benarnya juga, apa yang dikatakan oleh pamannya. Brian tidak bisa mengorbankan para pekerja yang berjumlah ribuan itu, hanya karena menuruti egonya. Akan tetapi, ini adalah perusahaan ayahnya yang dirintis susah payah dari nol saat semua keluarganya tidak pernah menganggapnya. Dulu saat ayahnya mengatakan, Brian tidak bisa berbuat apa-apa, jika tidak ada campur tangan dari ayahnya, dia marah sekali. Namun sekarang kata-kata beliau benar, Brian memang tidak bisa apa-apa. "Permisi ... apa kami mengganggu?" Semua mata langsung tertuju pada sumber suara. Suasana terlihat lebih canggung, apalagi saat bibi Brian langsung berdiri, seperti berancang-ancang hendak memulai perang. "Ada urusan apa kalian ke sini?" Paman Brian bersuara. "Kami cuma ingin bertemu dengan, Brian. Apa itu salah?" jawab Javas, sahabat ibu Brian. "Salah! Itu salah. Kita sedang membicarakan hal penting yang harusnya hanya diketahui dan dihadiri oleh keluarga saja. Kami tidak berharap ada orang lain ada di sini," lantang bibi Brian. "Mereka keluarga Brian juga, Paman ... Bibi," kata Brian mencoba menengahi. "Cih! Mana ada. Mereka pasti ingin ikut campur masalah ini. Dari dulu, kebiasaan mereka kan memang seperti itu. Suka mencampuri urusan orang lain." Dari dulu paman dan bibi Brian memang tidak menyukai kedua sahabat ayah dan ibu Brian itu yang dianggap selalu menggagalkan segala rencananya. "Sudah sejak kapan kamu di sini, tadi?" "Sudah sejak kalian bilang Brian tidak mumpuni melanjutkan perusahaan ayahnya sendiri. Kita tidak bisa mengatakan seperti itu sebelum mencobanya, bukan? Lagi pula kita semua tahu Brian sepintar apa? Brian mirip sekali dengan ayahnya." “Jangan ikut campur, kalian itu cuma orang luar. Bener dong yang dibilang suami saya, Brian itu masih bocah ndak bakalan ngerti dia soal menjalankan perusahaan. Taunya dia kan dari dulu hanya main saja.” “Nilai bagus di sekolah juga ndak menjamin dia mampu memegang aset peninggalan orang tuanya. Kita sebagai keluarga cuma mau bantu saja kok. Apa masalahnya?” lanjut istri dari paman Brian. Sarah tidak mampu menahan gurat kesedihannya. Perempuan itu berusaha untuk tetap menutup kedua telinga Brian. Menghindarkan kata-kata buruk dan sumpah serapah, yang begitu mudahnya keluar dari mulut keluarga satu-satunya pemuda itu. Brian juga tengah menatapnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Sarah tahu anak dari sahabatnya itu sedang berusaha keras menahan diri. Dia cukup bangga dengan Brian yang mampu bertahan sedemikian rupa sampai saat ini. Dilihatnya, suaminya tengah berdebat sengit dengan sepasang suami istri beserta pengacara mereka. Agak miris melihat pemandangan yang dilihatnya itu. Harusnya saat ini mereka sama-sama menguatkan Brian, remaja yang tiba-tiba kehilangan sandaran hidupnya. Tidak malah berdebat dengan apa yang ditinggalkan orang tuanya. Sarah tersenyum, begitu mendapati suaminya berjalan mendekat ke arah mereka. Perempuan itu tahu dengan sangat pasti, sekalut apa perasaan suaminya. Setelah kehilangan sahabat dekat yang lama tidak dijumpainya, sekarang malah ia melihat sendiri, anak dari sahabatnya diperlakukan sebegitu buruknya oleh keluarganya sendiri. Menyesakkan, jelas saja. Walau bukan fisik yang dicederai, tapi lebih mematikan saat mental yang dihantam terus-terusan sepanjang hari. Javas, mengusap lembut rambut Brian. Air matanya keluar juga, tidak sanggup lagi ia melihat tatapan anak dari kedua sahabat baiknya itu. Kemudian, ia pun memeluk pemuda itu untuk memberi dukungan. Dia akan berusaha sekuat yang ia bisa lakukan untuk menyelamatkan pemuda ini dari keserakahan keluarganya. Walau dia yakin, pemuda itu juga pasti bisa mengurus dirinya sendiri. Namun, dengan bantuan orang dewasa, akan mencegah hal-hal licik yang bisa terjadi, jika tidak ditangani dengan strategi yang matang. Javas melepas pelukannya. Menatap istrinya lalu beralih kembali menatap Brian. "Bri ... kamu mau ikut Om ke Jakarta?" Brian mengerutkan keningnya. "Kenapa tiba-tiba, Om?" Apa mereka akan melarikan diri? "Kamu ... mau jadi anak kam—“ "Kalian gila, apa!" seru adik dari sahabat Javas yang ternyata tahu arah pembicaraan laki-laki itu. Kalau sampai semua itu terjadi, tidak akan ada kesempatan lagi untuk mereka. Tapi Javas tidak peduli. Kalau dia ingin mengakhiri semua tingkah semena-mena dari keluarga Brian, maka dia harus melakukan ini, satu-satunya cara agar dia bisa membantu Brian dengan leluasa. Lagi pula, dirinya dan istrinya yakin mereka akan lebih menyayangi Brian dari pada keluarganya sendiri. Dia memiliki harta yang sudah lebih dari cukup, jadi dia yakin tidak akan tergiur dengan apa yang dimiliki oleh Brian dari sepeninggal orang tuanya. Javas menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat kepada Brian. Sebuah berkas yang disiapkan dalam