Part 15

1169 Words
Maita dan Omar, sudah berada di depan rumah sakit di mana Omar akan bekerja. Keduanya saling menatap bergantian. Omar sengaja datang lebih pagi agar bisa menemani Maita memeriksa kandungannya. “Kamu siap?” tanya Omar. “Aku siap, tapi ...,” Maita menghentikan ucapannya. “Kenapa?” tanya Omar yang terlihat bingung. “Aku gugup, malah bahasa inggrisku tidak lancar sama sekali lagi,” gumam Maita yang masih bisa di dengar oleh Omar. “Kamu tenang saja, kan ada aku yang akan selalu menemani kamu. Ini cuma periksa, nggak bakal diapa-apain kok. Kamu tenang ya,” kata Omar berusaha menenangkan Maita. “Iya deh.” “Ya udah ayo, kita masuk dulu. Sekalian aku mau urus pekerjaan karena ini hari pertama ku di sini.” Omar berjalan mendahului Maita. Wanita itu dengan setia mengekor di belakangnya. Seperti rumah sakit pada umumnya, yang membuat berbeda adalah bahasa sehari-hari di Melbourne. “Kamu tunggu di sini ya, aku mau ke kantor dulu sebentar,” kata Omar. Lelaki itu berjalana meninggalkan Maita sendiri. “Omar,” panggil Maita ketika Omar sudah berjalan sepuluh langkah. Seketika itu langkah kaki Omar langsung terhenti, “kenapa?” “Jangan lama ya,” kata Maita sambil tersenyum menampilkan gigi rapi miliknya. “Iya, aku nggak lama,” kata Omar lalu melanjutkan langkahnya. . Maita meremas jemarinya, hingga satu jam menunggu dirinya tidak mendapati tanda-tanda jika Omar akan kembali. Cemas. Jelas saja saat ini dirinya sangat mencemaskan Omar. Maita tidak tahu harus berbuat apa jika tidaka da Omar di sampingnya. Berada di negara lain dengan kulture budaya yang berbeda membuat Maita sedikit kaget dan kesulitan beradaptasi. “Mana sih, kok lama banget dia baliknya,” gumam Maita. Wanita itu menatap ke lorong di mana Omar menghilang tadi. Namun belum ada tanda-tanda dia kembali. Tak berselang lama giliran Maita untuk periksa di ruang spesialis kandungan. “Omar mana sih,” gerutu Maita. Dengan tergopoh-gopoh Omar berlari dari ujung lorong menuju ke tempat Maita berdiri. “Hah ... hah ... maaf, lama,” kata Omar dengan napas tersengalnya. “Iya udah nggak apa-apa deh, tapi nama ku sudah dipanggil,” jelas Maita dengan santainya. Dia tidak tau jika di dalam dokter sudah menunggu kehadiran Maita. “Ya sudah ayo kita masuk, takut jika dokter menunggu kamu,” jelas Omar. Mereka segera memasuki ruang Obgy. Maita hanya melongo mendengar dokter Obgyn menjelaskan mengenai masalah kandungannya. “Sudah ayo!” ajak Omar segera meninggalkan ruangan. “Hah sudah ya?” tanya Maita dengn wajah polosnya. “Iya, sudah selesai Caroll,” jelas Omar “Maaf, mereka berbicara terlalu cepat, aku belum bisa memahami apa yang dokter katakan,” kata Maita. “Iya deh, tidak apa-apa. Mulai besok aku akan mengantar kamu ke tempat kursus bahasa, jika kamu seperti ini terus maka kamu akan tertinggal dah sudah mengikuti Nanti,” kata Omar. “Baiklah aku akan berusaha, lagian aku juga tidak akan terus merepotkan dan bergantung kepadamu selamanya kan,” ujar Maita. “Bisa saja kamu bergantung kepadaku selamanya, asal ....” “Menikah denganmu?” potong Maita. “Tepat sekali,” jawab Omar cepat. Maita memonyongkan bibirnya ke arah depan. “Hem ... menguji iman bener tuh bibir,” gumam Omar yang hanya bisa di dengar olehnya. “Ayo, aku antar pulang!” kata Omar. “Loh, kamu nggak kerja?” “Aku hanya absen dan mengatur jadwal hari ini. Mungkin besok atau lusa baru deh aku mulai aktifitas normal. Sekalian aku mau ajak kamu belanja bahan pokok dan ngajarin kamu naik kereta,” jelas Omar. “Naik kereta?” sahut Maita dengan begitu antusias. “Iya, di sini kita harus terbiasa dengan angkutan umum, kamu bisa kan?” tanya Omar ragu. “Tentu, aku suka dengan tantangan baru.” “Ya sudah pertama-tama kita ke supermarket dulu.” . . Maita sedang merasa bingung ketika berada di rak buah yang berada di hadapan nya saat ini. Menurutnya, semua buah yang di depan matanya samasama sangat menggiurkan. “Yang mana yang kamu mau?” tanya Omar, kakinya mulai terasa pegal menunggu Maita terlalu lama memilih buah. “Em ... yang mana ya?” kata Maita mengetuk-ngetuk dagunya. “Ya sudah biar aku saja yang pilih,” kata Omar jengah dengan keleletan Maita. Omar segera mengambil semua jenis buah-buahan memasukkannya ke dalam keranjang. “Kamu beli banyak banget emang buat apaan?” kata Maita bingung. “Buat kasih makan Ibu hamil dan anaknya,” jelas Omar. “Nggak sebanyak ini juga, ‘kan?” “Daripada cuma nungguin kamu melamun menentukan pilihan, lebih baik diambil semuanya saja,” jelas Omar. “Dibilangin ngeyel,” gerutu Maita. “Biarin.” Omar sama sekali tidak mengindahkan ucapan Maita. Setelah menyelesaikan belanjanya, Omar segers mengajak Maita makan di luar. . “Water!” teriak Omar kepada pelayan di sebuah restoran. “*Can I help you, sir?,” jawab pelayan yang berwajah western itu. *Ada yang bisa saya bantu, Pak? “*I want salad and steak, to drink orange juice.” *Saya ingin salad dan steak, untuk minumnya jus jeruk. Tidak lama setelah itu, pesanan mereka akhirnya datang. Maita yang kebetulan sangat lapar segara menghabiskan hidangan di atas mejanya. . . “Kamu masih lapar, Caroll?” tanya Omar. “Hehe sedikit.” Gimana kita jalan-jalan ke taman saja, siapa tau kamu ingin menghirup udara segar, aku kemarin melihat ada taman di sekitar sini,” jelas Omar. “Benarkah?” ucap Maita dengan senyum mengembang. “Pernahkah aku berbohong?” ujar Omar menaikan sebelah alisnya. Maita menggeleng duakali. “Nah ... ngapain musti ragu, ya sudah ayo kita jalan,” ajak Omar. Jika orang melihat kebersamaan mereka pasti akan menganggap Maita dan Omar pasangan sesungguhnya. Sayang sekali, semua itu adalah kebohongan yang di tutupibrapat dan rapi oleh keduanya. “Sini aku bawakan tas kamu,” kata Omar mengambil slingbag di tangan Maita. “Terimakasih,” kata Maita. “Aku suka heran deh, kalian para wanita ini. Kalo jalan emang nggak bisa banget ya, kalo nggak bawa perintilan-perintilan kayak gini, aku aja lihatnya ribet,” gerutu Omar. “Ya sudah, kalo ribet aku bawa sendiri juga nggak apaapa kok. Lagian aku nggak minta kamu buat membawakan tas aku lho,” elak Maita. “Iya, kamu emang gak minta, tapi aku yang mau. Udah deh, jangan bawel,” tutur Omar. “Oke Boss,” jawab Maita. Maita berjalan menyusuri rerumputan yang membentang luas di seluruh taman bunga. “Kamu suka bunga?” tanya Omar. Maita mengangguk. “Tubggu di sini ya,” pinta Omar, kemudian berlalu meninggalkan Maita. “Mau ke mana lagi sih?” gerutu Maita. . Omar kembali membawa sebuket bunga yang berdominan dengan warna kuning. “Wah ... ini bagus banget,” ujar Maita mendapati bunga dari tangan Omar. “Nih buat kamu, ini hadiah karena kamu sudah sabar, menunggu aku keluar dan menyelesaikan tugas di rumah sakit tadi di rumah sakit. “Ini terlalu berlebihan,” jelas Maita. “Asalkan kamu bahagia aku juga ikutan bahagia,” jelas Omar dengan senyum merekahnya. “Fotoin dong,” rengek Maita. “Iya sini aku photoin.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD