Karina menatap gerbang sekolah di depannya. Ia berhenti tepat ketika berjarak lima meter dari gerbang itu. Ia hanya ingin sejenak merapikan seragam batik sekolahnya yang ia pakai, kemudian membenarkan letak sabuknya. Selanjutnya ia merapikan rambut panjangnya dengan jari tangannya sendiri.
Karina mengulas senyumnya. Ia hanya ingin terlihat serapi dan secantik mungkin. Kini gadis itu kembali menatap gerbang sekolahnya, em, tepatnya menatap sosok cowok yang tengah berdiri menertibkan murid yang tidak memakai atribut seragam sekolah mereka dengan lengkap.
Jun ada di sana dengan anggota OSIS lainnya. Sepertinya hari ini cowok itu kebagian jatah untuk menjaga gerbang seperti itu dengan guru piket. Tadi pagi Karina mengirimkan pesan pada cowok itu untuk berangkat terlebih dahulu bersama Jena. Seperti biasa pula Karina menolak ajakan Jena untuk berangkat bersama mereka ke sekolah.
Alasannya satu. Hanya karena ia tidak ingin Jena maupun Jun mengetahui tentang kebenaran rumah milik Karina itu.
Dengan cepat, Karina melangkah mendekati gerbang kemudian tersenyum lebar saat matanya bersiborok dengan mata Jun.
"Jun," sapanya.
Jun yang tengah mencatat siswa tidak beratribut lengkap di depannya itu menoleh. Kemudian menemukan Karina berdiri tepat di sampingnya. Cowok itu sontak mengulas senyumnya.
"Oh, Hai Rin," balas Jun.
Karina menatap orang-orang di dekat Jun dengan acak, ia bingung apa yang harus ia katakan. "Lagi piket?"
Akhirnya hanya kalimat itu yang dapat ia keluarkan dari bibirnya. Karina merutuki dirinya sendiri yang tampak bodoh.
Jun mengangkat sebelah alisnya. "Iya. Tapi sebenarnya hari ini gue gak piket jaga, entah tiba-tiba gue bisa berakhir di sini," candanya. Cowok itu terkekeh sendiri.
Karina hendak menyahuti perkataan Jun, namun ucapannya tiba-tiba disela oleh seorang cowok yang entah sejak kapan sudah berada di samping Jun.
"Ini anak baru itu, ya?"
Cowok itu yang juga anggota OSIS tersenyum lebar di depan Karina. Lalu dengan percaya dirinya mengulurkan tangannya ke hadapan gadis di depannya itu.
"Gue Zaldi," katanya lagi dengan menampakkan deretan gigi putihnya.
Jun menyenggol bahu Zaldi. "Apaan sih, Zal!"
Karina yang tadinya bingung namun dengan sekejap mengubah raut mukanya. Gadis itu menatap uluran tangan Zaldi dan dengan cepat menyambutnya. "Karina."
Zaldi menarik kembali tangannya dengan senyum lebar. "Karina? Namanya secantik orangnya," ucapnya dengan santai. Lalu cowok berambut cepak itu mengerling tiba- tiba. "Ternyata bukan cuma rumor aja kalau si anak baru itu cantik banget."
Karina yang mendengar hal itu hanya diam saja sembari tersenyum canggung. Ia bingung harus menanggapi apa.
Jun menggelengkan kepalanya kemudian mendorong pelan bahu Zaldi. "Dasar lo, ya!"
"Lo yang dasar! Ada cewek secantik ini gak dikenalin ke gue." Zaldi tidak terima dan gantian mendorong bahu Jun. Lalu terkekeh seiring Jun yang ikut tertawa.
"Udah, jangan didengerin, Rin. Buruan masuk, nanti telat," ucap Jun pada Karina. Ucapannya sangat tegas seolah menyuruh Karina tidak terpengaruh akan godaan Zaldi.
Karina yang tadinya tengah menatap Zaldi itu kini beralih menatap Jun dan tersenyum. Ia mengangguk pelan.
"Jena, Pina sama Rehan udah di dalam. Sana." Jun tersenyum lebar. "Nanti gue nyusul."
Karina lagi-lagi mengangguk. "Oke." Dengan cepat gadis itu melangkah meninggalkan tempat itu. Memasuki sekolah diiringi dengan teriakan keras dari Zaldi di belakangnya.
"Dah anak baru! Eh, dah Karina!"
Karina sudah tidak menghiraukan lagi apa yang diucapkan oleh Zaldi itu. Ia terus berjalan sembari mengumbar senyumnya lebar. Namun sedetik berikutnya Karina menghentikan langkahnya sendiri. Ia berhenti di lorong lobi sekolah yang terhubung dengan gerbang sekolah. Dengan perlahan ia menyentuh d**a kirinya. Tepatnya merasakan debaran kencang dari balik rongga tulangnya.
Karina dengan seketika membalik badannya dan memandang Jun yang masih terlihat dari tempatnya berdiri itu. Jun tengah sibuk memeriksa atribut murid-murid yang melintasi gerbang itu.
Dengan tangannya yang masih memegangi tepat di d**a bagian kirinya, Karina tersenyum lebar memandang Jun dari kejauhan.
"Gue ... suka sama Jun?"
Benarkah?
***
Semua murid di kelas sebelas IPS 4 terdiam. Hening, tanpa suara satu pun. Mereka menunduk dalam diam dan fokus mengerjakan kuis yang diberikan oleh guru Akuntansi mereka. Meskipun mereka bingung dan tak mengerti jawaban apa yang harus mereka tulis, tetap saja mereka tidak boleh menanyakan apapun pada teman di kanan maupun kirinya. Mereka pasrah, dengan jawaban seadanya dari otak mereka.
"Lima menit lagi soal kuisnya dikumpulkan ke depan!"
Seruan itu berasal dari Bu Yanti, guru Akuntansi itu. Bu Yanti menurunkan kacamata bacanya sebatas hidung, lalu mengedarkan tatapannya ke seluruh penjuru kelasnya. Mencari mangsa murid yang ketahuan menyontek atau mengobrol dengan temannya. Namun saat ia tidak menemukan mangsanya, wanita paruh baya itu kembali membaca buku di hadapannya.
Jena mengerut dahinya dalam- dalam sembari mengerjakan soal kuisnya. Ia sejak tadi mencoba mengingat- ingat tentang rumus Harga Pokok Penjualan yang ia sudah lupa itu. Namun sejauh apapun ia mengingat, tetap saja Jena tidak menemukan jawabannya. Mata gadis itu menoleh ke samping kanannya. Tepatnya menatap ke meja Jun.
Cowok yang hari ini telat masuk ke kelas mereka itu tengah fokus menuliskan jawabannya ke lembar jawabannya. Bahkan tanpa menengok ke manapun, Jena sudah tahu kalau Jun dapat mengerjakan lima soal kuis itu dengan mudah. Tidak seperti dirinya yang harus kesusahan seperti ini.
Jena menggelengkan kepalanya, gadis itu kembali fokus pada jawaban kuisnya. Kali ini ia mencoba kembali mengingat dengan lebih keras, dan perlahan-lahan ia dapat mengingatnya. Dengan cepat gadis itu menghitung lagi, kemudian menuliskan jawabannya.
"Waktu habis!"
Jena berjengit mendengar seruan dari Bu Yanti itu. Ia melirik jam tangannya yang ternyata memang menunjuk angka yang sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Bu Yanti itu.
"Kumpulkan cepat, jangan telat! Kemudian kita bahas bersama." Bu Yanti kembali berseru di depan kelas. Matanya kembali mengedar.
Seiring seruan itu, seluruh murid di dalam kelas bangkit dan bergegas mengumpulkan lembar jawaban mereka, termasuk Jena.
Jena menjambak rambutnya sendiri ketika kembali duduk di kursinya. "Mati gue!" desisnya geram.
Jun melirik Jena yang tengah bereaksi seperti itu. Kemudian terkekeh meledek. "Baru kuis doang, Jen, gimana nanti kalau beneran ujian?" Jun memeletkan lidahnya.
Jena mendelik gemas pada Jun. Ia gemas ingin menjambak rambut cowok itu sebagai ganti dibanding menjambak rambutnya sendiri. Fina, Rehan, dan Karina yang memperhatikan interaksi keduanya ikut terkekeh.
"Lo gak sendirian." Fina menepuk pundak Jena di sebelahnya.
Jena pura-pura menangis dan bersandar pada bahu Fina. "Untung ada lo."
"Jun, coba kerjakan soal tanggal satu Maret!"
Seruan tiba-tiba dari Bu Yanti itu membuat Jun yang masih meledek Jena sontak menoleh. Cowok itu mengangguk dan melirik teman-temannya sebelum akhirnya bangkit berdiri. Dengan santai ia maju ke depan kelas. Kemudian menulis jawaban di papan tulis.
"Betul!" Bu Yanti berseru melihat jawaban yang ditulis Jun. "Tanggal satu uang dianggap sebagai Pendapatan sebesar lima juta rupiah."
Jun tersenyum kemudian kembali ke tempat duduknya. Ketika ia sampai di tempat duduknya, Rehan langsung mengajaknya high-five. Bahkan Rehan tidak sepandai Jun yang langsung mengetahui jawaban dalam waktu kurang dari satu menit.
"Karina, kerjakan tanggal dua Maret!"
Seruan itu kini membuat seluruh mata di dalam kelas menatap Karina. Mereka terkejut karena mendengar Bu Yanti yang biasanya hanya memanggil murid yang pandai di kelas itu, ikut memanggil Karina.
"Kenapa? Kalian gak tahu kalau Karina di sekolah lamanya itu sering juara kelas?" Bu Yanti yang mengerti akan keterkejutan seluruh siswa di kelas akhirnya menjelaskan.
"Kelas kalian sekarang mendapatkan saingan untuk Jun."
Jena, Fina, Rehan, dan Jun sontak menoleh bersamaan pada Karina.
"Wih!"
"Wah, Karina?" Jun tersenyum lebar menatap gadis itu. Ia tidak menyangka bahwa Karina ternyata salah satu murid pandai di sekolah lamanya.
"Kita bakal saingan?" Jun terkekeh meledek Karina.
Karina yang memeroleh banyak perhatian itu hanya dapat tersenyum canggung. Ia melirik Jena dan Fina yang duduk di kursi depan mejanya itu tengah membalik badan mereka demi menatapnya.
"Silakan maju, Karina." Bu Yanti tersenyum lebar dan mengacungkan spidol untuk memanggil Karina.
Karina bangkit dari duduknya dan tersenyum kikuk. Dengan perlahan ia maju ke depan dan mengambil spidol dari tangan Bu Yanti. Karina mulai menuliskan jawaban di papan tulis, menulis tepat di bawah jawaban Jun. Berikutnya, gadis itu segera menjauh dari papan tulis agara seluruh murid di kelasnya dapat melihat jawaban yang ia tulis.
Bu Yanti melangkah mendekat ke arah papan tulis untuk melihat hasil jawaban Karina. Kemudian ia segera berseru setelah mengetahui jawaban Karina. "Betul!"
Tepat setelah itu, seluruh murid di kelas itu bertepuk tangan meriah. Bahkan ada yang bersiul menambah kemeriahan. Tepukan tangan itu makin meriah saja. Karina tersenyum ke arah seluruh murid di kelasnya yang bertepuk tangan padanya itu. Senyumnya makin lebar ketika ia melihat bahwa keempat teman dekatnya itu termasuk Jun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum padanya. Jun bahkan mengacungkan jempolnya pada Karina, yang makin membuat gadis itu salah tingkah.
"Di kelas ini jarang cewek cantik yang pandai seperti kamu, makanya mereka tepuk tangan." Bu Yanti bercanda di depan kelas membuat seluruh siswi di kelas itu mengeluh.
"Benar, 'kan?"
Bu Yanti yang sekaligus wali kelas mereka itu memang biasa bercanda. Di samping memang wajahnya yang selalu serius jika menyangkut Akuntansi, namun ia masih bisa bercanda.
"Nanti istirahat kamu temui saya di kantor guru, ya. Sekarang kamu boleh duduk," sambung Bu Yanti lagi sembari tersenyum lebar.
"Baik, Bu."
***