[SOPHIA]
Aku baru saja pulang dan tertegun mendapati meja ruang makan penuh dengan makanan dalam porsi besar. Sependek ingatanku, Nene tidak pernah belanja makanan hingga berlebihan seperti ini. Apakah salah satu tamu kami yang melakukannya?
"Ne, buat apa membeli makanan sebanyak itu? Nene tidak sedang ulang tahun, kan?"
Nene sedang bersantai, televisi dibiarkan menyala dengan volume sangat kecil. Beliau sendiri asyik melakukan panggilan video dengan salah satu anaknya, Paman Malik. Aku duduk di sebelah Nene dan melambaikan tangan pada adik anne-ku itu.
"Itu semua pemberian, Soph."
Nene mengambil sepotong gozleme yang bertumpuk di atas piring. Aku mengikutinya. Gozleme adalah jajanan roti tipis yang kau bisa pilih isian dalamnya. Yang aku dan Nene makan berisi campuran telur, selada, daging cincang, dan jamur. Nene bilang kalau di Indonesia namanya martabak telur.
Yeah, whatever. Aku suka makan gozleme sambil minum sirup lemon dingin di kafe kampus.
"Siapa orang gîla yang membeli makanan sebanyak itu?" tanyaku.
"Kiriman dari Tuan Hagia," jawab Nene, singkat dan datar, mengambil potongan gozleme kedua.
Aku tersedak, mataku membeliak pada Nene. Tuan Hagia? Buat apa dia membeli makanan sebanyak ini?
"Salma sudah pulang, Ne? Di mana dia?"
Nene menggeleng. "Tadi sekretaris Tuan Hagia bilang padaku—siapa namanya? Hilman, ya?"
Aku mengangguk tak sabar.
"Dia minta izin agar Salma dibolehkan menginap di rumah Tuan Hagia."
Mataku membelalak lebih lebar dari sebelumnya. Menginap? Sétan apa yang merasuki Nene? Aku pulang terlambat satu menit saja bisa membuat tanduk Nene keluar dari kedua pelipisnya, eh sekarang Salma malah enak-enakan menginap di rumah orang lain. Orang yang baru kami kenal. Entah dia baik atau jahat, punya maksud tersembunyi atau tidak, kami tidak tau pasti.
"Ne! Kenapa Nene kasih izin? Kalau Salma diapa-apain, gimana? Kita nggak tau Tuan Hagia itu predator séx atau bukan!"
"Hush! Tidak baik menuduh orang sembarangan. Tuan Hagia orang baik, Nene tau itu."
"Karena dia membelikan kita makanan sebanyak itu makanya Nene menyimpulkan dia orang baik?"
Nene menoleh padaku, sesuatu yang tidak pernah kulihat sebelumnya, ada dalam sorot matanya. Terus terang, aku agak bergidik dengan tatapan mata Nene, tapi aku pun tidak sanggup memutus kontak itu. Aku ingin mempertahankan prinsipku. Biar bagaimanapun juga, kita tidak boleh mudah percaya pada orang yang baru kita kenal, kan? Apa gunanya makanan yang Tuan itu berikan jika harga yang ditukarnya adalah menghancurkan hidup adikku. Aku sungguh tidak bisa membiarkan hal ini.
"Aku mau ke rumah orang itu!" kataku tegas. Sekarang baru pukul delapan, belum terlalu malam. Langit pun masih cerah. Masih ada kesempatan untuk melakukan misi penyelamatan Salma.
Nene menarik tanganku, mengisyaratkan agar aku kembali duduk.
"Tenangkan dirimu, Soph. Nene yang akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu dengan Salma. Dia cucuku juga, kau ingat? Aku tidak akan membahayakannya."
Tapi, Ne—" bisa kurasa mataku hendak menghujan Nene tajam, untung aku segera sadar dan bergegas merotasinya. Nene adalah orang yang mengambil tanggung jawab atas aku dan adik-adikku. Tidak pantas bila aku membalasnya dengan sikap kurang ajar. Betapapun kemarahan ini menguasai dàdaku.
"Nene mau kemana?" tanyaku melihat Nene bangkit mengambil syal dan melilitnya di leher.
"Mendatangi kamar Tuan Hilman. Ayo kita bicara dengannya, supaya kau tenang."
Aku terpaksa menurut, meski dalam pandanganku kami melakukan hal percuma. Lelaki itu tangan kanan Tuan Hagia, sudah pasti menuruti perkataan tuannya, kan? Tapi biarlah ... Setidaknya aku bisa melakukan konfrontasi ke Tuan Hilman lebih dulu.
Kami mengetuk pintu kamar nomor lima di lantai dua. Kemarin aku memindah kamar Tuan Hagia ke sana, dan ternyata dia memilih tinggal di sebuah rumah sewa di pusat Tarlabaşı. Menyebalkan!
Bukan pertama kali kami mengetuk pintu kamar tamu hotel, tapi baru kali ini untuk urusan pribadi. Rasanya tidak nyaman, hanya saja tidak ada pilihan lain lagi, kan?
[HAGIA]
Si gadis kecil menyantap makanan dengan lahap. Aku sudah kenyang dengan hanya melihatnya makan. Kutinggalkan kumpir, kentang jumbo rebus yang diberi topping keju, mayonaise, dan saus, dan iskender kebab, menggunakan daging doner—daging iris tipis, ditumbuk, diberi rempa, yang baru beberapa suap masuk ke dalam lambungku. Aku lebih suka mengorek keterangan dari Salma mengenai keluarganya.
