When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
[HAGIA] . Perbuatan Elfaraz sudah tidak bisa dianggap main-main lagi. Dalam waktu berdekatan, dia melakukan serangan terbuka padaku. Ini bukan lagi ancaman atau teror, melainkan tabuhan genderang perang. Aku mencari satu nomor dalam ponselku. Nomor lokal Istanbul yang pernah digunakan Elfaraz, dan segera melakukan panggilan. Tak sampai dering kedua, koneksi telepon terhubung, namun bukan suara Elfaraz yang berada di ujung telepon. "Berikan pada bosmu!" perintahku pada orang yang menjadi lawan bicaraku saat itu. "Baik. Tunggu sebentar, Tuan." Bisa kudengar dengan jelas langkah kaki menapak lantai pualam. Pun suara yang bercakap-cakap setelahnya. "Hagia! Apa kabar? Sudah kau terima paket yang kukirim untukmu?" "Paket?" tanyaku heran. Tak kusangka, pintar sekali Elfaraz mengalihkan k