perjalanan mereka dari Jakarta. Javas tahu akan berakhir serumit ini, mengingat manusia macam apa adik dari sahabatnya itu. Maka saat dalam perjalanan mereka menuju ke Surabaya, dia lebih dulu menyuruh pengacaranya untuk menyiapkan berkas-berkas untuk mengangkat Brian sebagai anaknya. Maka dia akan lebih leluasa lagi membantu remaja itu. Laki-laki itu tidak pernah menduga, obrolan bercanda Bastian beberapa waktu yang lalu yang menyuruh Javas mengangkat anaknya karena dia menginginkan anak laki-laki, sekarang menjadi kenyataan. "Kalau kamu setuju, kamu bisa tanda tangani itu. Tidak usah sekarang. Sesiap hati kamu saja, akan kami tunggu. Tapi kami harap kamu tidak lama-lama memikirkannya." Laki-laki itu melirik adik dari sahabatnya. "Seperti yang pamanmu bilang, banyak karyawan yang bergantung pada perusahaan kamu. Jadi, kamu juga harus bijak dalam mengambil keputusan yang akan berdampak besar bagi kamu, maupun masa depan kamu." "Brian tidak akan bodoh dengan menandatangani hal yang ndak masuk akal itu. Benar kan, Brian? Lagi pula, bukankah butuh persetujuan dari keluarga? Tidak semudah itu mengajukan diri sebagai keluarga angkat," ujar sang paman. Javas langsung menunjukan beberapa lembar berkas, yang juga sudah ditanda tangani oleh mendiang Bastian. Mereka sudah mempersiapkan semuanya. "Kamu pasti mengerti maksud kita itu baik. Jangan mau dibodohi sama mereka. Mereka itu cuma orang luar, bukan keluarga!" seru bibinya memberikan dukungan kepada suaminya. "Anak seperti apa kamu, akan bisa dilihat dengan keputusan kamu mengenai semua ini." Brian memandangi sebuah map berwarna coklat tua yang ada pada genggaman Javas. Keputusan yang sulit. Walau pun dia mengenal sahabat dari ibunya, tapi benar apa yang dikatakan oleh paman dan bibinya. Mereka tetap orang asing. Orang asing berbeda dengan keluarga yang memiliki hubungan darah. Brian menatap paman dan bibinya. Dilain hal, bahkan keluarga terkadang malah lebih bersikap seperti orang asing. Menarik napas panjang, Brian pun memutuskan masa depannya dengan mengambil amplop yang diayunkan oleh sahabat dari ayah dan ibunya itu. Laki-laki itu membaca isi yang ada pada lembaran-lembaran itu dengan perlahan, sebelum akhirnya membubuhi tanda tangan di atasnya. Paman dan bibinya yang mengetahui itu melotot tidak terima dengan keputusan keponakannya yang jelas akan merugikan mereka. "Kamu, memang bodoh! Ayah kamu pasti kecewa sama kamu yang lebih memilih orang lain dari pada keluarga sendiri!" teriak sang bibi. "Kamu pasti menyesal lebih memilih orang luar dari pada keluarga sendiri. Lihat saja! Dasar anak ndak tahu diuntung! Harusnya kamu lebih pilih paman dan bibi kamu!" kali ini sang paman yang berbicara Javas memejamkan mata erat-erat menahan semua emosinya. Dengan memaksakan senyum, pada akhirnya ia beralih menatap adik dari sahabatnya itu. "Tentang kelanjutan masalah-masalah ini besok kalian bisa bicarakan dengan pengacara kami. Soal perusahaan kalian juga tidak perlu khawatir. Akan ada yang lebih berkompeten lagi yang akan mengurusnya, jika semuanya sudah dapat diselesaikan." Seperti adegan film pada umunya. Kedua tokoh antagonis, berakhir dengan meninggalkan tokoh protagonis saat mereka sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Sarah berhambur memeluk Brian. Hatinya sakit sekali mendapati pemuda yang harusnya hanya memikirkan sekolah dan teman-temannya itu harus menghadapi kejadian yang menyakitkan ini. Setelah berhasil menyelesaikan kekacauan demi kekacauan yang terjadi selama berbulan-bulan dengan bantuan orang tua angkatnya, maka di sinilah Brian sekarang di hadapan seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan sebuah masker bermata Panda. Perempuan berbaju gombor dan celana pendek itu, diam terpaku menatapnya. Ini aneh, rasanya ingin sekali Brian tertawa setelah sekian lamanya tidak melakukannya. Akan tetapi, jika laki-laki itu sampai melakukannya, kesan pertama yang ia dapatkan tidak akan berakhir dengan baik setelahnya. Maka yang ia bisa, hanya menahan sekuat tenaga untuk mencegah tawanya keluar. Walau entah seperti apa raut wajahnya sekarang ini. Brian menatap Sarah yang masih sibuk dengan tas yang beliau bawa. Dia ingin minta tolong, tapi dia merasa sungkan melakukannya. "Permisi," kata Brian pada akhirnya setelah acara tatap-tatapan mereka yang berlangsung lumayan lama. Begitu masih belum juga ada jawaban dari manusia yang ada di hadapannya. Kembali Brian memutuskan untuk bersuara. "Halo, hey ... boleh aku masuk?" Brian cukup lega, begitu perempuan yang ada di hadapannya menganggukkan kepala. Akan tetapi, ternyata kelegaannya hanya sementara, begitu beberapa saat kemudian perempuan itu malah menggelengkan kepala. Ok, Brian benar-benar butuh bantuan sekarang juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD