Perceraian

1414 Words
Hakim sudah mengetuk palu, dan keputusan sudah disahkan. Dirinya kini sudah resmi menjandi janda di usia 27 tahun. Dialah Aini Kamila, seorang perempuan mandiri lulusan akademi keperawatan yang memilih untuk tidak melanjutkan karirnya sebagai perawat di rumah sakit besar di kota Bandung demi baktinya kepada suami dan keluarga sepenuh hati. Namun pernikahan yang baru berumur tiga tahun harus goyah diterjang ujian. Ketidak hadiran seorang anak diantara dirinya dan Arman menjadi penyebab yang paling kuat untuk berpisah. Perempuan itu menyeka air mata yang meleleh di pipi. Bayangan banyak kejadian berkelebat di pelupuk matanya. Tentang bagaimana mereka bertemu, berkenalan hingga memutuskan untuk bersama meski berbagai rintangan datang menghadang. Terutama dari ibunya Arman yang mempermasalahkan statusnya yang merupakan anak yatim piatu dan hidup di panti asuhan. Namun, semuanya runtuh ketika Arman dengan gagah berani menentang dan memutuskan untuk tetap menikahinya karena rasa cintanya yang begitu besar, dan mereka memulai segalanya dengan segala keterbatasan. Meski akhirnya hal itu tak bertahan lama karena sang suami yang tidak kuat dengan cobaan. Sebuah koper besar dan travelbag berukuran sedang menjadi barang terakhir yang Aini naikkan kedalam taksi online yang tiba tiga puluh menit yang lalu. Dia memutuskan untuk segera meninggalkan rumah milik Arman yang selama tiga tahun ini mereka tinggali. Yang menjadi saksi betapa kerasnya perjuangan mereka meniti kehidupan sejak dari tidak mempunyai apa-apa hingga kini mereka memiliki segalanya. "Selamat tinggal, Mas." Aini meraih tangan Arman, menciumnya untuk yang terakhir kalinya. "Maaf, Aini." Pria itu setengah berbisik. "Aku jamin semuanya akan aku kirim segera setelah segala urusan selesai," katanya lagi. Aini hanya mengangguk pelan, diiringi air mata yang kembali membasahi pelupuk matanya. "Aku pamit, Mas." perempuan itu melirik ke arah pintu masuk dimana Vina, sang ibu mertua berdiri dengan angkuh. Setelah mengingatkannya untuk segera meninggalkan rumah yang sudah dia tinggali sejak lama. "Tidak usah berpamitan kepada Mama." Arman berbisik lagi. Aini hanya menatap wajah tegas itu untuk beberapa saat. Lalu memutar tubuh, dan melangkah masuk kedalam mobil berwarna silver yang sudah menunggu di depan pagar rumahnya. Dia masih menatap bangunan berlantai dua itu untuk terakhir kalinya setelah menutup kaca. Dan mobilpun bergerak maju meninggalkan halaman rumah besar milik Arman menuju ke tempat yang entah Aini akan menyebutnya apa. *** "Semuanya sudah mama persiapkan, Ar." Vina duduk di sofa diseberang putranya yang termenung sendirian. "Tidak usah menyesali apa yang terlanjur terjadi. Ini memang langkah terbaik yang seharusnya kamu ambil. Selagi masih muda, dan masih mampu melakukan banyak hal. Dia tidak boleh menghambat kehidupanmu yang sungguh berharga. Cukup dia saja yang ...." "Stop Ma! Tidak cukupkah Mama menjelek-jelekkannya selagi dia masih ada disini bersama kita?" Arman memotong perkataan ibunya. "Mama tidak sedang menjelek-jelekkan Aini. Mama hanya sedang mengatakan kebenaran kepadamu." "Kebenaran macam apa yang Mama maksud? Tentang fakta dia belum bisa memberikan keturunan untuk keluarga kita?" Arman merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. "Dia tidak bisa memberikan keturunan untukmu," sergah Vina. "Belum, Ma. Pernikahan