2

1171 Words
"Turut berduka cita ya, Bri." "Kamu yang sabar, ya?" "Kalau ada apa-apa hubungi, Om saja." Brian yang mendengar itu, hanya bisa diam sambil sekedar menarik sudut bibirnya. Dia tahu, jika bela sungkawa itu hannyalah basa-basi semata. Mereka bahkan, membicarakan apakah dia pantas melanjutkan perusahaan ayahnya, saat jenazah orang tuanya bahkan baru diturunkan dari mobil ambulans. "Sudah jangan lama-lama sedihnya. Kamu mau di sini terus sampai, kapan? Toh, Andita dan Bastian juga lho ndak bakalan bangun lagi!" ujar adik laki-laki dari sang ayah. Laki-laki berusia empat puluhan tahun itu, kembali memakai kaca mata hitamnya. Kemudian, memberi kode kepada para pesuruhnya untuk tidak goyah saat memegang payung hitam yang dari tadi melindungi tubuhnya. "Ayo, Mas kita duluan saja. Panas banget ini, lho! Bisa gosong aku, nanti!” seru bibinya sambil mengipas-kipaskan tangan kanannya. Seluruh tubuh pemuda enam belas tahun itu menggigil. Tangannya mencengkeram gundukan tanah yang masih basah itu untuk menumpukan segala rasa frustrasinya di sana. Dia ingin marah, namun dia sadar rasanya durhaka sekali, jika menuruti egonya lalu membuat keributan di tempat peristirahatan terakhir orang tuanya. Yah, sakit tamparan dan cacian kemarin malam tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan perkataan pamannya sekarang ini. Ada masalah apa keluarganya ini? Ini keluarga macam apa? “Ayo, Bri ... kamu juga harus bertemu tamu-tamu ibu dan ayah kamu. Jangan cengeng!” ujar sang paman tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya. “Wong lanang kok gembeng! ( Laki-laki kok cengeng). Haduuuh, sudah deh sedih-sedihnya. Mau sampai kapan sih di sini terus!” timpal bibi Brian. “Sebentar, Bi ... Brian mau di sini dulu.” “Ngotot temen Arek iki!” Bibi Brian menyenggol lengan suaminya, untuk segera pergi dari sana. "Ayolah, Mas! Wes capek ini kakiku! Ini anak sudah gede juga. Ayo, kita duluan!" Brian termenung. Beberapa jam yang lalu, dia masih bisa mendengar suara sang ibu. Ibunya, masih terdengar ceria seperti biasa, walau pria itu ogah-ogahan dalam mendengar kata-kata dari ibunya. Brian sungguh menyesal. Andai saja, dia tidak buru-buru menutup ponselnya, hanya karena jengah dengan ocehan ibunya. Andai saja Brian tahu, saat itu adalah saat di mana terakhir kali ia bisa mendengar suara tawa ibunya. Dia akan lebih lama lagi berbincang, bersenda gurau, dan memperhatikan setiap perkataan yang keluar dari sang ibu. Andai, saja. “Mas, kenapa Mas masih di sini saja, sih! Ayo, sudah ... capek ini, aku!” Bibi Brian mulai mengentak-entakkan kaki. “Anak kok dari dulu susah sekali diatur. Ini nanti kalau ketemu orang-orang, kita yang dikatai ndak bisa bilangin ini bocah!" Wanita itu melotot ke arah suaminya. "Mas! Jangan diam saja, toh!" Brian pura-pura tuli sambil terus mengelus lembut nisan ibunya. Harusnya beberapa hari lagi adalah ulang tahun yang juga bertepatan dengan hari perayaan pernikahan dua manusia yang sangat dicintainya ini. Akan tetapi, sekarang apa? Mereka malah tidur dan tidak akan pernah terbangun lagi di balik pusara itu. Apa ini hanya sebuah lelucon dari sang ibu yang selalu memiliki ide aneh untuk mengerjai dirinya, saat ulang tahunnya tiba? Tapi ini sungguh keterlaluan, terlalu berlebihan. Bisakah mereka menyudahi lelucon ini? “Brian! Kamu ini dengerin Bibi ngomong endak, sih? Ini anak memang dari dulu ndak pernah dengerin kata orang tua! Makanya jangan bandel. Nyesel kan ditinggal orang tua! Kemarin saja ditelepon terus-menerus, malah ndak bisa dihubungi. Maen saja terus kerjanya tiap hari!" Melihat Brian masih tidak menggubris ucapannya. Tangan perempuan itu dengan gusar mendorong kepala keponakannya. "Hih, gemes aku ini sama ponakan kamu, Mas!" Suaminya yang mengetahui itu melirik tajam istrinya. Bukan apa-apa, masih ada sebagian pelayat yang ada di sekitar mereka. Jangan sampai gambaran yang selama ini ia bangun sebagai paman berhati malaikat, harus tercoreng