[HAGIA]
Bagiku yang sejak remaja dilibatkan Papa dalam perusahaan, dunia bisnis merupakan arena permainan luas dan menyenangkan. Kita sebagai pemegang peran, berkuasa penuh dalam kendali permainan itu.
Terdengar sombong, ya? Aku tidak peduli anggapan orang lain terhadapku. Papa selalu membuatku ingat akan wejangannya. Bisnis harus kita kuasai sepenuhnya atau kita yang akan menjadi budaknya.
Untuk urusan si penelepon gelap yang masih menyita pikiran, aku melakukan satu langkah pamungkas yang seharusnya sudah kuambil sejak awal menerima telepon itu. Semalam, aku menghubungi Mr. X, seorang international secret agent dengan keahlian khusus di bidang teknologi informatika. Dalam hitungan jam, aku bisa tau data lelaki muda itu, lengkap dengan keluarganya, meski dia hanya menghubungiku melalui telepon umum.
Serhan Yildirim. Ah, begitu susah aku mengingat namanya di awal, karena kondisiku masih setengah sadar saat pembicaraan itu berlangsung.
Seperti dugaanku, dia seorang laki-laki muda, berusia delapan belas tahun, baru saja masuk usia dewasa. Meski demikian, aku menghargai usahanya. Hanya orang cerdas saja yang bisa menggunakan otaknya dengan baik hingga bisa menghubungiku.
Dan apa yang kubilang tadi tentang dunia bisnis adalah permainan, itu adalah kenyataan. Maka semesta kini sedang bermain-main denganku, dia menyiapkan hadiah jackpot dengan mengantarkanku tepat di mana keluarga Serhan Yildirim berada.
Mücevherler.
Harusnya aku tidak perlu terbelalak dengan kejutan ini. Lelaki muda itu sudah menuntunku sejak awal.
Sekitar pukul dua dini hari tadi, ketika Mr. X memberiku informasi tersebut, aku tertawa kencang sangkin lucunya cara semesta bermain denganku. Bagaimana mungkin aku tidak curiga dengan Serhan Yildirim mengarahkan aku ke hotel busuk ini?
Satu pekerjaanku yang saat ini harus segera diselesaikan adalah mengambil alih Mücevherler. Mr. X mengindikasikan kegagalan pertemuanku dengan Serhan Yildirim bisa jadi akibat boikot Elfaraz Mirza. Meski belum bisa dipastikan kebenarannya, namun kecurigaanku juga mengarah ke sana.
Tak mau membuang waktu, tadi pagi aku langsung mengajak Sophia bicara empat mata. Bisa kulihat gadis itu terkejut dengan ideku mengakuisisi Mücevherler. Dari cara bicaranya, seolah ucapanku adalah jawaban dari doa-doa yang dirapalkannya sekian lama. Hilman juga sudah mendapatkan informasi lengkap, bagaimana ketiga bersaudara itu mewarisi Mücevherler dari orang tua mereka.
Orang tua tewas kecelakaan di saat ketiga anak masih di bawah umur. Bisnis dijalankan oleh perwakilan keluarga, termasuk urusan keuangan, tanpa ada kontrol yang benar. Dalam waktu singkat, hotel tua terlihat semakin tua karena tidak sanggup merawat diri.
Bukannya untung tapi malah buntung, Mücevherler menanggung hutang. Terlibat dalam investasi bisnis tanpa ilmu dan pengalaman merupakan aksi bunuh diri terbodoh, menurut opini sederhanaku. Alasan standar, lagu lama, ballads of the clishé, stereotype, lame line!
Dering notifikasi masuk, kulihat sekilas, email dari Hilman. Lagi, asistenku itu telah berhasil mengakuisisi empat properti di lingkungan Mücevherler, termasuk kafe Gelata, ruang kerja outdoor-ku bersama Hilman beberapa hari lalu. Dengan kenyataan ini, aku berharap pikiran Sophia lebih terbuka dan tergerak untuk menerima tawaranku.
"Boss. You have visitors from Indonesia."
Zemheri Demir menginterupsiku. Aku memalingkan wajah dari tablet di hadapanku untuk mengarah pada lima orang tamu yang dibawa Demir ke dalam rumah.
"Thank you, Demir."
Demir mengangguk hormat sebelum kembali keluar. Sekilas kulihat Salma yang sibuk bermain sendiri di kolam renang. Terbit sepercik rasa iba karena tidak bisa menemani gadis itu.
Salah seorang dari lima pemuda bertubuh tinggi nan tegap mendekatiku.
"Selamat sore, Pak Hagia. Berikut surat tugas dari Pak Randy."
Kuambil amplop coklat dan menarik talinya. Satu bundel surat kutarik keluar, berisi data informasi yang kemarin dikirim Randy melalui email. Mereka menyerahkan passport untuk kuperiksa sendiri, karena Hilman sedang tidak ada. Satu per satu kuamati wajah dan nama mereka.
Adam, Dody, Farhan, tiga orang yang bertindak sebagai bodyguard. Penjagaku. Drake dan Daryl, dua orang kembar yang akan menjadi shadows. Bergerak seperti bayanganku. Tidak terlihat, tapi akan selalu berada di sekitarku.
"Kalian sudah paham mengenai tugas kalian, kan?"
"Sudah, Pak," jawab Adam pimpinan mereka.
"Okay. Untuk barang-barang, kalian bisa atur di kamar di lantai satu ini. Kamar saya ada di lantai dua. Dan kalian bisa langsung bekerja mulai saat ini."
Kelima pemuda terlatih itu mundur dari hadapanku. Mereka menyiapkan diri untuk mulai menjagaku.
Aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan ke ambang pintu yang membatasi antara ryang tempatku duduk dengan kolam renang di sisi belakang.
"Salma!" panggilku.
Kepala Salma menyembul dari permukaan air, tangannya berhenti mengayuh, melambai padaku.
"Kau tidak mau ikut berenang bersamaku, Tuan Hagia?"
"Tidak sekarang. Urusanku masih banyak. Kuharap kau segera menyelesaian acara main air itu. Sebentar lagi ada yang datang menyiapkan makanan."
"Benarkah?"
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Yippy, yay!"
"Cepat bersihkan tubuhmu."
"Okay, Bos!" ucap gadis nakal itu menirukan gaya Hilman. Aku tertawa saja melihat tingkahnya.
Salma berlalu ke kamar yang kusediakan untuknya. Jujur saja, aku senang dia berada di rumah ini, menjadi hiburan tersendiri melihat tingkah manja sekaligus konyolnya. Gadis itu sama sekali bukan pengganggu buatku, meski terkadang bawelnya melebihi ibuku. Di luar itu semua, gadis ini bisa kugunakan untuk menekan bila Sophia menolak tawaranku.
Kurasa sudah waktunya aku bertindak lebih masif pada Mücevherler. Kuambil ponselku dan menghubungi Hilman.
"Man!"
"Yes, Bos."
"Kirim makanan pada keluarga Yildirim. Sampaikan pada mereka, Salma tidak akan pulang malam ini. Besok aku akan mengantarnya ke sekolah."
"Siap, Bos."
Ini taktik pendekatan jitu yang selalu kulakukan setiap kali hendak mengakuisisi lahan, bangunan, dan bahkan perusahaan. Tidak hanya di Indonesia, semua masyarakat dunia pasti akan bertekuk lutut bila menyangkut urusan balas budi. Dari informasi yang kudapat semalam, Mr. X memaparkan keluarga itu terlilit hutang yang cukup besar akibat penyalah gunaan dana operasional. Hal yang sering kuhadapi dari orang-orang lemah. Mereka akan lebih mudah menyerah dan tunduk padaku jika urusannya menyangkut uang.
Siapa sih, yang menolak uang?
Papa bilang, uang layaknya aurat perempuan. Menggoda iman, dan itu adalah kebenaran hakiki yang kami yakini selama ini.
"Tuan Hagia," panggil Salma mengagetkanku.
"Ada apa?"
"Apakah setelah makan malam, aku harus pulang?"
Akh menggeleng dan tersenyum.
"Tidak perlu. Aku sudah mengabarkan Nenek dan kakakmu. Kau bisa menginap malam ini dan besok pagi aku akan mengantarmu ke sekolah."
"Benarkah?" Matanya berbinar senang. Hati anak ini sudah sepenuhnya kugenggam. Itu bagus. Toh aku tidak bermaksud jahat padanya atau keluarganya. Aku, Hagia Putra Dewangga, penolong orang-orang yang sedang kesusahan, terlibat hutang, perusahaan dalam keadaan kritis.
Bisa kurasakan senyum merekah lebar di wajahku. Aku seperti dewa penolong umat manusia. Itulah tugas yang diberikan Tuhan padaku dan keluargaku. Penolong umat manusia.
"Ya, benar. Asal kau selalu menajadi gadis baik. Aku akan memberi semua yang yang kau inginkan."
"Benarkah?" Salma mengulang tanya. Aku mengangguk meyakinkannya, dan gadis remaja itu membelalakan matanya lebar-lebar. Kemudian, begitu dia melihatku merentangkan tangan, Salma langsung menghambur ke pelukanku.
Lihat, uang bisa membeli apapun di dunia ini, termasuk kebahagiaan. Kalau ada yang berkata sebaliknya, bisa kupastikan itu karena mereka tidak punya uang.
Dalam kasus Salma, aku yakin dia merindukan perhatian lebih besar dibanding materi. Anak itu bahkan tidak mengerti nilai uang, meski dia tau nominalnya. Aku telah berniat memberikan semua yang dia mau, uang dan perhatian. Itu lebih dari cukup untuk membuat dirinya sangat bahagia. Tapi tentu saja, dia harus melakukan sesuatu untukku. Sebuah kerjasama yang adil dan menarik.
*****