Bekerja

1067 Words
Rumah sakit mulai sibuk pagi itu, para perawat berkeliling ke setiap ruangan untuk memeriksa keadaan, sebagian diantara mereka datang bersama para dokter yang menangani pasien-pasien tersebut. Aini menjalani hari pertamanya bekerja sebagai asisten seorang dokter kandungan, dan dia telah bersiap untuk segala hal. Menyediakan peralatan yang dibutuhkan, merapikan meja sang dokter, juga memeriksa ruangan tempat atasannya itu bekerja. Agar semuanya berjalan baik dan melancarkan pekerjaan. "Kamu sudah dapat jadwal dari Haifa?" dokter Gita tiba tepat waktu, setelah perempuan itu menyelesaikan tugasnya. "Sudah, Dok. Jadwal pertama ada pemeriksaan untuk ...." Aini menatap catatannya, yang bertuliskan nama-nama pasien yang telah membuat janji sejak beberapa hari sebelumnya. "Ibu Farhana?" ucapnya. "Oh ... Apa orangnya sudah datang?" Gita bertanya. "Saya rasa belum, mungkin sebentar lagi." Aini menatap kursi di ruang tunggu yang masih lengang. "Baiklah, nanti kalau mereka datang langsung saja ya? Mereka pasien tetap saya." Dokter itu berucap. "Baik Dokter." lalu dia kembali pada pekerjaan setelah sang dokter masuk kedalam ruangannya. **/ "Permisi, selamat pagi?" Suara bariton membuyarkan konsentrasi Aini. "Ya? Selamat pagi, Pak?" Perempuan itu mendongak ke asal suara. Seorang pria tinggi dengan kemeja berwarna abu-abu yang bagian lengannya di gulung hingga kebawah sikut berdiri di depan mejanya. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya nya setelah meletakan alat tulis di meja. "Saya Faiq." Pria itu menyebutkan namanya. "Faiq?" Aini membeo. "Saya sudah ada janji dengan Dokter Gita," lanjut pria itu yang sedikit mencondongkan tubuhnya. "Sebentar." Aini melihat buku catatannya, namun dia tak menemukan nama seorang pria disana. "Maaf, Pak. mungkin Bapak salah ruangan? Disni ruang praktek dokter kandungan pak." Perempuan itu menjelaskan. "Saya yakin tidak, karena setiap satu minggu sekali saya memang datang kesini untuk berkonsultasi dengan Dokter Gita." Faiq berujar. "Maaf, Pak?" Aini memiringkan kepala. "Saya seminggu sekali datang kesini untuk konsultasi ... Kamu asisten baru ya? Kamu tidak kenal saya?" Pria itu kemudian bertanya setelah menyadari bahwa perempuan di depannya belum pernah dia lihat sebelumnya. "Umm ... ya, saya asisten baru Dokter Gita." Aini pun menjawab. Tiba-tiba pintu terbuka, dan Dokter Gita muncul setelahnya. "Masuklah Faiq, dia orang baru." "Ah, sudah aku duga." Faiq menoleh. "Bagaimana kabar Hana?" "Seperti biasa." Pria itu mundur beberapa langkah, kemudian menghampiri seorang perempuan yang duduk diatas kursi roda di ruang tunggu. "Hai Hana?" sapa Dokter Gita kepadanya. "Gita." "Bagaimana keadaanmu?" Dia menunduk setelah jarak mereka hanya sekitar satu meter. "Seperti biasa." "Baik, sudah siap untuk pemeriksaan lagi?" Gita berujar. Perempuan diatas kursi roda menghela napas dalam-dalam. "Apa aku punya pilihan lain? Sepertinya tidak ya?" Dia terkekeh, kemudian pria bernama Faiq itu mendorongnya untuk masuk kedalam ruang pemeriksaan. "Itu pasien Farhana, Ai." Gita berbicara kepada Aini sebelum dia masuk. "Dan Faiq itu suaminya." "Oh, baik." Perempuan itu mengangguk sambil menandai tulisan di catatan miliknya. "Eh, sepertinya aku pernah bertemu? Tapi di mana ya?" Batin Aini bergumam. *** Pasangan suami istri tersebut keluar setelah kurang lebih satu jam berkosultasi di dalam. "Aini, siapkan untuk kemotheraphy dengan dokter Firman ya?" Gita yang keluar bersama pasiennya tersebut. "Baik dokter." Sang asisten segera menjalankan perintahnya. Kini mereka telah berada di ruangan lain, bersiap untuk menjalani pengobatan lanjutan bagi Farhana, setelah dua minggu sebelumnya menjalani operasi pengangkatan rahim akibat kanker stadium tiga yang di deritanya selama beberapa tahun. "Apa ini harus dilakukan?" Faiq menginterupsi, sebelum dokter Firman melakukan tugasnya seperti yang sudah dia ketahui sebelumnya. "Untuk memaksimalkan penyembuhan, ya. Dan untuk menghindari kekambuhan juga, kita tidak tahu sel kankernya bisa tumbuh lagi atau tidak, apalagi dengan kondisi kesehatan mental Hana yang kadang naik turun drastis seperti sekarang." Gita menjelaskan. "Aku hanya khawatir," ucap Faiq lagi dengan nada sendu. Tentu saja dia merasa khawatir karena mengetahui efek yang akan timbul dari pengobatan seperti ini. "Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja." Gita menguatkannya. "Aku harap begitu." "Baik, ayo kita mulai?" Dokter Firman kembali bersiap, setelah Aini menyediakan satu ampul obat dan sebuah alat suntik. Kemudian dia melakukan seperti yang sudah biasa dilakukannya. Mengisi alat suntik dengan obat, kemudian menyuntikan obat tersebut pada tubuh pasiennya yang sudah terlebih dahulu dia periksa untuk memastika keadaannya. Farhana mengerutkan dahi dengan keras ketika dirasaknnya nyeri yang luar biasa pada bagian bawah perutnya. Dia mencengkeram tangan suaminya dengan erat untuk meminta kekuatan. "Selesai," ucap Firman setelah selesai melaksanakan tugas. "Apa ada efek sampingnya setelah ini?" Faiq bertanya lagi untuk meyakinkan pengetahuannya tentang keadaan istrinya. "Pasti ada. Pusing, mual, atau bakan muntah. Tapi jangan khawatir, itu memang sudah biasa dialami pasien kemotherapi," jelas Firman. "Hanya itu?" "Untuk jangka panjang mungkin menyebabkan rambut rontok dan kulit kering juga, tapi ituah prosesnya untuk membunuh sel kanker yang kemungkinan berusaha bertahan di dalam sana." Dokter itu terus menerangkan. "Baiklah." Faiq tampak menganggukan kepala. "Nah Aini, tolong obatnya disiapkan ya?" Dokter itu menyerahkan secarik kertas berisi tulisan yang Aini terima dan langsung melaksanakan sesuai perintah. Beberapa bungkus obat dia serahkan, yang kemudian diterima Faiq seperti biasa. "Sudah hafal kan harus bagaimana?" Dokter Gita berujar. "Tentu saja aku hafal, sudah khatam malah," jawab pria itu yang bangkit dari kursinya. Dokter Gita tertawa cukup keras, dan dia menepuk pundak pria itu tanpa sungkan. "Kamu sungguh lucu Faiq, selera humormu lumayan, dan itu bagus untuk membantu menaikan imunnya Farhana, dia pasti akan cepat sembuh dibawah pengawasanmu," katanya, mencoba membuat pria yang dikenalnya saat kuliah itu merasa tenang. "Ya. Andai selera humorku ini benar-benar bisa membantu pemulihannya, maka setiap saat aku akan selalu melucu di depannya. Tapi ...." Faiq menggantung kata-katanya. "Jangan berkecil hati ...." dokter Gita kembali menepuk pundaknya. "Hana akan sembuh, masalahnya hanya waktu. Kita harus bersabar." Dia membesarkan hati teman semasa kuliahnya itu. "Ya, m Semoga aku bisa. Dan semoga Hana pun bisa bertahan, karena yang paling aku takutkan dalam hal ini adalah Hana. Aku takut dia akan menyerah, lalu ... Bagaimana denganku?" Faiq dengan raut sendu. "Jangan berputus asa dari rahmat Allah, karna sesungguhnya, karuniaNya lebih dekat daripada ujiannya. Kita hanya harus sabar dan ikhlas menjalaninya." Gita kembali berucap, dan mereka keluar dari ruangan itu. *** "Sudah siap pulang?" Pria itu menghampiri istrinya, dia berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan Farhana yang duduk tenang di kursi rodanya. "Iya Mas, aku lelah dan pusing, rasanya mau muntah," keluh Farhana. "Bisa bertahan sampai rumah?" Faiq memastikan. "Bisa Mas." "Yakin?" "Yakin. Cepatlah ...." Faiq terkekeh menatap wajah kesal sang istri, yang memang menolak proses pengobatan sejak beberapa hari sebelumnya itu. Namun atas desakannya, akhirnya Farhana menyerah juga. Pria itu bangkit kemudian mendorong kursi roda untuk meninggalkan area rumah sakit tersebut, diikuti tatapan haru dari seseorang yang sejak tadi memperhatikan intraksi keduanya dalam diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD