"Apa? Jadi Putri Dokter Bastian dan Dokter Angela tertukar di klinik saya?" Dokter Wisesa tampak sangat terkejut, wajahnya tegang luar biasa, ia menatap tiga laki-laki di depannya itu dengan tatapan tidak percaya.
Bram menghela nafas panjang, "Begitulah yang terjadi, Dok. Kami juga baru tahu ketika kemudian Dokter pribadi Vanessa meminta papa dan mama tes DNA, Dok. Tidak ada kecocokan DNA antara mama papa dan Vanessa."
Tampak wajah laki-laki enam puluh lima tahun itu memucat, ia tidak percaya kelalaian itu terjadi di kliniknya, sebuah kecerobohan yang membuat sejawatnya harus berpisah dengan anaknya hingga belasan tahun.
Dokter Feri menghela nafas panjang, ia sendiri tidak bisa berkomentar apa-apa. Apalagi kejadian itu sudah sangat lama, hampir delapan belas tahun yang lalu. Tahu apa dia tentang kelalaian itu?
"Jadi apa yang bisa saya lakukan untuk menebus semua kejadian ini, Dokter?" Dokter Wisesa menatap satu persatu laki-laki yang ada di hadapannya itu.
"Papa ingin membeli klinik milik Dokter, jadi kami kemari hendak membahas itu, Dok." kini Albert yang bersuara. Dia yang paling tua bukan? Jadi lebih pantas masalah ini dia yang urus.
"Me-membeli klinik itu?" Dokter Wisesa tidak percaya dengan apa yang dia dengar, Bastian hendak membeli klinik-nya? Bukan kah dulu dia pernah Wisesa tawari namun menolak? Kenapa sekarang baru dia mau membelinya? Padahal kondisinya sudah cukup memperihatinkan!
"Iya, betul Dokter! Papa ingin membeli klinik itu. Hendak kembali papa hidupkan."
Dokter Wisesa menghela nafas panjang, klinik itu dulu menjadi primadona masyarakat sekitar, karena meskipun klinik tingkat satu, namun klinik itu begitu lengkap dan murah, karena memang dulu Wisesa membuka klinik itu untuk membuka lapangan pekerjaan untuk sejawatnya yang bekerja di bidang medis dan tentu saja untuk acara amal, berbagi dengan sesama. Terlebih untuk masalah di bidang kesehatan.
Namun karena kondisi ekonomi keluarganya jatuh, ia terpaksa hendak melepas klinik itu. Awalnya dulu ia menawarkan kliniknya pada Bastian, namun sayang dokter 'sultan' itu sudah punya rumah sakitnya sendiri, rumah sakit swasta berskala internasional yang alat-alat medisnya terlengkap bahkan seprovinsi.
Jadi ia terpaksa menghentikan operasional kliniknya dan rela kliniknya berhenti beroperasi melayani pasien sampai sekarang.
"Baik lah, saya akan urus semua perjanjian jual belinya."
Albert, Bram dan Christ menghela nafas panjang, akhirnya Dokter Wisesa setuju melepas klinik itu untuk keluarganya. Dan itu artinya satu langkah lagi ia akan mendapatkan data-data guna mencari sang adik.
***
"Minta berapa? Papa transfer kemana, Bram?" Bastian sudah berada kembali di dalam ruangannya. Ia tengah menelepon Bram yang posisinya masih di Surabaya.
"Dokter Wisesa cuma minta dua koma lima milyar Pah, itu merujuk hanya harga tanah."
Bastian mengangguk, "Oke tidak masalah. Toh bangunannya juga bakal kita ratain dan bangun baru kok."
Hati Bastian benar-benar lega, akhirnya klinik itu berada di tangannya. Klinikyang menjadi saksi tertukarnya anak kandungnya hingga sampai sekarang tidak berhasil dia temui.
"Kirim nomor rekeningnya, papa transfer sekarang uangnya, Bram." titah Bastian tegas, ia benar-benar serius dan yakin hendak membeli klinik itu.
