Pagi hari, Doris terus menatap Hanna yang sedang termangu di meja makan. Putri Majikannya itu mengaduk-aduk sup yang terdapat di hadapannya dengan wajah lemas. Kelopak mata Hanna terlihat sedikit bengkak, yang menandakan putri Majikannya ini kemungkinan telah menangis sepanjang malam.
Semalam Doris yang telah membukakan pintu untuk Hanna ketika wanita muda ini pulang sambil menyeret gaun indahnya. Kemarahan tergambar di wajah Hanna yang bak boneka hidup. Doris sekilas mendengar suara mobil William sebelumnya, karena itu ia menebak kalau Hanna mungkin saja telah bertengkar lagi dengan kakak angkatnya itu.
Tapi, di mana Hanna bertemu dengan William? Apakah semalam jangan-jangan yang Hanna maksudkan dengan mencari calon suami itu adalah dengan mendatangi saudara lelakinya? Doris belum berani menanyakannya pada putri Majikannya itu, namun ia juga tidak ingin melihat wanita cantik ini terus bersedih di hadapannya.
"Sebaiknya aku mempercepat rencanaku," gumamnya pelan. Doris sudah menulis sebuah proposal yang akan ia kirimkan ke Istana Nottinghamshire, tempat tinggal Duke Henry Windsor. Ia sudah mendengar kabar kalau putra bungsu Duke Henry, Duke Gerald Windsor, saat ini sedang mencari calon istri yang pantas untuk bersanding dengannya. Doris sudah mencari informasi tentang pria muda itu sebelumnya, Duke Gerald adalah seorang pria yang ketampanannya tidak kalah dengan William. 'Lady Hanna pasti akan menyukainya.' Doris melirik ke arah Hanna yang masih juga bermain-main dengan supnya.
"Jika Nona tidak suka dengan supnya, apa aku boleh mengangkatnya dan menggantinya dengan sepotong desert?" usulnya pada Hanna sambil mendekati wanita muda itu.
Hanna menghela napas berat, kemudian menjatuhkan sendoknya ke dalam mangkuk sup. "Angkat saja, Doris. Aku benar-benar tidak memiliki selera makan pagi ini," kata Hanna lesu.
Doris mengangguk patuh, lalu menyingkirkan mangkuk sup dari hadapan Hanna dan meminta pada seorang pelayan untuk membawanya ke dapur. Setelah pelayan itu pergi, Doris juga ikut pergi. Ia kembali beberapa saat kemudian dengan semangkuk es krim.
Dulu, hal ini yang sering ia lakukan untuk membujuk Hanna yang sedang bersedih. Putri Majikannya ini biasanya akan menghabiskannya dengan lahap. Setelah itu Hanna baru meminta makanan padanya, seolah es krim bisa membuat selera makannya kembali.
"Kau selalu melakukan ini, Doris. Padahal kau tahu aku bukan gadis kecil lagi," protes Hanna. Namun ia tetap menyendok es krim dari Doris ke dalam mulutnya. Es krim itu terasa segar, Doris sering memberinya secara diam-diam tanpa sepengetahuan ibunya. Dan Hanna sangat menyukainya.
"Anda harus mengisi perut Anda, Nona Rosendale. Meski suasana hati Anda sedang buruk, setidaknya makanlah sedikit agar Anda memiliki tenaga untuk melewati hari ini," nasehat Doris.
Hanna tersenyum getir, "Kau benar," akunya, membenarkan ucapan Doris tadi. "Tapi tidak ada yang akan aku lakukan hari ini, Doris. Aku hanya ingin mengurung diriku di dalam kamar," lanjutnya lagi. Hanna kembali tersenyum pada Doris setelahnya, memberi isyarat pada Kepala Pelayan Rosendale House itu bahwa ia baik-baik saja. Ia hanya ... membutuhkan waktu untuk sendiri.
"Bagaimana jika aku menemani Nona berjalan-jalan di Pusat Kota?" usul Doris. "Nona bisa mengunjungi pusat perbelanjaan, membeli beberapa tas baru atau ... alat make up mungkin?"
Hanna menggeleng pelan, "Tidak Doris, aku ingin tidur. Hari ini aku ingin menghabiskan waktuku di atas ranjangku. Bangunkan saja aku jika waktu makan sudah tiba."
Tahu bahwa ia sudah tidak bisa lagi membujuk Hanna, akhirnya Doris hanya bisa mengangguk patuh. "Baik, Nona."
***
Siang hari di Nottingham Corporation, di dalam ruangannya— William tampak sedang serius memperhatikan beberapa lembar kertas yang telah disusun oleh Caleb di atas meja kerjanya. Di sudut kanan atas kertas-kertas itu terdapat photo-photo pria berukuran postcard.
