Bab 8 Karung di Tengah Pasar

1427 Words
Perjalanan panjang ditempuh oleh si kecil Panji Panuluh. Ia melangkahkan kaki sendirian menyusuri kampung dan hutan, menuju Gunung Sindoro. Tak terhitung kampung yang ia lalui, siang dan malam menyusur tanpa kawan. Tentu saja itu bukan perjalanan yang mudah, karena banyak rintangan yang ia lewati. Kadang ketika perutnya terasa lapar, sedangkan ia tak punya uang untuk membeli makanan. Kadang ia menyelinap ke sebuah kebun singkong, menjebol pohon singkong, dan membakarnya di tempat lain. Ia sadar, biyung-nya tak pernah mengajari mencuri. Sayangnya, ia merasa dalam keadan kelaparan, hingga terpaksa melakukan itu. Dalam hati, ia berdoa agar si pemilik kebun mengikhlaskan beberapa buah singkong yang ia ambil untuk mengganjal perut. Sudah tiga hari Panji berjalan. Kini ia masuk ke dalam sebuah kampung yang cukup ramai. Nama kampung itu adalah Kampung Windu Agung, sebuah kampung yang terletak di perbatasan Kadipaten Kalinyamat. Bagaimanapun, kampung itu terasa asing baginya. Panji berusaha menghindari kerumunan orang, agar tak terlalu dicurigai bahwa ia sedang membawa sebuah kitab yang teramat dahsyat, sehingga  mengguncang dunia persilatan. Saat ia melewati sebuah pasar, tiba-tiba ia melihat kerumunan orang yang menyemut di tengah pasar, tak peduli dengan panas matahari yang mulai terik. Kerumunan orang itu didominasi oleh para laki-laki, tetapi ada juga sedikit perempuan dan anak-anak. Hal itu membuat Panji penasaran, sehingga ia menyelinap untuk mengintip apa yang membuat kerumunan itu padat. Di tengah pasar itu tergeletak sebuah karung goni yang berlumur darah. Para pengunjung pasar bertanya-tanya apa yang ada di dalam karung goni, tetapi mereka takut untuk membuka. Suara kasak-kusuk dan bisik-bisik santar terdengar. Panji Panuluh juga penasaran, mengapa ada karung goni yang sengaja diletakkan di tengah pasar? Firasatnya tak enak. Tak mungkin karung itu berisi sesuatu yang biasa. “Biar aku yang membuka karung itu!” Tiba-tiba dari tengah kerumunan, seorang pria setengah tua dengan ikat kepala hitam dan baju serba hitam melangkah maju. Matanya yang sebelah kiri tampak tertutup sobekan kulit domba yang telah disamak, sedangkan rambutnya berwarna kelabu perak, berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari. Sepertinya tak ada seorang pun yang tahu siapa sosok asing tersebut. Parasnya tampak garang, menebar rasa khawatir pada seantero pengunjung pasar. Tak ada seorang pun yang berbicara, ketika sosok berbaju hitam itu melangkah mendekati karung goni. Sosok asing itu tak berlama-lama. Gerakannya begitu cepat dan sigap membuka tali ikatan karung untuk mengetahui isinya. Sementara, para pengunjung pasar harap-harap cemas ingin mengetahui isi karung itu berbercak darah tersebut. Dalam waktu singkat, karung itu terbuka, memperlihatkan apa yang tersembunyi di dalamnya. Sesosok pria dengan muka hancur tersembul dari ujung karung. Parasnya terlihat menggidikan, dengan bola mata terbelalak dan sisa-sisa darah yang mengering. Semua pengunjung pasar menahan napas melihat kengerian itu. Dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan yang telah menaruh karung berisi jasad pria malang ini di tengah pasar? “Kalasoka,” gumam pria berpakaian hitam yang membuka karung. Semua pengunjung pasar segera mengenali nama yang digumamkan oleh sosok pria itu. Suara riuh, berdengung menyebut nama sosok dalam karung itu. Kalasoka adalah nama yang salah satu begundal yang sering membuat keonaran di Kampung Windu Agung. Ia mempunyai dua pengikut yang kejam, yakni Kalageni dan Kalagendis, yang tak segan-segan membunuh penduduk kampung yang tak mau menuruti keinginannya. Malam kedua belas setiap bulan, Gerombolan Kalasoka ini selalu masuk kampung dan menjarah benda berharga milik penduduk. Kadang ia juga merampok hewan ternak di kandang-kandang pinggir kampung. Tentu Gerombolan Kalasoka ini sangat meresahkan para warga kampung. Para pengunjung pasar merasa lega karena kini mereka mendapati sosok Kalasoka sudah menjadi sesosok mayat dengan kondisi mengenaskan. Namun, mereka belum sepenuhnya merasa aman karena dua pengikut Kalasoka masih belum jelas keberadaannya. Mereka khawatir dua pengikut itu akan kembali mendatangi kampung untuk menuntut balas atas kematian Kalasoka. Hari menjelang siang saat kerumunan warga di pasar itu satu-persatu mulai membubarkan diri. Sosok berbaju hitam itu memanggul karung goni itu ke bahu, kemudian berniat meninggalkan pasar. Namun, tiba-tiba matanya menatap tajam ke arah Panji Panuluh yang juga bersiap hendak meninggalkan pasar. “Hei ... bocah kecil!” panggil sosok itu. Mendengar namanya dipanggil, Panji Panuluh menoleh. Dilihatnya sosok pria asing yang menatapnya tajam sambil memanggul karung berisi jasad manusia. Panji Panuluh berusaha untuk menenangkan hati, sebab sebenarnya ia tidak ingin berurusan dengan banyak orang, karena dia membawa tugas penting menyelamatkan kitab sakti yang menjadi rebutan para pendekar. “Hmm, seorang anak laki-laki, sendirian, berjalan tanpa tujuan. Itu agak mengherankan. Aku tak pernah melihatmu sebelumnya. Kurasa kau adalah pendatang di kampung ini. Katakan siapa namamu dan hendak kemana tujuanmu?” tanya si pria berbaju hitam dengan nada tegas. “A-aku Panji Panuluh, Paman. Aku hendak pergi mengunjungi bibiku di Gunung Sindoro,” dusta Panji Panuluh. Bagaimanapun, ia harus berusaha tetap tenang, agar pria ini tidak curiga terhadapnya. Panji berharap agar si pria setengah tua itu tidak bertanya lebih banyak pertanyaan lagi, dan segera membiarkan dia pergi. Sayangnya, pria berbaju hitam itu terlihat semakin tertarik dengan Panji. Setelah mengernyitkan dahi, ia berkata,“Kau pasti lapar dan sepertinya baru saja menempuh perjalanan jauh. Ikutlah denganku!” Sebenarnya Panji ingin menolak, karena ia tidak mengenal siapa pria itu. Ia juga khawatir kalau pria ini juga mempunyai maksud tidak baik terhadapnya. Namun, ia lebih khawatir kalau-kalau penolakannya akan berakibat buruk. Lagipula, perutnya merasa lapar, berteriak minta diisi. Pada akhirnya, ia  hanya mengikuti langkah, saat pria berbaju hitam itu berjalan meninggalkan pasar, dengan karung berisi jasad Kalasoka yang masih ia sampirkan di pundaknya. Mereka berjalan menuju jalan setapak di pinggir kampung, melewati rumpun bambu yang tumbuh lebat. Di kanan-kiri hanya terlihat ladang-ladang para penduduk kampung yang kurang terurus. Mereka menuju kawasan ujung kampung yang sepi, berdekatan dengan pinggiran hutan. Panji dapat melihat sebuah gubuk sederhana terbuat dari anyaman bambu, terletak tersembunyi di balik pepohonan yang rimbun. Sesampai di gubuk, pria asing itu melempar karung