"Karena Jun?"
Jena membelalakkan matanya mendengar pertanyaan terang-terangan itu dari Bayu. Gadis itu tak menyangka akan sejelas itu sikapnya pada Jun hari ini. Sampai-sampai Bayu menyadarinya.
"Lo tahu?" Jena menatap tak percaya pada Bayu.
Sedang yang ditatap malah terkekeh. "Bukannya udah jelas banget kalau kalian berdua itu lagi berantem, ya?" ucap cowok itu. Ia kini memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celananya.
"Terus gue lihat kalau lo mungkin aja gak nyaman nantinya jika pegang acara itu sama Jun. Ya, 'kan?"
Jena mengerjapkan matanya. Ia sebelumnya memang sering mengobrol dengan Bayu, namun lebih banyak dirinya lah yang membuka topik obrolan, sedangkan Bayu hanya menanggapi sesekali. Tak seperti kali ini. Benar-benar sangat berbeda.
"Lo ... jadi khawatir tentang gue?" Jena kini menunjuk dirinya sendiri. Kemudian terkekeh. "Seorang Bayu kini mulai khawatirin gue?" tanyanya dengan nada sangsi.
Bayu yang kini gantian mengerjap. Ia menelan ludahnya dengan susah payah.
"Eh, gue gak bermaksud begitu- Gue-"
Jena mengibaskan tangannya di depan wajah cowok itu. "Alah, lo gak usah sok pura-pura gitu deh." Ia masih terkikik geli. Bahkan saat Bayu kini sudah merona akibat diledek oleh Jena, gadis itu masih mencoba menggodanya.
"Apa mulai sekarang, hati seorang Bayu Laksono udah sedikit demi sedikit terbuka buat gue?" tanyanya tanpa rasa malu. Ia tak perlu lagi bersikap malu lagi di depan Bayu.
Bahkan ketika tak ada yang berani mendekat ke arah Bayu, hanya Jena seorang lah yang mencoba mendekat. Dan ketika Bayu hanya diam, tanpa merespon, menganggap Jena sebagai teman biasa, Jena terus berusaha untuk mengejar cowok itu.
Sekali lagi, tak ada yang berani melakukan hal itu, selain Jena.
"Gue gak ada masalah kok sama Jun. Cuman berantem biasa. Jadi lo gak perlu khawatir lagi, oke?" ucap Jena tiba-tiba memecah hening. Ia sedari tadi menatap Bayu yang masih diam dan menunduk, bingung mencari alasan lain.
Seperti seorang anak kecil yang tengah tertangkap basah melakukan hal yang tak boleh dilakukan, dan tengah diinterogasi oleh Mamanya. Ya, seperti itu.
Bayu kini mendongak, kemudian memandang Jena yang tersenyum. Ia tak pernah melihat Jena tertawa karenanya. Dan baru ia akui sekarang, bahwa ucapan Zaldi memang lah benar.
Jena ... sungguh cantik. Bahkan jauh lebih cantik saat tertawa.
"Gue balik dulu, ya. Udah sore," ucap Jena lagi ketika Bayu masih terdiam memandangnya. Jena melirik jam tangannya, dan memang saat ini ia sudah sangat terlambat untuk pulang ke rumahnya.
Ketika Jena mengangkat lagi kepalanya yang tadi sempat menunduk untuk melirik jam tangannya, Bayu masih memandangnya. Segera gadis itu kembali melempar senyumannya.
"Lo gak mungkin mau, 'kan anterin gue pulang?" candanya. Gadis itu membenarkan tali tasnya, lalu membalik badannya dan melangkah meninggalkan ruang OSIS itu.
"Dah!" seru Jena ketika telah berada di luar ruangan.
Sedangkan Bayu hanya dapat terdiam. Tanpa sempat membalas Jena yang berpamitan padanya itu. Cowok itu masih diam, bahkan ketika Jena sudah menjauh dan hilang di tikungan koridor, ia masih menatap jejak langkah Jena.
Tak sadar cowok itu menarik sudut bibirnya. Kemudian sudut bibirnya kian terangkat dan membentuk senyum sempurna.
"Ke mana aja sih gue selama setahun ini? Kenapa bisa gue baru sadar kalau Jena secantik itu?"
***
Langit mulai kehilangan sinarnya dikarenakan waktu telah menunjuk pada pukul setengah lima sore. Jena menyusuri pekarangan sekolahnya kemudian ke luar dari gerbang dengan langkah ringan. Tali tasnya ia tarik dengan erat, bagai menyalurkan rasa senang dan gemasnya. Ia senang sekali rasanya setelah mendapati Bayu sedikit demi sedikit mulai membuka hatinya untuknya. Bayu bahkan sampai peka terhadapnya yang hari ini terlihat berbeda itu, dan mengkhawatirkannya. Jena sangat senang dengan kenyataan itu.
Saat Jena sudah menyentuh jalan setapak di luar gerbang sekolahnya, ia melihat seorang cowok tengah berdiri menyandar di samping tembok luar sekolahnya. Cowok itu tampak tengah menunggu seseorang, dan begitu melihat keberadaan Jena yang juga menatap ke arahnya, cowok itu segera beranjak menegakkan tubuhnya. Ia tersenyum menatap Jena.
Seperti yang sudah diduga, cowok itu adalah Jun.
Jena mengalihkan tatapannya, kemudian kembali berjalan. Tanpa membalas senyuman Jun itu, segera ia melintas begitu saja di hadapan cowok itu. Bertingkah pura-pura tak melihat Jun, namun tentu saja tak bisa. Nyatanya Jun tahu kalau Jena telah melihatnya tadi.
Gadis berambut lurus sepinggang itu berjalan dengan cepat. Ia tahu kalau Jun mengikutinya, dan langkah kaki cowok itu terdengar sangat cepat menyusulnya. Benar-benar membuntuti Jena dalam diam.
Saat Jena mulai kelelahan berjalan dengan cepat, ia kini berhenti melangkah. Lalu ia pun mendengar langkah kaki cowok yang di belakangnya itu ikut berhenti mengikutinya.
Karena geram, akhirnya Jena membalik badannya, dan menatap nyalang Jun.
"Mau sampai kapan lo ikutin gue?!" Gadis itu menatap Jun dengan matanya yang melotot.
Sedangkan cowok yang ia beri pelototan itu hanya terdiam, kemudian pura- pura mengalihkan tatapannya.
"Siapa yang ikutin lo? Ini 'kan arah jalan ke rumah gue." Jun mencari alibinya.
Cowok itu mengulum bibirnya. Kemudian perlahan mulai kembali berjalan. Ia sengaja bertingkah seolah benar-benar tak membuntuti Jena. Jun berjalan melewati Jena begitu saja, lalu meninggalkan gadis itu yang masih mengatur napasnya.
"Jun!"
Tak disangka, Jena memanggilnya, hal itu membuat Jun menghentikan langkah kakinya. Dengan cepat ia membalik badannya.
Jena ternyata sudah dengan wajah memerahnya yang menahan tangis.
"Gue juga gak suka diemin lo terus," lirih gadis itu.
Matanya sudah berkaca-kaca, bahkan sedetik lagi bisa-bisa air matanya menetes. Namun dengan cepat ia mengibaskan tangan di depan matanya, berharap matanya mengering dengan cepat.
"Gue gak bohong. Gue serius. Gue beneran lihat sosok itu," sambung Jena lagi. Ia tak malu lagi kini akhirnya mengatakan kalimat pada Jun setelah berhari-hari bertahan dengan sikap dingin.
Pada akhirnya pertahanan Jena luruh. Ia akan membuat cowok itu percaya padanya. Bagaimanapun caranya. Bahkan jika perlu ia akan memohon agar Jun mau mempercayainya.
Jun masih diam. Ia hanya menghela napasnya selagi mendengar kelanjutan ucapan Jena.
"Bahkan dari semua orang yang ada di sana, bahkan ketika Mama pun gak percaya sama gue ... gue pikir lo bakal percaya saa gue." Jena berucap sambil menahan susah payah airmatanya.
Namun akhirnya airmata itu turun juga. Jena kini mulai menangis.
"Tapi- lo- gak percaya sama gue ..." Jena tersedak airmatanya sendiri. Ia menatap Jun lewat matanya yang kini mulai memburam.
"Gue berharap lo percaya sama gue dan ikut bantu gue cari jalan keluarnya ..."
Jena kini jatuh berjongkok. Ia tumpahkan seluruh airmatanya yang ia tahan itu. Gadis itu menangis sesenggukkan di tengah jalan menuju rumah mereka yang sepi itu.
"Gue ... gue ... gue cuma punya lo, Jun." Jena kembali berujar di tengah sesenggukkannya.
Bahkan ketika nantinya Jun akan menertawainya lagi, ia tak peduli. Asal cowok itu mau percaya padanya, dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi itu.
Jena masih menangis sambil berjongkok ketika ia mendengar suara tapak sepatu yang bergesekkan dengan aspal jalan. Suara itu makin mendekat ke arahnya yang masih menangis itu. Kian dekat dan berakhir ikut berjongkok di sampingnya.
Jun pada akhirnya menyejajarkan tingginya dengan Jena yang tengah berjongkok itu. Tangannya terangkat menepuk dan mengelus rambut Jena. Lalu selanjutnya cowok itu mengucap kalimat yang membuat tangis Jena berhenti.
"Gue percaya sama lo. Seperti yang lo bilang, lo cuma punya gue di sisi lo. Jadi ... artinya cuma gue yang harus percaya sama lo."
Jena mengangkat kepalanya dalam sekejap ketika mendengar perkataan Jun itu. Gadis itu masih merasakan tangan Jun yang mengelus rambutnya.
"Udah, jangan nangis lagi. Gue bilang kalau gue akan selalu percaya sama lo," sambung Jun dengan senyum meneduhkan.
Bahkan Jena pun ikut tersenyum lebar seiring dengan senyuman Jun.
Sore itu cuacanya cerah, namun agak mendung. Jena dan Jun menyadari bahwa mereka sudah terikat satu sama lain. Bahkan sejak dahulu.
***