Seharian Jun terus memikirkan Jena. Ketika gadis itu tiba-tiba kesakitan seperti itu, lalu saat akhirnya Jena izin untuk pulang terlebih dahulu. Yang makin membuatnya terpikirkan Jena adalah karena gadis itu mematikan ponselnya seharian. Jun sudah mencoba menghubunginya berulang kali namun tetap saja tak mendapatkan hasil. Jena masih berkeras kepala tak mau menerima panggilan dari siapapun.
Jadi seharian ini Jun tak bisa bertanya pada siapapun. Meskipun ia sangat penasaran apa yang dilihat Jena itu yang membuat gadis itu berhalusinasi.
Maka akhirnya, setelah ia pulang ke rumahnya pada pukul delapan malam -karena seharian harus rapat OSIS dan mengurus Ekskul Dance-nya- Jun mendatangi rumah Jena. Cowok itu mengetuk pintu rumah Jena berulang kali hingga akhirnya dibuka.
Jena muncul dari balik pintu yang dibukanya itu, menatap Jun dengan wajah terkejut. "Jun?"
Jun tersenyum lebar di depan Jena. Tangannya terangkat sembari menenteng sekantung kresek putih yang sedari tadi ia bawa. "Gue boleh masuk?"
Jena mengerjap dan akhirnya menarik sudut bibirnya. Gadis itu mengangguk dan tanpa mengucap kalimat lain lagi, ia segera membuka pintu itu semakin lebar.
Mendapat sambutan yang baik, Jun ikut melebarkan senyumnya. Cowok itu segera masuk ke dalam rumah Jena. Ia melangkah pelan, dan langsung masuk ke ruang tamu rumah itu, kemudian duduk di sofanya. Jun sudah terbiasa bermain ke rumah Jena, entah ketika hanya sekadar main atau ingin mengerjakan tugas. Sehingga cowok itu sudah tidak asing lagi dengan rumah Jena, dan tak perlu malu-malu di sana.
"Lo gak ngabarin mau main." Jena menundukkan pandangannya ketika mengucapkan kalimat itu. Ia lebih memilih memandang kakinya dibanding memandang wajah tampan cowok di depannya itu.
"Gimana caranya gue mau ngabarin lo kalau chat gue aja gak lo balas. Hape lo seharian gak bisa dihubungin." Jun terkekeh pelan. Ia menatap Jena yang masih menunduk itu. Kemudian ia tahu kalau saat ini Jena tengah menghindarinya.
Cowok itu segera mengalihkan tatapannya. Ia memperhatikan sekitarnya. "Tante Marlina sama Om Riko di dalem?" tanyanya mencoba menarik perhatian Jena. "Nenek?"
Jena tampak terkesiap, kemudian mengangguk ketika mengerti pertanyaan Jun. "Iya, mereka di dalem."
Jun yang tadi menatap ke arah dalam rumah Jena kini mengalihkan tatapannya. Ia menghela napasnya pelan. Matanya memperhatikan Jena yang masih menunduk itu. Jena memang selalu menyembunyikan apapun yang menurutnya tak perlu disampaikan pada Jun rapat-rapat. Gadis itu paling pintar menyembunyikan perasaannya. Apalagi ketika Jena hanya memberinya tatapan datar tanpa ekspresi sehingga sulit untuk ditebak, makin sulit lah posisi Jun.
"Lo udah mendingan? Katanya badan lo lagi kurang enak tadi." Jun menatap Jena lekat.
Sedangkan gadis itu masih menunduk, tak menoleh sedikit pun.
"Iya." Jena hanya menjawab pertanyaan Jun dengan kalimat singkat.
Jun menyatukan alisnya. "Lo belum puas hindarin gue seharian?" Jun akhirnya tidak betah berbasa-basi. Cowok itu tidak ingin waktunya di sana sia-sia.
Jena yang menunduk kini hanya menggumam tak jelas, membuat Jun lagi-lagi menghela napas.
"Jen?" panggil cowok itu.
Jena pada akhirnya mendongak. Lalu menatap Jun dengan perlahan. "Heum?"
Jun memberinya tatapan prihatin. Cowok itu melihat kantung hitam di bawah mata gadis itu, yang menandakan bahwa Jena pun tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi tadi siang. Jena pasti terus memikirkannya, sama seperti Jun.