akibat kecerobohan istrinya. “Kenapa, Mas? Bener kok yang aku bilang. Lagi pula kalau aku jadi kakak sih, ya ... lebih baik meninggal sudah dari pada mengurusi anak yang ndak pernah dengerin orang tuanya ngomong.” "Hush! Masih ada orang-orang itu di sana. Kalau mau marah nanti saja di rumah." "Nanti-nanti! Kapan kita pulangnya?" “Sudah ... sudah! Kami duluan. Kita sudah berbaik hati mengajak kamu pulang Bri, tapi kamu sendiri yang tetap ngotot ada di sini-" "Lagaknya paling sedih sedunia," potong sang bibi. Mereka pun kemudian pergi meninggalkan Brian. Menyusul para pelayat lain yang satu persatu juga telah meninggalkannya. Brian tersenyum getir. Pantaskah keluarga berucap demikian saat tanah pusara keluarganya masih ada di depan matanya? "Nak, Bri...." Suara lembut dan sentuhan pada bahunya membuat Brian mendongakkan kepala. Tatapan pemuda itu bertemu dengan senyum hangat dari seorang wanita yang dari dulu, dia kira adalah kembaran dari sang ibu. Beberapa detik Brian terbius dengan dua manik mata yang berkaca-kaca itu, sebelum pada akhirnya air matanya luruh juga. Ia tidak mampu lagi menahan sedihnya, Brian akhirnya membebaskannya juga. Perempuan itu datang memeluknya. Membisikan kata-kata yang sedikit banyak menenangkannya. Pelukan ini, pelukan yang sama persis seperti saat ibunya memeluknya. "Menangis saja, Sayang ... menangis saja ... jangan ditahan, ok?" ujar wanita yang juga sahabat dari almarhumah ibunya. Wanita itu juga bahkan, ikut terisak. "Saya harus bagaimana Tante setelah ini? Saya sendirian...." "No! Kamu tidak sendirian. Ada Tante di sini ada Om juga. Kamu tidak sendiri, ok? Dan lagi, bukannya Brian yang Tante kenal itu kuat, ya? Kamu harus kuat. Ingat, Tuhan memberikan semua cobaan ini karena kamu itu kuat. Tante percaya itu. Jangan bilang lagi kalau kamu sendirian." Brian menggeleng. Dulu dia bisa kuat, karena walau ayahnya mendikte setiap apa yang dikerjakannya, namun akan ada ibunya yang selalu ada untuk jadi sandarannya. Dia selalu percaya diri melakukan apa pun, sebab dia yakin, walau dia gagal sekali pun masih ada ibunya yang selalu ada di belakangnya. Akan tetapi, ini berbeda. Semuanya sudah berbeda. "Bri ... Tante juga sama seperti kamu, dulu. Bukan membandingkan, Tante bahkan lahir di dunia, bahkan tanpa pelukan dari orang tua Tante. Tapi lihat, Tante sekarang baik-baik saja. Ada kalanya memang sedih, kita merasa sendirian, namun hidup harus tetap berjalan, bukan? Kita bahkan harus lebih maju dari orang-orang yang memiliki keluarga yang utuh. Karena apa? Karena kita spesial." Sarah memeluk anak dari sahabatnya itu erat. Beberapa jam sebelum berita duka yang ia dengar, Andita sempat menghubunginya. Tiba-tiba menyuruhnya untuk menyayangi Brian, selayaknya anaknya sendiri. Bahkan juga mengatakan hal-hal yang dikiranya bualan, sebab berkali-kali mengatakan akan menitipkan anaknya kepadanya. Jelas saja, saat itu Sarah hanya mendengarkan dan mengiyakan sekenanya. Dia tidak pernah menduga, ternyata semua itu adalah permintaan sungguh-sungguh dari sahabatnya. Sarah memegang kedua pipi Brian. "Brian ... oke sekarang kamu boleh sedih. Tapi, jangan berlarut-larut ya, Sayang?" Wanita itu berusaha mengambil fokus Brian kembali. "Hey ... kamu dengerin Tante, kan?" Brian mengerjap lalu buru-buru menganggukkan kepala. Iya, dia lupa masih ada orang yang benar-benar memanusiakannya ternyata. Kemudian pandangan Brian beralih pada sosok pria yang hampir dilupakannya. Pria yang berjongkok di sebelah sahabat ibunya, yang juga beberapa kali mengusap genangan air mata di wajahnya. "Om...," panggilnya, pada akhirnya. Dan pria itu pun luruh dalam pelukannya. Yah, setidaknya masih ada yang bersedih ditinggal oleh kedua orang tuanya. Bukan dia bangga atau senang atas kesedihan itu, namun itu berarti tandanya masih ada yang menyayangi kedua orang tuanya. Bukankah hal yang wajar menangis saat ditinggal oleh orang yang disayangi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD