"Selamat pagi?" Aini menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang terbuka, tentunya setelah mengetuk terlebih dahulu.
Farhana perlahan menggerakan kepalanya untuk menoleh.
"Pagi, masuk Ai." Perempuan itu bucapnya.
"Sarapan hari ini spesial." Aini memasuki kamar tersebut dengan perasaan sedikit canggung. Ini pertama kali dirinya memasuki ruang pribadi orang lain, apalagi dia tahu bahwasannya Faiq juga masih berada di dalam sana.
"Spesial pakai apa?" Farhana mencoba untuk bangkit, namun keadaannya yang lemah jelas tak bisa membuatnya bergeser bahkan sedikit saja.
"Karena saya yang masak." Aini sedikit terkekeh.
"Oh ya? Kenapa kamu yang masak? Kemana Mbok Min?"
"Mbok sedang sibuk. Jadi saya gantikan."
"Padahal bukan tugas kamu, kan?"
"Tidak apa-apa, Bu."
"Duduklah disini." Farhana menepuk pelan sisi ranjangnya, dan Aini menurut.
Dia meletakan nampan berisi piring dengan sedikit nasi yang teksturnya lembek, sayuran hijau juga lauk lainnya diatas nakas, lalu membenahi posisi duduk perempuan itu.
"Ibu bisa sendiri?" Dia menyodorkan nampan tersebut di pangkuan Farhana.
"Saya coba." Dengan tangannya yang bergetar dia meraih sendok kemudian meraup sedikit nasi dan lauknya. Lalu menyuapkannya kedalam mulutnya.
Perlahan dia mengunyahnya, dan berusaha untuk tak memuntahkan makanan tersebut walau terasa hambar di lidah dan membuat mual.
Aini menungguinya dengan sabar, sembari menggenggam gelas berisi air hangat ditangan. Dan dia berjaga-jaga jika perempuan itu akan memuntahkan makanannya.
"Minum." Farhana meminta, dan dengan cepat Aini memberikannya.
"Oh ... sulit sekali, Aini. Sampai kapan aku seperti ini?" keluh Farhana seraya kembali merebakan kepalanya diatas bantal saat dia merasa tidak kuat lagi.
"Sabar, Bu. Hanya sebentar. Makan lagi?"
"Aku tidak bisa. Makanan apapun terasa tak enak di lidah, dan aku tidak kuat lagi," katanya dengan nada putus asa.
***
"Tidak apa-apa aku tinggal sebentar? Ada beberapa hal yang harus aku urus di percetakan." Faiq muncul dari ruang ganti. Dengan stelan rapi dan rambut klimis, juga aroma maskulin yang menguar memenuhi ruangan.
"Tidak apa-apa, Mas. Pergilah, pekerjaanmu sudah lama terbengkalai karena mengurus aku." Farhana menjawab.
"Hanya sebentar, siang aku sudah kembali." Pria itu mendekati tempat tidur, kemudian berjongkok di sisinya.
"Tidak apa-apa, selesaikanlah apa yang harus Mas selesaikan. Sekarang ada Aini yang menemaniku. Aku tidak akan kesepian lagi," ucap Farhana.
Faiq melirik ke sisi lain, dimana perempuan yang kini bekerja sebagai perawat bagi istrinya itu duduk dalam diam.
"Baiklah, aku pergi." Pria itu perlahan bangkit, namun sambil tetap menunduk untuk mengecup puncak kepala Farhana.
"Jangan lupa obat dan vitaminnya," katanya yang berjalan mundur ke arah pintu.
"Oh ya, Aini?" panggilnya sebelum pergi.
"Ya pak?" Sang perawat mendongak dengan wajah sedikit memerah setelah melihat adegan di depan matanya.
"Titip Hana," ucap Faiq, kemudian pergi.
***
"Kasihan Mas Faiq, harus menghabiskan waktunya untuk mengurus perempuan penyakitan seperti aku." Farhana kembali merebahkan tubuh lemahnya, setelah mengeluarkan isi perutnya di kamar mandi beberapa saat setelah Aini menyuntikan obat dalam sesi kemoterapinya.
"Seharusnya saat ini kami sedang menikmati apa yang kami rintis dari nol. Usaha kami yang berhasil setelah bertahun-tahun berbanding terbalik dengan kesehatanku yang semakin menurun. Aku malah tak kunjung pulih bahkan setelah berjuang melawan penyakit ini." Perempuan itu menatap jendela yang menampilkan pemandangan taman di samping rumahnya.
"Aku takut Aini, aku takut. Bagaimana jika aku tak berhasil melewati ini? Bagaiamana jika aku tak mampu bertahan? Bagaiamana jika akhirnya aku ...."
"Bu, berbaik sangka pada apa yang tengah kita alami saat ini sepertinya lebih baik dari pada berputus asa. Karena itu akan berdampak juga bagi kesehatan kita. Memang tidak mudah, tapi tidak ada salahnya jika ibu berusaha lebih optimis lagi. Karena kesembuhan itu berasal dari dalam diri kita sendiri. Dan pikiran positif bisa mempengaruhi tubuh ibu agar menjadi positif juga, karena itu akan memudahkan proses penyembuhan." Aini mencoba menguatkannya.
"Kamu yakin aku bisa sembuh?" Lalu Farhana memalingkan pandangannya kepada si perawat.
"Saya yakin, karena tidak ada yang mustahil jika kita terus berusaha. Masalahnya hanya waktu. Tapi jika ibu sendiri tidak yakin, bagaimana saya bisa bertahan dengan keyakinan itu? Kita bersama-sama dalam hal ini, dan fungsi keberadaan saya hanyalah mendampingi sebagai tenaga medis. Selebihnya ibu yang harus berjuang sendiri."
"Aku tidak tahu apakah aku bisa." Farhana dengan suara pelan.
"Saya yakin ibu bisa, kalau ibu mau. Tubuh kita bisa saja diserang penyakit yang sangat parah, tapi jangan sampai semangat kita menghilang. Karena itulah satu-satunya kekuatan yang mampu membuat kita bertahan." Aini dengan bersemangat.
"Apa yang membuatmu bisa bicara seperti itu? Kamu begitu percaya dengan apa yang bahkan tidak aku percayai?" Namun Farhana masih dengan pendapatnya sendiri.
"Akan selalu ada harapan di setiap masalah, entah apa kita tidak tahu. Tapi itulah yang membuat saya percaya kalau Ibu mampu."
"Bagaimana kalau ternyata aku tidak mampu bertahan dan ... mati?"
"Setidaknya kita sudah berusaha. Dan usaha itu menunjukan kalau kita tidak berputus asa. Bukankah Allah membenci orang yang berputus asa?" Aini terus berusaha mengembalikan harapan dan kepercayaan diri perempuan di depannya. Meski dia tidak tahu hasilnya akan seperti apa. Karena inilah yang dia perlukan, untuk membuat mentalnya kembali kuat agar bisa bertahan lebih lama.
"Kamu benar Aini." Farhana merasa pikirannya seperti tercerahkan.
"Nah, mulai sekarang Ibu harus lebih semangat lagi, jangan membuat apa yang sudah dikorbankan oleh Pak Faiq menjadi sia-sia." Aini dengan senyum lembutnya.
***
"Apa yang membuat kamu bercerai dari suamimu?" Farhana kembali berbicara, keberadaan Aini di sekitarnya membuatnya merasa ingin membicarakan banyak hal. Dan dia mulai penasaran dengan jati diri perawatnya itu.
"Hanya karena keinginan yang tidak terpenuhi, Bu." Aini menjawab, walau rasa canggung dia rasakan. Selama hidupnya dia tidak pernah berbicara masalah pribadi dengan siapapun kecuali dengan suaminya dulu.
Suami.
"Keinginan apa?" Farhana terus bertanya.
"Memiliki anak." Namun akhirnya dia menyerah juga.
"Anak?" Farhana mengerutkan dahi. "Berapa tahun kamu menikah sampai akhirnya kalian bercerai?"
"Tiga tahun," jawab Aini.
"Aku sepuluh tahun. Rahimku bahkan diangkat tepat di tahun ke sepuluh pernikahan. Dan itu benar-benar menegaskan kalau kami tidak akan memiliki keturunan."
"Tapi pak Faiq tetap bertahan walau keadaan ibu seperti itu. Sementara saya? Masih sehat, masih kuat dan bisa melakukan banyak hal. Saya bahkan dinyatakan sehat oleh dokter, tapi suami saya tidak mau lebih bersabar lagi." Aini terkekeh getir.
Bukankah keadaan ini berbandimg terbalik? Ketika dia yang ingin berjuang dan mencoba untuk bersabar, namun pasangannya yang malah menyerah.
"Beruntung?" Farhana mengulang kata-katanya.
"Ya, tidak banyak laki-laki seperti Pak Faiq, yang memilih bertahan di saat paling buruk. Kebanyakan dari kaum lelaki akan mencari alasan untuk berpindah ke lain hati ketika istrinya tak mampu memberikan apa yang mereka inginkan. Terutama soal keturunan. Itu akan menjadi alasan paling utama yang mereka pakai untuk mencari wanita lain. Percayalah, karena itu yang saya alami. Dan Ibu lebih beruntung dalam hal ini."
"Kamu benar Aini, bukankan aku sangat beruntung?"
"Iya, dan sebaiknya Ibu tidak menyia-nyiakan hal itu dengan menyerah dan berputus asa."
"Ya, kamu benar." Lalu sebuah ide melintas begitu saja saat Farhana menatap wajah sang perawat.