"Aaa!" Jena meremas d**a kirinya itu mencoba agar mengurangi sakit yang menderanya. Matanya terpejam rapat. Jena tidak dapat mendengar apapun lagi sekarang, telinganya berdengung kencang, dan jantungnya sangat sakit. Jena benar-benar kesakitan. Ia sudah jatuh sepenuhnya ke dalam dekapan Jun.
"Jen! Jena!" Jun kelabakan di tempatnya. Ia sudah menangkap tubuh Jena sepenuhnya. Kemudian cowok itu bangkit untuk duduk sembari mencoba menatap Jena. "Jen, lo kenapa? Sakit? Sakit banget?!" tanyanya dengan nada yang makin panik.
Jena yang kini sudah ikut beranjak untuk duduk itu perlahan membuka matanya. Ditatapnya wajah Jun yang juga tengah menatapnya itu. Mendadak dan secara ajaib, sakit yang tadi menyerang jantungnya itu sudah menghilang. Jena hanya masih merasakan bekas denyut jantungnya yang berdetak kencang, dan kini kian melambat, namun tidak ada lagi sakit yang teramat itu. Tidak ada lagi rasa sakit bagai ditembaki berbagai macam peluru itu di jantungnya.
Aneh. Jena merasa ada yang tidak beres sekarang.
"Jen?" Jun mengibaskan tangannya di hadapan gadis itu. Kemudian perlahan memegangi bahu Jena dan mengelusnya pelan. "Masih sakit? Mau ke UKS?" tanya Jun lagi dengan raut yang masih panik.
Sedangkan Jena malah terdiam, mematung. Baru ketika Jun mengelus bahunya untuk ke sekian kali dan ia dapat merasakannya, Jena mulai tersadar dari lamunannya. Ditatapnya kembali wajah Jun. Tidak ada pemuda berpakaian batik dan mengenakan blangkon itu lagi. Yang ada di hadapannya hanya Jun, sahabatnya yang mengenakan seragam batik sekolahnya yang berwarna hijau putih itu. Jun yang berambut hitam dengan poni pendek menutupi dahinya itu. Jun yang Jena kenal selama ini.
"Jena?"
"Hah?"
Jena mengerjap. Ia kini sepenuhnya sadar dari lamunannya. Gadis itu perlahan mengulas senyumnya.
"Kita ke UKS, ya?" Jun mulai mengelus dahi Jena yang dipenuhi peluh itu. "Heum?"
Jena menggelengkan kepalanya. "Enggak. Gue gak apa-apa, kok," balasnya dengan senyum lebar.
Iya, setidaknya ia masih baik-baik saja. Tidak pingsan seperti hari itu. Jena masih bisa sadar sepenuhnya sekarang.
Jun menepuk bahu Jena pelan. "Lo yakin? Lo kesakitan tadi, gue khawatir lo kenapa-napa." Cowok itu masih tampak panik, namun sudah mulai menetralkan emosinya.
"Enggak. Gue gak pa-pa, Jun." Jena lagi-lagi menggeleng. "Tadi gue cuma halusinasi, dan-"
"Halusinasi?" Jun langsung memotong kalimat Jena.
Jena mendelik begitu menyadari ia baru saja keceplosan. Dengan cepat ia hendak menjawabnya, namun Jun juga tak semudah itu dikecoh olehnya.
"Halusinasi apa? Jadi lo tadi ngelihat sesuatu? Apa?" tanya cowok di depan Jena itu dengan selidik. Kemudian cowok itu kembali memegang bahu Jena.
"Cerita sama gue! Lo tadi ngelihat apa sampai kesakitan seperti itu?" Jun memberondongnya dengan pertanyaan.
Membuat Jena kelimpungan. Ia tidak bisa menjawabnya. Bahkan ia tidak mengerti apa yang barusan ia lihat itu.
"Gue ... gue gak tahu."
"Gak tahu?" Jun masih menyelidik. Cowok itu menjeda untuk selanjutnya menatap Jena lekat. Kembali memegangi pundak Jena dengan menuntut. "Jen, lo-"
"Hei, kalian!"
Ucapan Jun terputus. Sepasang sahabat itu menoleh pada sosok yang berdiri di ambang pintu aula itu. Seorang satpam berdiri di sana dengan memegangi pintunya.
"Bel sudah berbunyi, cepat masuk ke kelas!" seru Satpam itu lagi.