"Oke, Bram kirim via w******p ya, Pa. Ini masih di kantor notaris buat bikin perjanjian jual-beli tanahnya."
"Oke, papa tunggu, Bram."
Tut!
Sambungan terputus, Bastian benar-benar bahagia sekali, setelah ini berarti dia bebas keluar masuk klinik itu guna mencari data-data yang bisa digunakan untuk mencari keberadaan anak kandungnya.
Hati Bastian benar-benar damai dan yakin bahwa sebentar lagi langkahnya akan semakin mudah. Ia benar-benar yakin bahwa setelah ini ia bisa segera menemukan anak kandungnya, merangkul dan berkumpul lagi bersama-sama dengan keluarga besarnya.
"Nak, tunggu papa ya Sayang, semoga kamu baik-baik saja dimana pun kamu berada, Nak."
Bastian tersenyum, ia menyambar snelli-nya, mengenakan jas kebanggaannya itu lantas keluar dari ruangannya. Tempat yang hendak ia tuju adalah ruang praktek sang isteri, ia harus segera diberi tahu perihal keberhasilan anak-anak mereka membeli klinik milik sejawat mereka itu.
Bastian melangkah menyusuri koridor rumah sakit, kemudian sampai di poli pediatric di mana ruang praktek isterinya berada.
"Tok ... tok ... tok ...."
Bastian tersenyum, ia mengetuk pintu ruang praktek sang isteri, sebenarnya tanpa mengetuk pintu itu pun dia boleh langsung masuk, toh ini rumah sakit miliknya dan yang hendak ia masuki itu adalah ruang praktek sang isteri.
"Eh, Dokter Bastian, silahkan masuk." perawat yang mengasisteni sang isteri sontak membuka pintu lebar-lebar.
Bastian tersenyum, lalu melangkah masuk dan mendapati sang isteri tengah duduk dengan beberapa map yang ada di hadapannya itu.
"Terima kasih, Sus. Oh ya bisa tinggalkan kita berdua di sini?" Bastian menatap perawat itu lalu duduk di kursi yang ada di depan isterinya.
Perawat itu mengangguk, kemudian pergi meninggalkan ruangan itu dan membiarkan pasangan itu berbicara empat mata.
Bastian meraih tangan isterinya, meremasnya lembut sambil tersenyum, membuat Angela tertegun luar biasa. Ada apa dengan suaminya ini?
"Kenapa Pa?" tanya Angela kemudian meletakkan pulpen yang dia pegang.
"Kita berhasil, Ma! Klinik itu sedang dalam proses pindah tangan ke kita!" guman Bastian dengan mata berbinar cerah.
Wajah Angela sontak berubah cerah, matanya memerah, air matanya menitik. Jadi semua usaha ketiga anaknya berhasil? Ahh ... rasanya Angela sudah tidak sabar lagi guna memasukki klinik itu. Mencari berkas-berkas penting yang bisa menjadi kunci untuk menemukan putri kandung mereka.
"Yang bener, Pa? Serius? Jadi kapan kita bisa masuk ke klinik itu?" Angela benar-benar menangis sekarang, rasanya ia benar-benar bahagia, harapannya melambung tinggi.
"Ini baru proses, papa juga masih menunggu kiriman nomor rekening untuk transfer uang pembelian tanahnya." Bastian masih menggenggam dan meremas lembut tangan sang isteri, ia tidak ingin melepaskan tangan itu, tidak untuk hari ini.
Angela mengangguk, hatinya menghangat. Ia ingin sesegera mungkin bisa memeluk erat putrinya yang sejak ia lahirkan sama sekali belum pernah ia temui dan dekap tubuhnya itu. Seperti apa dia sekarang? Bagaimana kondisinya? Angela berharap semesta mempermudah dan membantu langkah mereka mewujudkan semua harapan itu. Semoga.
***
Elsa menghela nafas panjang, ia sudah kembali kerumah. Ramon sudah menjemput dan memulangkan dia lagi ke rumah. Dan sejak beberapa jam yang lalu setelah menurunkan dirinya di depan rumah, tidak ada lagi balasan pesan dari sosok itu.