kami bahkan baru berumur tiga tahun. Dan itu belum cukup untuk ...." "Sudahlah, Mama mau bertemu Anggi. Dia sudah berada di butik untuk memilih gaun pengantinnya." Vina bangkit, meraih tas mahal pemberian calon mantu kesayangannya itu. "Ma, ini baru dua hari setelah perceraian. Aku bahkan belum sempat untuk mengeluarkan barang-barang Aini." "Tidak perlu. Dia tidak akan membutuhkannya. Lagipula, dimana dia akan menyimpan semua barang-barang ini? Dia bahkan tidak memiliki rumah." Vina membenahi penampilannya. Arman merasakan sesuatu didalam dadanya diremas dengan keras. Mengingat keadaan mantan istrinya yang kini sendirian. Mantan. Perempuan itu seorang yatim piatu. Ayahnya meninggal saat usianya baru delapan tahun. Lalu ibunya menyusul sepuluh tahun kemudian saat dirinya baru saja lulus sekolah menengah. Meninggalkannya berjuang sendirian demi hidup dan pendidikan, juga keinginan mewujudkan cita-citanya. "Oh Aini, sekarang kamu sendirian lagi. Maafkan aku yang lemah ini," batin Arman dengan penuh sesal. *** Dan disinilah Aini, di depan sebuah kos kosan sederhana tak jauh dari perkotaan. Sebuah kamar yang tak lebih besar dengan kamar miliknya di rumah Arman. Dengan fasilitas seadanya, yakni sebuah tempat tidur, lemari plastik, dan kamar mandi kecil di ujung ruangan. Yang akan menjadi tempatnya bernaung untuk beberapa bulan kedepan. Perempuan itu meletakan koper dan travel bag, dua barang yang dibawanya dari rumah. Lalu duduk di pinggir tempat tidur. Air matanya kembali mengalir menemani dirinya meratapi kesedihan yang semakin terasa menyiksa. Tanpa siapapun yang mendukung dan menyemangati. Kini dia benar-benar sendirian. Ternyata dirinya tak cukup hanya menjadi istri yang baik. Yang menuruti perintah suami, berbakti dengan segenap jiwa dan raga. Dan mengorbankan apa yang dia cita-citakan demi mencurahkan segala perhatiannya untuk satu-satunya keluarga yang dia miliki. Arman, dan juga Vina tentunya yang berusaha dia anggap sebagai ibunya sendiri walau dia tahu, penolakan keras kerap ditunjukkan perempuan itu sejak awal pernikahan mereka. "Baiklah Mas, aku tidak akan menahanmu. Jika memang itu yang diinginkan Mama, maka tak ada lagi yang bisa aku pertahankan. Mamamu lebih berharga dari segalanya, itu sebabnya kamu tidak pernah membantah apalagi membelaku. Tidak apa-apa, Mas kewajibanmu untuk berbakti kepada Mama, karena surgamu ada padanya. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagimu untuk berbakti kepada orang tuamu. Cukup tiga tahun aku merasakan perihnya hidup dalam kendali Mama, ditambah cibiran karena aku belum mampu memberikanmu keturunan. Maafkan aku karena ingin menyerah." Dia masih ingat ucapannya terakhir kali sebelum Arman menjatuhkan talak kepadanya satu bulan sebelumnya. Walau pria itu mati-matian menolak, namun dirinya sudah merasa cukup. Sikap Vina semakin hari semakin membuatnya tak lagi memiliki kesabaran. Ditambah kehadiran perempuan lain dari masalalu Arman yang sengaja dibawa oleh Vina kedalam rumah tangga mereka memperjelas semuanya. Menegaskan bahwa betapa ibu mertuanya tersebut ingin menyingkirkan dirinya. "Ah, Tuhan ... Mengapa dulu dia menginjinkan kami bersama jika akhirnya tetap seperti ini? Seburuk itukah aku dimatanya? Hanya karena aku belum bisa memberi keluarga mereka keturunan?" Aini tergugu. Dia menekuk kakinya hingga menempel dengan d**a. Menahan