Jena dan Jun yang mendengar itu segera bangkit berdiri. Selanjutnya, setelah Jena mengambil kembali bukunya yang tadi sempat terlempar itu, gadis itu mulai melangkah. Sedangkan Jun yang berada di belakangnya hanya dapat memandangi punggung Jena dengan sendu. Ia membiarkan Jena melangkah lebih dahulu.
Berikutnya, cowok itu mulai melangkah menyusul Jena yang sudah menghilang di balik pintu keluar aula. Lalu ia berlari untuk mendekati Jena. Mereka berjalan bersisian menuju kelas mereka dalam diam. Jun belum berani menanyakan apapun karena ia tahu bahwa Jena masih terkejut dengan apa yang terjadi.
***
Jun memandang bangku kosong di samping kiri tempat duduknya, dengan napas yang diembuskan kasar. Bibirnya terkulum dalam menatap bangku kosong itu. Sama seperti Jun, Fina pun ikut menghela napasnya memandang bangku kosong di sampingnya itu. Bangku itu adalah milik Jena.
"Jena ke mana?"
Fina menoleh ke belakangnya ketika mendengar bisikan pelan dari Karina. Gadis itu menghela napas untuk ke sekian kalinya.
"Jena izin pulang ke rumah. Katanya gak enak badan, jadi pulang duluan." Fina menjelaskan hal itu dalam sekali tarikan napas. Selanjutnya ia kembali menatap ke depan, memandangi guru Sosiologinya yang tengah menjelaskan itu. Bahkan ia sudah tidak berselera ketika mendengarkan penjelasan itu.
Karina yang mendengar ucapan Fina itu hanya menganggukkan kepalanya. Ia ikut menatap bangku kosong Jena sejenak sebelum akhirnya ikut menoleh ke depan memandang gurunya. Diam-diam Karina berdoa dalam hatinya agar tidak terjadi apapun terhadap Jena.
Kasihan, Jena. Harus menderita sakit parah di usianya yang sangat muda itu.
***
"Jen, kamu udah mendingan?"
Marlina memasuki kamar anaknya itu dengan raut yang tampak khawatir. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat agar cepat sampai di samping ranjang Jena.
Jena yang tengah menyandarkan kepalanya ke kepala ranjang dan sejak tadi membaca bukunya itu pun mendongak kemudian tersenyum. "Ma ..."
Marlina duduk di atas kasur dekat dengan tubuh Jena yang terbaring, dan langsung mengelus rambut putri sematawayangnya itu. "Kalau capek, baca bukunya lagi besok aja, Sayang." Setelah mengucap hal itu, ia menyingkirkan buku bersampul warna oranye dari tangan Jena.
Jena terkekeh. "Tumben Mama gak suruh aku buat belajar." Kemudian ia mengelus punggung tangan Mamanya itu. "Jena gak apa-apa, Ma. Udah baik-baik aja. Tadi itu cuma pusing aja."
"Yang benar?" Marlina kembali mengelus rambut hitam Jena.
Jena mengangguk dan tersenyum. Ia tak mengatakan apapun lagi karena ia tahu kalau mamanya telah mengerti.
Sambil masih mengelus rambut Jena, Marlina kembali berujar, "Kamu itu anak Mama satu-satunya. Anak yang paling Mama syukuri hadir dalam hidup Mama dan Papa setelah bertahun-tahun kami gak punya anak. Setelah sepuluh tahun, akhirnya kamu hadir ke hidup kami."
Marlina menjeda kalimatnya untuk tersenyum. "Mama ingin kamu selalu hidup dan menjadi sumber kebahagiaan untuk kami, Sayang. Makanya ... kamu harus selalu sehat, ya, Sayang?"
Jena menganggukkan kepalanya berulang kali. Lalu gadis itu tersenyum lebar sembari menjawab, "Iya, Ma."
Beberapa detik selanjutnya, Jena berangsur memeluk mamanya itu dengan erat. Jena menghirup aroma tubuh mamanya yang sangat menenangkannya itu. Kemudian memejamkan matanya rapat.
"Makasih ya, Ma," ucap Jena dengan mata yang masih memejam.
Rasanya Jena tidak perlu lagi memikirkan apapun yang terjadi tadi siang di ruang aula itu. Mungkin belakangan ia hanya banyak pikiran saja dan malah memikirkan hal yang tak masuk akal.
Benar. Hanya itu.
***