Pagi ini ia telah meminta Caleb untuk mencari informasi tentang semua putra bangsawan dari golongan Earl, Marquess, dan Duke. Semua yang memiliki kedudukan di atas Viscount, karena hanya pada mereka ia bersedia menyerahkan Hanna, adiknya yang sangat ia cintai.
"Apakah Anda sengaja meminta saya untuk mengumpulkan semua informasi ini demi Nona Rosendale, Tuan?" tanya Caleb takut-takut. Takut jika ia akan mengganggu konsentrasi sang Majikan yang tampak sedang serius memperhatikan semua informasi yang telah berhasil ia kumpulkan.
William mengangkat wajahnya, menatap Caleb selama beberapa saat kemudian menganggukkan kepalanya. Setelah itu ia mengambil satu lembar kertas dari atas mejanya, photo pria yang dijepit di sudut kanan atas lembaran kertas itu terlihat sangat tampan. Pria itu mengenakan seragam Bangsawan Duke lengkap dengan bintang kehormatan di d**a kirinya, yang menunjukkan jika pria itu sangat kompeten dan berdedikasi terhadap Negaranya. Calon suami potensial untuk menjadi suami Hanna.
"Suami?" William mendengar geraman melalui nada suaranya saat ia mengucapkan kata suami tadi. Entah mengapa ia merasa sangat kesal sekali, bahkan ingin rasanya ia menghancurkan wajah dari setiap pria yang ingin mendekati Hanna. Tapi janji tetaplah janji, dan ia sudah berjanji pada kedua orang tua angkatnya bahwa ia akan mencarikan calon suami yang baik untuk Hanna. Bukan dirinya yang selalu terjebak dalam gairahnya sendiri.
"Duke Gerald Windsor?" ia melirik Caleb sembari menggerakkan lembaran kertas yang sedang ia pegang.
Caleb menganggukkan kepalanya, "Keturunan langsung dari Ratu Negara ini, Tuan. Cucu satu-satunya Ratu," sahutnya.
"Maksudmu ... dia seorang Pangeran?" tanya William lagi.
"Calon Raja berikutnya." Caleb kembali mengangguk, "Duke Gerald terpilih untuk meneruskan tampuk pimpinan Ayah dan Neneknya setelah saudara lelaki tertuanya menghilang puluhan tahun yang lalu. Duke Henry hanya memiliki dua putra, putra sulungnya yang seharusnya menjadi Raja berikutnya diperkirakan telah meninggal setelah diculik oleh pelayan Istana yang membenci keluarga Kerajaan. Karena setelah penculikan itu, Pangeran Tertua sudah tidak pernah terdengar lagi kabarnya hingga saat ini, Tuan Rosendale," terangnya panjang lebar.
William mengalihkan pandangannya pada photo pria berseragam yang ada di tangannya. Pria itu memiliki wajah keras, namun senyumnya terlihat lembut. Rambutnya yang berwarna coklat gelap dan tebal, tersisir rapi ke belakang. Hanya saja ... ada sesuatu pada wajah pria itu yang membuat ia mengerutkan keningnya, ia bingung mengapa wajah itu terlihat sangat familier? Seakan ... ia menyaksikan pantulan dirinya sendiri di kaca cermin.
'Apa yang kau pikirkan? Pria itu seorang Pangeran, kau tidak mungkin menganggap bahwa kau juga seorang Pangeran, 'kan?' celetuk hatinya mencemooh. "Tentu saja." William mengangguk setuju.
Walau Duke Gerald Windsor terlihat mirip dengannya, namun William bisa melihat jika warna rambut mereka sama sekali tidak sama. Rambut pria itu coklat, sementara rambutnya sendiri hitam pekat. Ia pasti berasal dari kalangan menengah ke bawah, William meyakini tebakannya ini. Tidak hanya itu, sejauh ini semua kaum bangsawan yang ia kenal rata-rata memiliki rambut berwarna coklat dan juga pirang. "Seperti Hanna, dia benar-benar Putri Bangsawan sejati." William meringis memikirkan hal itu, memikirkan bahwa ia tidak pantas untuk bersanding dengan Hanna yang cantik jelita.
"Caleb?" William sekali lagi mengangkat wajahnya dan kembali menatap sang Asisten, "Kirim proposal perjodohan pada Duke Gerald Windsor atas nama Rosendale House!" titahnya. "Aku ingin kau mengundang Duke Windsor ke Rosendale House agar dia bisa bertemu dengan Hanna."