begitu saja ke halaman samping, seolah yang dibawanya benda tak berharga. Panji melepas lelah sambil menikmati makanan dan minuman yang dihidangkan oleh sosok pria itu. Sepoi angin ladang membelai rambutnya, membuat ia merasa tenang, sambil melepas penat yang menggumpal di kakinya. Panji makan dengan lahap, sementara sosok itu terus menatapnya tajam. “Namaku Randu Manik. Bukan seorang yang cukup dikenal, dan aku tinggal sendiri di pinggir hutan ini. Kalau kau mau, kau boleh menginap di sini malam ini. Perjalanan ke Gunung Sindoro tentu bukanlah perjalanan yang mudah, apalagi kau pergi seorang diri. Selepas kampung ini kau akan melewati hutan angker dan menyeberang sungai besar. Lebih baik kau mencari kawan untuk menemani,” saran pria bernama Randu Manik itu. “Tidak Paman. Aku harus pergi sebelum gelap. Terima kasih sekali atas kebaikan, Paman,” tolak Panji Panuluh. Randu Manik hanya mengangguk-angguk, tak memaksakan kehendak. Namun, sorot matanya yang tinggal sebelah, terus menatap tajam ke arah Panji seolah mengorek apa yang tersembunyi di balik buntalan yang dibawa Panji. Tentu saja, Panji juga bukan seorang anak yang mudah dikelabui, ia tetap bersikap waspada ketika Randu Manik memintanya untuk tinggal. Setelah dirasa cukup, Panji Panuluh memohon diri untuk meninggalkan kediaman Randu Manik. Randu Manik menatap kepergian bocah itu dengan tajam, sembari berdiri tegak di ambang pintu. Ia tak berniat mencegah kepergian Panji, walau hari sudah mulai gelap. Setelah sosok Panji menghilang di telan kegelapan, sosok Randu Manik berkelebat, melesat dengan gerakan ringan tanpa suara ke atas sebuah ranting pohon tak jauh dari rumahnya. Dari balik semak-semak rimbun, muncul dua sosok manusia bertampang garang. Yang seorang adalah laki-laki berewokan dengan tubuh gempal, bola matanya bercahaya seolah nyala api, mengenakan pakaian hitam dan ikat kepala hitam.  Yang seorang lagi, seorang wanita dengan paras bengis tanpa riasan, dan rambut panjang terurai, mengenakan ikat kepala warna hitam pula. Kedua manusia ini, dikenal sebagai Kalageni, pria yang bertubuh gempal dengan bola mata menyala, sedangkan si wanita dikenal dengan Kalagendis. Keduanya adalah anak buah Kalasoka yang jasadnya ditemukan dalam karung di tengah pasar tadi siang. Kedua orang itu menatap ke arah Randu Manik yang berdiri di atas pohon. Pria bermata satu itu mengambil napas dalam, kemudian berkata dengan suara berat. “Kalasoka telah terbunuh. Entah siapa yang melakukan itu, tetapi aku melihat bekas cekikan di lehernya, serta kepala hancur. Tentu bukan orang sembarangan yang melakukan itu. Namun, jangan khawatir, aku akan urus semua itu! Tugas kalian sekarang adalah mengawasi bocah kecil yang baru saja bertandang ke rumahku.. Jangan sampai lepas! Karena aku yakin, dia menyembunyikan sesuatu yang berharga di balik buntalan yang dibawanya. Cari saat yang tepat untuk merebut apa yang ia bawa!” Dua pengikut Kalasoka itu saling memandang dengan ragu. tetapi kemudian mengangguk. Tugas yang diberikan oleh Randu Manik cukup jelas. Malam itu juga mereka harus melacak kepergian Panji Panuluh, sebab Randu Manik yakin ada sesuatu yang berharga yang disembunyina dalam buntalannya. Tanpa menunggu perintah dua kali, dua manusia itu melesat meninggalkan Randu Manik. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD