Aini tertegun di depan suami istri yang baru saja menawarinya sebuah pekerjaan tepat satu bulan setelah mereka mengenalnya di rumah sakit. Dan kini pasangan itu mengundangnya kerumah besar mereka untuk berbicara pada minggu sorenya.
"Tapi saya baru saja satu bulan bekerja." Dia menatap mereka secara bergantian.
"Berapa kamu digaji? Dan apa yang kamu dapatkan selain gaji dari rumah sakit? Saya akan membayarmu tiga kali lipat dari apa yang kamu dapatkan sebelumnya." Faiq berupaya membujuknya.
"Masalahnya bukan uang Pak. Tapi ...."
"Apa? Bukankah tujuan orang bekerja itu untuk mendapatkan uang?" tukas Faiq, dan dia menatap wajah lembut perempuan itu untuk beberapa saat.
"Iya, tapi masalahnya pekerjaan sebagai perawat itu besar tanggung jawabnya. Saya takut tidak bisa menjalankan hal itu dengan baik, terutama untuk Bu Hana," jawab Aini.
"Bukankah kamu lulusan sekolah keperawatan?" Faiq memastikan keterangan dokumen yang didapatkannya dari rumah sakit mengenai perempuan itu.
Dan apa yang dia ketahui sepertinya cukup meyakinkan baginya untuk mempekerjakan Aini di rumahnya sebagai perawat pribadi bagi Farhana.
"Iya, memang. Tapi ...." Aini terdiam sebentar. "Bapak tahu semua itu?" tanyanya kemudian.
"Iya, saya tahu. Saya sudah memastikan semuanya sebelum kami memutuskan untuk menawari pekerjaan ini kepadamu." Faiq menjawab dengan percaya diri.
"Tapi Pak?"
"Kenapa? Tidak tertarik dengan tawaran ini? Kenapa kamu lebih memilih menjadi asisten seorang dokter ketimbang menjadi perawat sungguhan seperti apa yang sudah kamu pelajari saat kuliah?" Dan dengan segala kecakapannya dia memutar peetanyaan perempuan di hadapannya.
"Waktu itu tidak ada lowongan untuk perawat, Pak. Hanya ada beberapa dokter yang membutuhkan asisten, sementara saya sedang sangat membutuhka pekerjaan." Aini menjelaskan alasannya mengambil pekerjaan tersebut.
"Nah, sekaranglah saatnya Aini, kamu akan bekerja sebagai perawat. Untuk membantu saya merawat istri saya." ucap Faiq, setengah memelas.
"Hana tidak mau datang kerumah sakit untuk kemoterapi, sementara dia masih butuh pengobatan untuk penyembuhannya. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan soal itu. Tapi kamu perawat, kamu pasti tahu." Pria itu melanjutkan.
Aini terdiam lagi, lalu dia menatap Farhana yang duduk bersandar di sudut sofa. Wajahnya semakin tirus dan semakin pucat, dan dia menolak segala macam pengobatan. Apalagi untuk datang ke rumah sakit dan menjalani serangkaian prosedur medis untuk memulihkan kesehatannya seperti yang diberitahukan Dokter Gita sebelum dirinya menerima undangan Faiq untuk datang ke rumah mereka.
"Saya tidak tahu, saya harus membicarakan masalah ini dengan Dokter Gita, juga Dokter Firman. Mereka yang akan memutuskan ...."
"Saya sudah melakukannya. Dan mereka mengizinkan." Faiq menyela ucapannya.
"Maaf Pak?"
"Kamu bisa bekerja mulai besok," lanjut pria itu yang kemudian meraih tangan istrinya yang terlihat begitu kurus.
"Tapi Pak, saya bahkan belum memikirkannya. Ini bukan hal sepele untuk diputuskan."
"Apalagi?"
"Saya butuh waktu untuk berpikir, Pak."
"Aini ...."
"Setidaknya saya harus kembali membuka buku semasa kuliah. Saya harus mengingat banyak hal, karena saya berhenti tepat setelah menikah." Perempuan itu menjelaskan alasannya meminta waktu.
"Oh baiklah, jadi kamu setuju?" Faiq bereaksi setelahnya.
"Apa saya punya pilihan lain? Sepertinya tidak. Kalau dokter Gita sudah mengijinkan, pasti sudah mendapatkan pengganti saya juga." Aini menjawab lagi seraya menatap dua orang di depannya secara bergantian.
"Baik, kamu butuh waktu berapa hari?" Lalu pria itu bertanya, dan dia sedikit mencondongkan tubuhnya.
"Entahlah, mungkin sekitar satu minggu?"
"Apa bisa di percepat? Sepertinya satu minggu terlalu lama?"
"Saya harus membaca beberap buku, Pak."
"Hmmm ... baiklah, satu minggu. Kamu bisa menghubungi saya nanti setelah kamu siap, dan saya akan mengirim orang untuk menjemputmu." Faiq akhirnya setuju.
"Tidak usah, Pak. Nanti saya akan datang sendiri."
"Baiklah kalau begitu."
***
Dan disinilah dia kembali satu minggu setelah percakapan terakhirnya dengan Faiq. Dengan satu travel bag dan koper berukuran sedang miliknya yang dia turunkan dari angkot yang ditumpanginya.
Menatap rumah besar tersebut untuk kedua kalinya, dan mulai saat ini dia akan tinggal disana karena menjalani pekerjaan untuk merawat Farhana.
"Selamat pagi, Mbak?" Seorang perempuan berusia sekitar 40 an datang menghampiri, yang dia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah tersebut.
"Pagi, Bu." Aini menjawabnya dengan ramah.
"Ada lagi barang yang harus saya bawa?" tanya perempuan itu, yang sudah memindahkan koper dan travel bag di lantai dalam genggamannya yang siap dia tarik kedalam rumah.
"Tidak ada, hanya ini saja."
"Baiklah, kalau begitu silahkan." Lalu dia berjalan mendahuluinya.
"Baik." Dan Aini mengikuti langkah perempuan itu ke paviliun samping yang terletak di sebelah kanan rumah, yang berhadapan langsung dengan taman yag cukup luas.
Rumput hijau membentang di pinggir kolam renang, dengan beberapa jenis bunga yang ditanam di sekelilingnya. Batu-batu besar menjadi penghias taman tersebut yang membuatnya tampak lebih alami.
"Kalau dekorasinya nggak suka tinggal diganti saja ya? Saya belum sempat menyiapkan yang lain. Maklum, pekerjaan saya banyak." Mereilka tiba di sebuah ruangan.
"Oh, tidak apa-apa, Bu. Terimakasih. Ini juga sudah bagus, dan saya suka." Aini menatap sekeliling paviliun yang luasnya hampir empat kali lipat kamar kostnya yang terdahulu. Sebuah ranjang besar terletak di ujung ruangan, dengan dua buah lemari besar yang terbuat dari kayu jati berukiran khas Jepara.
Disamping tempat tidur di letakan sebuah meja rias lengkap dengan kursi kecilnya. Juga sebuah rak sepertinya untuk menyimpan alas kaki.
Sementara di sisi lainnya terdapat kamar mandi di belakang sebuah sofa berukuran sedang, dekat dengan bufet kayu dengan ornamen etnik yang unik. Penghuni rumah besar ini tampaknya mempunyai selera yang cukup bagus soal furnitur.
Terdengar seorang pria tengah berbicara dari arah samping, yang menyita perhatian Aini. Dia segera mengalihkan pandangannya ke arah asal suara.
Menatap pria itu bersama istrinya yang baru saja tiba di taman, berjemur di bawah sinar mentari yang baru saja muncul dari timur.
Faiq tampak terus mengajak Farhana berbicara. Pria itu sesekali terdengar tertawa dengan ekpresi yang begitu ceria, menghibur istrinya yang tengah dalam masa pemulihan.
"Kasihan ibu, setelah operasi keadaannya bukannya membaik, tapi malah semakin buruk," ucap sang asisten rumah tangga itu yang tengah membantu Aini mengeluarkan barang-barangnya dari koper.
Perempuan itu menoleh.
"Lebih kasihan lagi Bapak. Yang setiap hari mengurus Bu Hana tanpa lelah atau mengeluh. Belum lagi di repotkan dengan pekerjaan."
"Pak Faiq kerjanya apa?"
"Punya percetakan. Baru saja beberapa tahun naik, setelah berjuang dari nol bersama ibu. Eh setelah berhasil Bu Hana nya malah sakit?"
"Mereka tidak punya anak?" Aini mengingat, sejak pertama kali dia menginjakan kakinya di rumah tersebut memang tak melihat keberadaan anak kecil disana.
"Tidak. Padahal mereka sangat mengharapkannya. Tapi Tuhan punya rencana lain, setelah hampir sepuluh tahun menunggu, eh belakangan ibu malah di vonis kanker. Dan dalam dua tahun terakhir kondisinya semakin menurun sampai-sampai rahimnya harus diangkat kan?" jelas perempuan itu.
"Iya, saya tahu itu. Saya pikir mereka sudah punya anak sebelum Bu Hana sakit."
"Sayangnya tidak. Tapi Bu Hana beruntung, Bapak tidak pernah meninggalkan dia walau hanya sebentar. Pak Faiq selalu memprioritaskan istrinya lebih dari apapun."
"Saya lihat seperti itu."
"Iya, kalau laki-laki lain pasti sudah nikah lagi, tahu istrinya sakit dan tidak bisa memberikan keturunan. Apalagi laki-laki mapan seperti dia, tidak akan berpikir panjang lagi untuk cari perempuan lain. Kekurangan sekecil apapun bisa dijadikan alasan untuk berpaling."
Aini terdiam, seolah dia sedang mendengar seseorang membicarakan dirinya. Dia mengira, hanya dirinyalah yang mengalami hal buruk itu. Dibuang oleh suaminya karena belum bisa memberikan keturunan. Tapi hari ini dia melihat, bahwa ada orang lain yang mengalami hal sepertinya. Bahkan mungkin lebih buruk. Mengingat keadaan Farhana yang semakin lemah.
Namun perempuan itu beruntung, sebab suaminya memilih untuk bertahan mengurusnya, ketimbang mencari perempuan lain untuk kesenangannya sendiri dengan alasan ingin memiliki keturunan.
"Eh, jadi ghibah." Asisten rumah tangga itu tertawa. "Saya tinggal ya? Mau melanjutkan kerjaan di belakang. Kalau ada apa-apa panggil saja," pamitnya.
"Baik Bu, terimakasih bantuannya," jawab Aini, dan perempuan itupun pergi.