Elsa merasakan hatinya pedih, sudah ia duga bukan? Kondisi ekonominya tidak bisa diterima oleh Ramon.
Elsa berdiri di depan jendela kamarnya, menatap nanar tempat dimana tadi mobil Ramon menurunkan dirinya. Ahh ... Elsa kembali merasakan pedih itu menjalar di hatinya. Harusnya sejak awal dia sadar diri bukan? Siapa dia, siapa Ramon. Harusnya Elsa tidak jatuh sedalam itu kepada sosok ganteng ber-snelli putih itu.
Elsa menghela nafas panjang. Tidak akan ada lagi pesan dari Ramon yang masuk ke ponselnya, tidak akan ada lagi hiburan, candaan yang dokter itu berikan untuknya, tidak ada!
Mereka tidak ada hubungan apa-apa bukan? Dan sampai kapanpun sepertinya memang tidak akan terjadi apa-apa, tidak ada hubungan apa-apa. Karena strata Elsa jauh berada di bawah sosok itu. Mereka beda kasta!
Elsa merasakan mata memanas, air matanya menitik. Kenapa ia menangis? Bukankah sejak awal dia sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi? Jadi untuk apa dia menangis? Elsa memeluk lututnya, harusnya ia tidak mengizinkan Ramon menjemput dirinya di rumah! Tidak!
Namun mau bagaimana lagi? semua sudah terjadi, dan tidak bagus juga kan menutupi status dan kondisi Elsa yang sebenarnya terlalu lama? Karena semua yang berawal dari kebohongan tentu akan berakhir tidak baik, itu prinsipnya.
Elsa menyeka air matanya, mencoba tegar, mencoba kuat. Mungkin memang belum jodohnya bukan? Elsa menatap nanar tembok kamarnya. Kenapa selalu status ekonomi yang selalu menjadi penghalang Elsa untuk bahagia?
Karena status ekonominya ia gagal masuk Fakultas Kedokteran dan kini karena status ekonomi juga ia harus kehilangan cintanya? Merelakan laki-laki yang ia cintai karena status ekonomi mereka berbeda?
Kata orang kebahagiaan itu tidak bisa dibeli dengan uang? Lantas kenapa semua kebahagiaan Elsa seolah begitu mahal harganya? Kenapa?
"Sadar diri Elsa, sadar diri kamu siapa!" guman Elsa pada dirinya sendiri. Ia menyusut air matanya, mencoba tegar walau rasanya begitu sakit.
'Kamu cantik, humble dan asyik diajak ngobrol, Koko suka ngobrol sama kamu.'
Kalimat itu pernah keluar dari mulut Ramon ketika mereka keluar jalan berdua.
'Kalau kamu masih penasran dan pengen tahu kuliah kedokteran itu kayak gimana, Koko nggak keberatan nanti pulang praktek main kerumah kamu, Koko kasih tahu apa yang dipelajari di Fakultas Kedokteran.'
Kalimat itu juga pernah keluar dari mulut laki-laki itu. Tapi kenapa baru sekali mampir menjemput dirinya, Ramon kemudian berubah dan menghilang bagai di telan bumi.
Elsa merebahkan tubuhnya di atas kasur, memeluk gulingnya erat-erat dan mencoba memenjamkan matanya. Ternyata jadi orang miskin itu benar-benar menyedihkan ya? Kenapa ia harus hidup dalam kondisi seperti ini?
Elsa mengutuk dirinya sendiri setelah ia punya pikiran seperti itu. Kenapa dia jadi kufur nikmat? Harusnya dia bersyukur, bagaimana pun kondisi ekonominya, meskipun dia harus gagal jadi dokter, dia harus gagal dalam urusan cintanya, namun ia masih punya rumah untuk tempat berlindung, masih bisa makan, sekolah bahkan sampai kuliah. Jadi kenapa Elsa masih menuntut hal yang lebih pada Tuhan?
"Astaga, maafkan Elsa Tuhan ... maafkan!"