"Jadi kau punya kakak lelaki? Di mana dia? Aku tidak pernah melihatnya?"
"Maksud anda, Serhan? Yeah, secara garis darah dia kakakku," gadis itu terkekeh, menikmati daging doner yang dia beri tambahan saus lagi.
"Ya, dia."
"Sophia memaksanya kuliah sambil membantunya mengurus hotel, tapi Serhan tidak menyukai hotel kami. Menurutnya, hotel kami penyebab Baba dan Anne meninggal lebih cepat. Jadi dia memilih pergi ke Ankara sesaat setelah menyelesaikan high school-nya."
Aku mengangguk-angguk mendengar penuturan si gadis kecil. Kukira, urusan domestik tipikal hanya ada di Indonesia saja, seorang kakak mengambil alih tanggung jawab terhadap dua adik di bawah umur. Selama kuliah di Amerika, belum pernah satu kalipun aku menemui masalah dalam keluarga teman-teman berada di tipe yang sama. Well, yeah, hanya mungkin bagian kabur dari rumah saja yang sama, selebihnya tidak terlalu. Mungkin karena mayoritas teman-temanku masih memiliki orang tua lengkap. Sebagian memang hidup terpisah akibat perceraian, tapi mereka bisa masih berkomunikasi, saling berkunjung, atau yang terburuk adalah mereka tidak kenal salah satu orang tua mereka karena sejak perceraian telah dilakukan sebelum lahir. Tapi toh, salah satu dari orang tua kandung tetap mengurus mereka, kecuali Marianne Smith, dia tinggal di panti asuhan sampai usia delapan tahun sebelum diadopsi oleh pasangan tua Jack dan Lucille Smith.
Di Amerika, kasus seperti keluarga Salma akan ditangani sendiri oleh pihak Dinas Sosial. Pemerintah tidak akan membiarkan seorang kakak belia menanggung hidup dua adik, kecuali bisa membuktikan dirinya sanggup melakukan hal tersebut, dalam artian kecukupan usia, kesehatan mental, dan kemapanan finansial. Sejauh yang aku bisa lihat, Sophia belum mampu memenuhi ketiga syarat tersebut.
Ah, apapun itu, sebenarnya di luar kekuasaan pun urusanku. Kisah keluarga Salma sudah kudengar dari laporan Mr. X kemarin dan aku tidak akan mencampuri terlalu jauh. Buat apa? Tidak ada kebutuhanku di sana. Aku butuh sesuatu yang baru. Petunjuk lain dari keluarga itu, yang dapat mengarahkanku menemui Serhan. Petunjuk yang bisa mempermudah urusanku di Tarlabaşı.
"Jadi apa yang dilakukannya di Ankara?"
Salma mengangkat bahu tak peduli. "Aku tidak tau dan tidak ingin tau." Dia lalu meletakkan garpu dan pisaunya. "Sebagai anak paling kecil dan tidak memiliki suara, aku tidak peduli Serhan mau berbuat apa. Terkadang aku kasihan melihat Sophia harus melakukan banyak hal untuk kami. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan Sarhan atas keputusannya memilih pergi dari rumah. Sophia terlalu berambisi menggantikan orang tua kami, Tuan. Aku tidak menyukai hal itu, begitu pula Serhan."
Aku menangkap kegetiran dari ucapan si gadis kecil di hadapanku itu. Sikapnya tidak seperti yang biasa kulihat. Jauh lebih murung dengan gurat sedih terlintas di matanya. Entah dorongan dari mana aku meraih tangannya, menggenggamnya erat dan berharap genggamanku itu bisa menguatkan dirinya.
Mungkin yang aku lakukan ini buah dari didikan ibuku. Beliau selalu mengajarkan pentingnya berempati pada orang yang bernasib kurang beruntung. Jujur saja, aku memiliki tim CSR karena Mama sangat cerewet soal itu. Beliau juga mendirikan yayasan sebagai tempat menyalurkan jiwa sosialnya. Tidak sepenuhnya setuju, karena toh keluarga kami termasuk penyumbang pajak terbesar pada negara, juga penyumbang zakat dengan nilai tidak sedikit setiap tahunnya, tapi aku tidak bisa menentang ibuku untuk urusan yang satu itu. Semata-mata karena aku terlalu mencintai dan menghormatinya.
Yah, daripada uangku dihambur-hamburkan oleh perempuan sejenis Cheillomitha, lebih baik dihambur-hamburkan ibuku untuk kegiatan sosialnya.
Berhadapan dengan Salma jauh berbeda dengan sejumlah acara sosial yang digagas Mama. Gadis kecil itu seakan memiliki magnet kuat yang tidak mungkin aku tolak. Energinya lumayan besar, membawaku melesak dalam pusaran, ingin terus bersama dan melindunginya. Semoga saja tidak ada yang menuduhku pelaku pédofil. Membayangkannya saja aku mual.
Tidak. Aku masih Hagia yang normal, sehat, mampu berpikir dengan benar. Dan Tuhan masih melindungiku.
"SALMA ...!"
Aku—kami sontak menoleh ke arah datangnya suara. Keterkejutanku bertambah ketika melihat siapa pemilik suara itu. Sophia? Buat apa dia datang malam-malam begini?
*****