rasa perih dihati yang terus menyeruak memenuhi kalbunya. *** Aini merapikan pakaian sebelum keluar dari kamar kost miliknya. Celana hitam panjang dengan kemeja berwarna putih sebagai seragam untuk melamar kerja. Tidak lupa mengikat rambut sebahunya ke belakang agar lebih rapi. Setelah membubuhkan bedak tipis, sedikit blush on dan lipstik berwarna natural, diapun keluar. Menyongsong hari baru sebagai seorang janda. Hidup sendirian dikota Bandung tanpa sanak saudara yang dia kenal selain teman-temannya yang bersama saat mengenyam pendidikan di akademi keperawatan. Sudah satu minggu sejak dirinya angkat kaki dari rumah Arman, sang mantan suami. Uang yang dia miliki semakin menipis, dan dipastikan akan habis dalam beberapa hari. Sementara janji Arman yang akan mengantarkan hak nya tak kunjung tiba. Dia ingin menghubungi pria itu, untuk sekedar menanyakan haknya yang dia miliki selama masa pernikahan, namun Aini merasa malu. Terlebih lagi dia malas untuk kembali behadapan dengan Vina, sang mantan ibu mertua. Sebuah klinik persalinam dia datangi setelah mendapat panggilan atas surat lamaran yang sudah dia kirimkan satu bulan yag lalu. Tentu saja dirinya melamar sebagai perawat. *** Interview dia jalani dengan lancar tanpa hambatan. Sepertinya hal ini dimudahkan baginya, dan dia bersyukur. Aini tinggal menunggu hasilnya beberapa hari kedepan. Perempuan itu memilih untuk duduk di sebuah kursi taman kota yang siang itu mulai ramai. Dirinya kembali mengenang saat-saat indah dimana dia dan Arman saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Disana, ditaman itu yamg menjadi saksi juga pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Yang kemudian mengantarkan dirinya pada keputusan paling besar dalam hidupnya. Yaitu menikahi Arman, yang waktu itu masih sebagai pekerja magang di sebuah pabrik textil terbesar di Bandung. "Hati-hati ...." Terdengar suara berat namun lembut dari samping tempat Aini duduk. Dia menoleh. Tampak seorang pria yang kira-kira berusia 35 tahun tengah membantu seorang perempuan turun dari kursi roda, kemudian berpindah pada kursi taman di pinggir kolam. "Sudah nyaman?" Pria itu bertanya, dia berjongkok di depan perempuan itu, yang kemudian mengangguk pelan. Mungkin mereka suami istri? Sang pria kemudiam duduk disampingnya, merentangkan tangannya dibelakang perempuan itu, seolah menjaganya dari hal buruk. Sungguh pemandamgan manis ketika sang pria meraih tangan istrinya, lalu menggenggamnya dengan erat. Dan mereka mengobrol sambil sesekali tertawa bahagia. Aini menatap iteraksi tersebut dengan kagum. Ada rasa haru yang menyeruak, melihat bagaimana pria tersebut memperlakukan istrinya dengan sangat baik dan terlihat penuh cinta. "Oh, ... Apakah aku akan menemukan pria sebaik itu? Yang bisa menerimaku dengan baik? Dengan segala kekurangan yang aku miliki?" Batin Aini. "Mas Arman, mengapa kita harua seperti ini disaat aku ingin tetap berjuang? Tapi kamu malah menyerah dan berpaling?" Hati Aini kembali berbicara. "Bangkitlah Aini, hentikan kesedihanmu hanya sampai disini. Tinggalkan segala hal menyakitkan bersama masa lalu. Kini saatnya menyongsong hari baru. Sebagai Aini baru dan kehidupan baru." Sisi hatinya yang lain ikut berbicara. Aini menyeka sudut matanya yang basah. Lalu bangkit dari kursi, kemudian memutuskan untuk pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD