TIGA BELAS

1074 Words
Setelah puas bermain - main, di pantai, mereka pergi ke air terjun. Tema mereka kali hari ini adalah air, air dan air. Tapi tak apa, Yura senang karena Niel terlihat bahagia. Dia bermain sepuasnya sesuai dengan umurnya. Yura tak pernah mengajarkan Niel untuk menjaganya. Dia juga tak pernah meminta, tapi putranya itu selalu saja bersikap sebagai penjaganya saat mereka pergi berdua. Terutama menjaganya dari beberapa remaja jahil yang kadang menjadikannya ajang taruhan. Siapa yang berani mendekatinya dan meminta nomor ponselnya. Siapa pun yang bisa mendapatkan kontaknya, dia lah yang menang. Yura diam saja, tak meladeni mereka. Bukan karena dia jutek, dia cukup ramah kok, hanya saja dia bukan barang taruhan. Sayangnya, Niel tahu akan hal itu, jadi saat mereka sedang date di luar, anaknya itu selalu memasang tampang cool dan sedikit garang. Namun hari ini berbeda. Dia bisa melihat kembali Niel yang tertawa lepas saat bermain dengan air. Dia mengingatkan dirinya untuk berterima kasih pada Jeffry yang memberikan kesempatan ini. Setelah puasa bermain air, mereka menuju ke glamping di hutan pinus. Tak lupa mereka mampir ke mini market untuk mebeli bekal dan beberapa keperluan yang belum terbeli, yang mungkin mereka butuhkan saat menginap nanti. Niel sudah tertidur pulas di pangkuan Yura saat mereka sampai di tempat tujuan. Glamping yang disewa oleh Kakak Jeffry adalah glamping yang benar - benar glamor. Mereka langsung bisa parkir di bawah pondok glampingnya, sehingga mereka tak harus berjalan jauh dari parkiran di depan menuju ke pondong yang mereka sewa. Di bawah sana juga ada peralatan untuk barbecue seperti arang, tungku pembakaran, serta kompor paraffin yang bisa mereka bawa ke atas untuk digunakan. Sekarang baru jam empat, dan sebelum ke sini tadi mereka sudah sempat makan siang, jadi mereka tak akan membutuhkannya saat ini. Mungkin nanti malam. Jeffry bergegas memutari bagian depan mobil begitu mesin dimatikan dan langsung membantu Yura menggendong Niel. “It’s okay, let me.” Yura menolak tak enak. Seharian ini Niel menempel terus pada Jeffry. Dan energi bocah itu seperti tak ada matinya, jadi Jeffry pasti capek sekali. Dia jadi tak enak pada pria itu karena merasa sudah membuat repot. “Nggak papa. Ini, kamu naik dulu aja, bukain pintunya. Niel biar aku yang bawa ke atas.” “Kita bisa bangunin dia…” “Nggak papa, Yura. Beneran.” Senyuman Jeffry membuat Yura menelan semua bantahannya. “Thank you.” gumamnya sambil berjalan terlebih dulu ke pondok mereka dan membukakan pintu untuk Jeffry yang membawa Niel naik. Bener kata Jeffry, ada dua kamar tidur, satu master bedroom dan satu kids room. Ada ruang tengah yang cukup luas juga yang menyambung dengan balkon, hanya dipisah oleh sliding door kaca. Yura membuka pintu ke kamar yang lebih kecil, tapi Jeffry terus berjalan dan membawa Niel ke master bedroom, membuat Yura mengikutinya dengan bingung. “Jef, kok di situ? Itu kan master bedroom?” “Iya, di sini lebih besar. Kalian kan tidurnya berdua, kalau di kids room, kasurnya kecil, cuma single aja. Nanti kalian nggak nyaman.” pria itu menjawab santai sambil merebahkan Niel di atas tempat tidur. Pia itu bahkan mengusap kening Niel yang berkeringat dan menghidupkan AC nya untuk mengatur suhu. Tak terlalu panas, namun tak juga terlalu dingin untuk Niel. “Tapi kan kamu yang sewa ini, Jef. Masa kami yang nempatin master bedroomnya?” “Techically, my sister’s paid. Jadi bukan aku. Nggak papa. Kan kita di sini mau healing, jadi kita sesuaikan aja sama kebutuhan. Kamu yang lebih butuh kamar ini. Aku kan sendiri, jadi di sebelah pun oke.” “Thank you.” Jeffry terkekeh. Ini adalah kali pertama dia melihat Yura kehabisa kata - kata dan terbengong - bengong padanya. Dia bahkan sudah lupa berapa kali sudah perempuan itu mengucapkan terima kasih padanya. Bagi Jeffry itu adalah hal yang membahagiakan. Tak masalah kalau dia harus menempati kamar sebelah. Bahkan dia tak keberatan kalau harus tidur di mobilnya di bawah. Sungguh. “Kamu istirahat, deh. Aku mau naikin barang - barang yang di bagasi.” “Ayo, aku bantu.” *** “Maa,” “Hmm? Yura baru saja mandi, dia sedang mengeringkan rambutnya di dalam kamar. Dia sengaja mandi terakhir karena mau menunggu sampai Niel bangun. Pria kecil itu tentu saja bisa mandi sendiri, tapi saat capek dan mood nya turun setelah bangun tidur, Niel biasanya sangan grumpy. Sehingga Yura mungkin harus memandikannya. Bagaimanapun, Niel tetap bocah lima tahun, semandiri apa pun dia. Dia hanya tak ingin mandi dua kali hanya karena dia basah setelah memandikan Niel. “Maa, Niel laper.” Niel berbisik di telinganya sambil meringis. “Laper?” Niel mengangguk, masih meringis. Anak itu pasti merasa tak enak karena seharian ini dia praktis hanya makan dan main saja. Biasanya Yura tak membiarkan hal tersebut terjadi. Dia mengajarkan Niel untuk mengarjakan hal - hal sederhana juga di sela - sela waktu mainnya, tapi hari ini, dia biarkan Niel bermain sepuasnya. Tak apa, hanya hari ini. Anggap saja ini adalah hadiah Niel karena sudah menjadi anak baik yang menemaninya selama enam tahun ini. Yura tahu ini tak seberapa, tapi hutang dibayar nyicil kan boleh. Daripada tidak sama sekali. “Maa selesein ngeringin ramput dulu boleh?” Niel mengangguk. “Niel boleh nunggu di depan TV sama Om Jeffry?” “Boleh.” “Makasih, Maa.” Yura melihat Niel sampai anak itu menghilang di balik pintu. Dia bimbang. Apakah boleh dia seenaknya memperbolehkan Niel dekat dengan Jeffry seperti itu? Anak itu seperti tak mau lepas dari Jeffry. Twpi kalau diingat, Niel hampir dekat dengan siapa pun yang bisa memperlakukan dia dengan baik. Dengan Ali anaknya Mak I'ah dulu yang pernah dijodohkan dengannya secara paksa oleh Mak I'ah juga dia dekat. Hanya saja, karena dia menolak dijodohkan dengan Ali, wanita itu melarang Ali untuk dekat - dekat dengan Niel lagi. Dia sudah selesai dengan rambutnya dan hanya mencapitnya dengan jeday seadanya sebelum keluar dari kamar. "Makan apa malam ini? Mau barbeque atau mau hot pot?" Dia bertanya pada dua pria yang menonton Spongebob sambil berangkulan dan tertawa - tawa. Saat seperti inilah Yura merasa paling bersalah pada Niel karena tak bisa berperan menjadi Ayah dan Ibu sekaligus bagi anak itu. Yura paham Niel butuh sosok seorang Ayah. Tapi untuk memulai hubungan baru dengan pria… "... Ra? Yura?" Yura tergagap saat pundaknya ditepuk Jeffry yang sejak kapan sudah berada di depannya. "You're good? Kamu kenapa? Mikirin apa sih?" "Kamu…" "Huh?" Yura membelalakkan matanya. "Em… kamu… iya, kamu mau makan apa? Niel bilang dia laper, jadi a-aku mau masak. Gitu." Begitu, kan?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD