Sudah hari ke tujuh semenjak kepergian Vanessa, rumah masih sesekali di datangi para sejawat dan teman-temannya mulai dari rekan Angela, Bastian maupun teman-teman sekolah Vanessa.
Malam ini semuanya berkumpul termasuk isteri Albert dan isteri Bram. Semua berkumpul di ruang keluarga lantai atas, akan ada banyak hal yang akan mereka bahas malam ini, salah satunya adalah rencana mereka untuk menemui Dokter Feri dan Dokter Wisesa.
"Jadi gimana besok, Pa?" tanya Albert membuka percakapan.
"Kalian harus segera berangkat, segera ambil alih klinik itu, kita tidak bisa lagi menunggu terlalu lama." titah Bastian tegas.
"Siap, Pa. Jangan khawatir, akan kita selesaikan masalah pindah tangan klinik itu." Bram mengangguk mantab, sang isteri, Claudia yang duduk di sebelahnya itu menyimak dengan seksama obrolan internal keluarga mereka ini, perihal upaya pencarian adik iparnya yang ternyata tertukar di rumah sakit sewaktu bayi dulu.
"Kita berangkat subuh gimana, Bram?" Albert menghela nafas panjang, ia melirik Meli, sang isteri yang nampak sudah mengantuk itu.
"Papa sebenarnya mau ikut, cuma besok ada rapat penting dengan beberapa orang dari Kemenkes, jadi tolong kalian yang pergi ya, kunci dimana adik kalian berada, ada di klinik itu."
Tiga laki-laki itu kompak mengangguk, mereka harus sesegera mungkin menemukan keberadaan adik mereka. Harus mereka bawa kembali untuk berkumpul dengan keluarga besar Atmajaya. Bram menoleh, menatap sang mama yang masih tampak terpukul itu. Ia paham, sang mama begitu terpukul dengan semua kejadian ini.
Semua berawal dari Vanessa yang tiba-tiba sering pingsan, mimisan dan tampak memucat. Sebagai keluarga besar yang kesemuanya dokter, Bastian membawa Vanessa medical check-up lengkap guna mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh anak bungsunya itu. Dan hasil pemeriksaan itu benar-benar mengguncang mereka dengan luas biasa.
Vanessa mengidap leukimia, dimana stadiumnya sudah mencapai angka tiga! Tidak hanya Angela, semua syok! Kenapa mereka semua bisa kecolongan? Kenapa mereka bisa tidak menyadari bahwa ada sel pembunuh yang hidup di dalam diri Vanessa?
Dan keterkejutan mereka tidak berhenti hanya pada hasil pemeriksaan Vanessa saja, tetapi juga kemudian hasil tes kecocokan sumsum tulang belakang mereka sekeluarga yang sama sekali tidak ada yang cocok dengan Vanessa. Sama sekali tidak ada yang cocok. Hingga kemudian sebuah tamparan keras menampar mereka semua dengan hasil tes DNA Angela dan Bastian yang tidak identik dengan sample DNA Vanessa.
Sudah jelas terbukti, bahwa ternyata yang selalu ini mereka sayangi setengah mati itu sejatinya adalah orang lain, bukan bagian keluarga mereka.
"Ma ...," Crist beringsut mendekati sang mama. Ia menepuk lembut pundak mamanya, lalu membiarkan sang mama menumpahkan semua air matanya dalam dekapan Christ.
"Christ tahu mama masih syok, Christ janji, bakal cari dia sampai ketemu, jangan sedih lagi dong, Ma." bujuk Christ lembut.
Angela mengangguk, memang itulah yang harus Christ dan dua orang kakaknya lakukan. Menemukan adik mereka yang entah sekarang dimana dan bagaimana kondisinya itu. Dia harus ketemu, harus kembali dalam dekapan keluarga ini, harus!
Bram dan Alber bangkit, melangkah mendekati sang mama yang tengah terisak dalam pelukan sang adik. Mereka sudah berjanji bahwa apapun yang terjadi mereka akan menemukan dan membawa kembali bagian dari mereka yang hilang itu.
"Benar apa yang Christ katakan, Ma. Jangan khawatir, kami akan bawa lagi dia berkumpul bersama kita."
Angela mengangguk perlahan, ia menyeka air matanya dan menghirup udara dalam-dalam. Anak-anaknya akan bertemu Dokter Wisesa dan membeli klinik itu bukan? Itu artinya data-data mengenai keberadaan Puteri kandungnya akan segera mereka dapatkan, bukan?
"Mama percaya kalian mampu membawa pulang adik kalian ke rumah, terima kasih banyak, kalian sudah mau menyisihkan waktu untuk membantu mama papa mencarinya."
"Ma, dia bagian dari keluarga kita, adik kita bertiga, jadi apa salahnya? Sudah kewajiban kita juga bukan?"
Angela tersenyum, dirangkulnya ketiga putra kebanggaannya itu, mereka benar-benar membuat Angela merasa beruntung sudah melahirkan dan memiliki mereka di dunia.
***
Malam ini mendadak Elsa risau, Ramon hendak menjemputnya ke rumah besok? Apakah kemudian dia akan tetap seperti biasa? Apakah kemudian dia akan berubah? Ia sadar antara dia dan Ramon itu berbeda kasta begitu jauh.
Namun apakah tidak lebih baik kalau Ramon tahu siapa dia sebenarnya? Sebelum semua perasaan dan kedekatan mereka semakin jauh? Tapi siapa bilang kalau perasaan Elsa belum terlalu jauh? Ia sudah begitu jauh jatuh hati pada dokter dua puluh tujuh tahun itu. Ia sudah jatuh cinta padanya!
Elsa jadi pusing kepala, ia harus bagaimana? Membatalkan janji mereka? Berpura-pura kaya? Supaya dia dan Ramon tetap bisa bersama-sama? Ahh ... itu pun bukan tindakan yang bagus! Jadi lebih jujur apa adanya bukan?
"Sa, kamu nggak makan, Nak?"
Elsa tersentak, itu suara mamanya. Elsa sontak bangkit lalu melangkah ke luar kamar. Ia mendapati di meja makan sudah duduk mama papa dan adik laki-lakinya. Terhidang di meja ayam panggang dan sayur kangkung, membuat mata Elsa berbinar cerah.
"Wuih, ayam dari mana, Ma?" Elsa bergegas duduk di sebelah sang adik, kenapa bisa kebetulan sekali pas dia ingin makan ayam bakar?
"Papa yang bawa tadi, yuk di makan sama-sama," tampak Andi tersenyum, membuat Elsa mengangguk cepat lalu meneguk air minum yang ada di depannya.
"Acara apa nih, tumben papa bawa balik ayam?" tanya Elsa yang mulai mencolek ayam dengan sambal.
"Acara karena kamu sudah jadi mahasiswi dong, anak papa udah kuliah aja sekarang." Andi tersenyum, tidak ia sangka bukan Elsa secepat ini tumbuh?
"Ah jadi ini syukuran gitu ceritanya?" wajah Elsa berbinar, so sweet sekali rupanya pakai acara syukuran segala.
"Iya dong, semangat kuliahnya, kamu harus jadi orang yang lebih berhasil dari mama-papamu ya, Nak." nasehat Andi sambil menatap lekat-lekat Elsa yang tengah menyimak dengan seksama.
"Iya Pa, Elsa janji bakalan kuliah sungguh-sungguh, biar jadi orang sukses yang bikin bangga mama dan papa." janji Elsa dengan mata berkaca-kaca, ditengah kesederhanaan keluarganya, ia bersyukur memiliki mereka, apapun itu mereka adalah alasan Elsa tetap kuat, meskipun secara tidak langsung mereka sudah membunuh cita-cita mulia Elsa untuk menjadi dokter, namun mereka tetap orang yang paling Elsa cintai dalam hidup Elsa.
'Seandainya Elsa bisa benar-benar jadi dokter, pasti akan membuat mama dan papa bangga kan?'
***
"Apakah rekam medis itu masih tersimpan di sana, Pa?" tanya Angela ketika Bastian masuk ke dalam kamar mereka.
"Entah, kita belum tahu juga, Ma. Namun Papa sangat berharap bahwa memang data-data yang kita perlukan itu masih tersimpan di sana." Bastian menghela nafas panjang, ia mendekati sang isteri, lalu memeluk erat Angela yang masih berurai air mata itu.
"Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah dia baik-baik saja?" Angela mendesah pelan, pikirannya tidak bisa tenang selama ia belum mendapatkan kepastian di mana keberadaan putrinya itu.
"Dia baik-baik saja, percaya pada papa, Ma. Dia baik-baik saja." naluri Bastian berkata demikian, walaupun dia tidak tahu dia dimana, bagaimana kondisinya, namun jauh di dalam lubuk hati Bastian, dia percaya bahwa anak kandungnya itu baik-baik saja.
"Mama pengen cepat ketemu sama dia, Pa."
"Iya, kita doakan saja ya. Yang penting kita tidak putus berdoa," Bastian sendiri juga ingin segera bertemu dengan putrinya itu. Ia ingin segera merengkuh sang putri yang selama ini tidak pernah dia jangkau itu, yang belum pernah dia temui. Memeluknya erat-erat dan tidak akan ia lepaskan begitu saja.
Angela menyusut air matanya, ia masih dalam dekapan sang suami, tempat paling nyaman dalam hidup Angela adalah pelukan Bastian. Segala duka, luka dan risau Angela sirna seketika ketika ia berada dalam dekapan Bastian. Rasanya ia ingin terus berada dalam dekapan sang suami. Terlebih dalam kondisi seperti ini, ia benar-benar butuh Bastian.
"Sekarang kita istirahat, doakan semoga semua usaha kita membuahkan hasil. Dan jangan pikiran apapun, oke?"
Angela mengangguk, ia memejamkan matanya. Malam ini ia tidak ingin lepas dari pelukan Bastian, sama sekali tidak ingin.
***
"Hati-hati ya, semoga semua membuahkan hasil," Claudia mengelus kepala sang suami yang tengah bersandar di pahanya.
"Amin, aku yakin kalau aku bisa temuin dia, Sayang." Bram benar-benar yakin, sangat yakin kalau sebentar lagi ia bisa membawa sang adik kembali.
"Kasian Mama, dia syok banget, Ko."
Bram menghela nafas panjang, "Jangan kan mama yang hamil dan melahirkan dia, aku saja juga syok setengah mati ketika tahu Vanessa yang aku sayang-sayang selama ini ternyata bukan siapa-siapaku."
"Kok bisa sih kejadian kayak gini?" Claudia masih mengelus lembut dahi dan kepala suaminya, sebagai tenaga medis, dia tahu bahwa hal tersebut sangat minim bisa terjadi sekarang.
"Dulu sistem perina belum seperti sekarang Sayang, dulu nggak ada gelang identitas macam sekarang ini, identitas bayi cuma ditempel di box aja, jadi bisa mudah saja kejadian bayi ketukar, apalagi yang garis wajah hampir mirip, dan orang tuanya belum terlalu hafal dan ingat betul wajah bayinya."
Claudia mengangguk, itulah pentingnya gelang identitas di tangan pasien. Baik pada bayi baru lahir, anak kecil dan lain sebagainya. Selain meminimalisir kejadian bayi tertukar, salah kasih obat dan dosis pada pasien, itu juga bisa sebagai tanda bahwa dia pasien rawat inap sehingga tidak ada lagi kejadian pasien kabur, meskipun gelang itu bisa dipotong dengan pisau atau gunting.
"Klinik itu nanti juga bakal dibuka?" Claudia paham betul siapa mertuanya ini, rumah sakit mereka sudah besar sebenarnya, kekayaannya? Jangan ditanya karena sebenarnya mereka berasal dari keluarga mapan yang tidak bisa diremehkan begitu saja.
"Tentu, setelah semuanya di renovasi ulang, Sayang."
Claudia mengangguk, ia juga berharap bahwa keluarga ini bisa segera bertemu dan berkumpul dengan keluarga mereka yang hilang itu. Ia jadi penasaran, bagaimana wajah anak gadis satu-satunya keluarga Atmajaya, apakah lebih cantik dari Vanessa? Atau malah tidak lebih cantik?