"Lo harus cerita apa yang lo lihat tadi siang, Jen," lirih cowok itu.
Jena menatap Jun lurus-lurus. Kemudian ia mencoba menarik sudut bibirnya. "Gue gak apa-apa, kok. Bukannya udah gue bilang kalau gue cuma halusinasi biasa?"
Jun berdecak kesal. "Lo tahu 'kan kalau lo gak bisa bohongin gue, Jen," sergahnya. Namun berikutnya ia mencoba mengendalikan emosinya. Jun mengulum bibirnya. Cowok itu memajukan tubuhnya dan memperhatikan wajah tirus Jena dengan seksama. "Kalau ada apa-apa lo harus cerita ke gue. Ya?"
Jena mengangguk berulang kali. Lalu tersenyum sembari berkata, "Iya."
Di saat itu lah Jun makin melebarkan senyumnya. Semakin ia memikirkan lagi apa yang terjadi pada Jena, bahkan ketika ia telah berusaha keras membujuk Jena untuk bercerita, Jun tidak ingin Jena tertekan. Jika ada yang harus Jena katakan dan ceritakan, pasti gadis itu akan melakukannya tanpa diminta. Jadi seharusnya ia tidak perlu memaksa Jena lagi. Dan hal itu juga lah yang sebenarnya ingin Jun katakan pada Jena sekarang.
"Cuma itu doang yang ingin gue bilang ke lo." Jun kini kembali memundurkan tubuhnya. Sambil mengangkat sekantung kresek putih ke atas meja di hadapan Jena, Jun kembali berujar, "Gue gak bawa banyak, tapi bisa lo makan kalau lagi gabut. Lo 'kan suka keripik kentang."
Jena terkesiap kecil. Ia menatap Jun yang kini mulai beranjak dari duduknya. Kini ia mulai dihinggapi rasa bersalahnya pada cowok itu. Ia merasa bersalah karena membuat Jun selalu menunggunya.
Namun Jena juga bukan seseorang yang pandai menyampaikan sesuatu yang ia rasa. Apalagi perihal sesuatu yang belum jelas kebenarannya itu. Ia hanya takut kalau Jun tidak akan percaya apa yang ia lihat hari itu. Kemudian cowok itu malah menertawainya dan menyebutnya aneh.
"Gue balik dulu."
Namun-
"Jun."
-Jena tidak ingin begitu saja membuat Jun terus menunggunya.
Jun terkejut mendengar Jena memanggilnya. Dengan cepat ia menoleh dan menatap Jena di tempat duduknya. "Ya?"
"Nanti ... Nanti gue bakal cerita semuanya sama lo," ucap Jena cepat dan mendongak menatap Jun dengan senyuman.
Bagai mendapatkan angin sejuk, Jun tersenyum lebar menatap Jena. Cowok itu mengangguk antusias, lalu berucap, "Iya. Gue tunggu."
Lalu setelah mengucap kalimat itu, cowok itu segera beranjak dan dengan cepat kembali menuju pintu ke luar. Jun berjalan ringan tidak seperti ketika tadi ia masuk.
Jena hanya tersenyum menatap cowok itu perlahan menjauh dan menghilang di balik pintu.
Setelah ini, ia harus menceritakan semuanya pada Jun. Dari awal sampai akhir. Iya, harus.
***
Jena menatap layar televisi di depannya dengan tidak berminat. Sedari tadi gadis itu hanya memencet-mencet tombol di remot dan tak berniat menetap menonton salah satu salurannya. Ia terpikirkan banyak hal. Tentang sosok yang dilihatnya hari itu dan juga tadi siang, lalu ... Jun.
Tadi saat Jun pulang ke rumahnya, Jena akhirnya menyalakan kembali ponselnya dan menemukan banyak sekali pesan yang masuk. Dari Fina, Karina, Jun, bahkan Rehan. Jena sampai bingung melihat Rehan mengiriminya pesan pribadi, karena selama ini mereka jarang bertukar pesan hanya berdua seperti itu. Mereka kebanyakan menanyakan perihal keadaan Jena.
Namun pesan yang paling banyak adalah dari Jun. Cowok itu bahkan beberapa kali meneleponnya. Yang hal itu langsung menambah rasa bersalah Jena. Ketika Jun makin peduli padanya, terkadang Jena pun makin takut.
"Kamu kalau gak niat nonton, mending matiin aja tv-nya."
Jena mendongak dan melirik mamanya yang tadi hanya melintas di depannya itu. Mamanya tengah menuntun Nenek Jena dari arah kamar mandi untuk kembali ke kamarnya. Saat Jena bertemu pandang dengan neneknya itu, neneknya melambaikan tangannya dan memanggilnya. Namun bukan menggunakan panggilan nama Jena, melainkan nama orang lain. Nama yang selalu dipanggil Sang Nenek untuk Jena. Andjani.
Jena yang tadinya menyangga dagunya dengan malas sembari menyandar pada sofa, kini serentak menegakkan tubuhnya. Matanya melebar ketika menyadari sesuatu. Gadis itu teringat sesuatu, bahwa nama itu adalah nama yang sama dengan yang dipanggil oleh sosok itu. Sosok yang berwajah Jun namun bukan Jun itu.
"Ma!"
Marlina terkejut saat baru saja menutup pintu kamar ibunya itu dengan pelan. Dengan cepat ia membalik badan dan mendapati Jena yang duduk berbalik arah di sofa untuk memandangnya.
"Apaan?" tanya Marlina dengan kesal. Ia masih merasakan jantungnya berdetak kencang tadi. Lalu selanjutnya ia berjalan mendekati Jena.
Jena menepuk tempat kosong di sampingnya itu. "Ada yang pengen Jena tanyain."
Marlina mengedik bahunya acuh sembari merebut remot televisi dari tangan Jena. "Tanya aja."
Jena menyentuh lengan Mamanya. "Mama inget kalau Nenek selalu panggil Jena dengan nama lain?" tanyanya dengan raut serius.
Mamanya itu masih fokus pada saluran televisinya. Kemudian hanya mengangguk pelan. Jena kembali melanjut kalimatnya.
"Mama tahu siapa Andjani itu?"
Marlina sontak menoleh dan memandang Jena. Ia dengan pelan menatap anak gadisnya itu sembari mencoba mengingat sesuatu. Namun selanjutnya ia menggeleng dengan santai. "Enggak."
Jena menghela napasnya. "Kok Mama gak tahu?" tanyanya kesal.
"Ya memangnya Mama harus tahu semuanya tentang Nenek kamu?" Marlina terkekeh kecil dan kembali menonton televisi di depannya yang menampilkan sinetron kesukaannya. "Lagian kamu ngapain tanya itu? Tumben."
Jena mencebik bibirnya. Kemudian mengalihkan tatapannya dan ikut menatap televisi. "Kirain Mama tahu. Jena penasaran aja siapa Andjani itu, karena Nenek selalu panggil nama itu."
Marlina kini menatap Jena. "Selama ini Nenek kamu panggil nama orang lain gak sesuai dengan orangnya, kamu tahu 'kan?"
Jena mengangguk dalam diam. Ia tahu itu. Selama ini neneknya selalu memanggil siapapun dengan nama asal. Bahkan nama yang tak pernah ia tahu sekalipun, dan bukan hanya Jena saja yang mendapat nama asing.
Ia tahu kalau neneknya itu demensia ringan, dan terlebih selama ini neneknya sakit, masih trauma atas apa yang terjadi pada masa lalunya.
"Jangan tanya apapun ke Nenek kamu. Tahu sendiri 'kan apa yang bakal terjadi sama Nenek kalau sampai kita ungkit tentang itu?" Marlina kembali menyambung suaranya.
Jena kini menatap balik mamanya. Kemudian tanpa mengucap apapun, ia menganggukkan kepalanya berulang kali. Jena kembali menatap televisi di depannya.
Ia tahu kalau neneknya itu sakit dan tidak boleh menanyakan apapun terkait masa lalu neneknya. Ia tahu apa akibat yang akan didapatkan saat akhirnya Jena menanyakan hal itu.
Namun ... tetap saja Jena penasaran tentang Andjani. Wanita yang memiliki nama sama dengan yang dipanggil sosok itu.
Siapa sebenarnya Andjani?
***