Hari sudah beringsut gelap ketika dua bocah sudah keluar dari hutan. Tak peduli dengan kondisi kaki yang penat, keduanya sudah masuk ke jalan setapak menuju Kampung Ringin Sewu. Seperti biasa, kondisi kampung sudah sepi, seiring berita teror manusia serigala yang menghantui warga. Para penduduknya memilih untuk berdiam di dalam rumah, menutup pintu rapat-rapat.
“Cepat kau kembali ke rumahmu! Kita bertemu lagi di Gerbang Kampung untuk pergi ke lereng Sindoro!” perintah Panji kepada Kumbara.
“Aku-aku ... aku takut! Biyung mungkin tidak mengizinkanku!” ucap Kumbara.
“Kita tidak punya waktu lama, Kumbara! Aku yakin gerombolan Jalak itu sedang mengejar kita. Jelas biyung-ku juga tidak mengizinkan. Tetapi kita sedang membawa tugas penting. Kalau kitab ini jatuh ke tangan orang jahat, maka hancur semua kampung di negeri ini. Kita harus cepat, Kumbara!” Panji Panuluh berusaha meyakinkan sahabatnya yang terlihat ragu.
Waktu terus bergulir, malam mulai menyelimuti kampung. Sesampai di rumah, Panji tergesa mengisi buntalan dengan pakaian seadanya, serta sebuah kalung dari tali lontar, hadiah dari mendiang bapaknya. Nyi Rumbini jelas sangat gusar melihat anaknya yang terburu-buru seperti dikejar setan.
“Aku tidak bisa jelaskan sekarang, Biyung! Ada tugas penting yang harus kulaksanakan demi menyelamatkan semuanya. Kalau tugas ini gagal, maka habislah kita semua!” ucap Panji terburu-buru.
“Tugas apa, Panji? Jangan membuat Biyung-mu bingung! Mau kemana kau malam-malam begini? Jelaskan sama Biyung!” desak Nyi Rumbini sembari membuntuti Panji Panuluh yang sedang sibuk.
“Aku akan pergi ke tempat yang sangat jauh, Biyung. Tapi Biyung tidak perlu khawatir, karena semua akan baik-baik saja. Aku pasti akan kembali. Biyung jangan khawatir. Biyung jaga diri di rumah ya!”
Panji Panuluh kini sudah siap dengan bawaannya. Belum sempat Nyi Rumbini menjawab, Panji Panuluh sudah melesat keluar ke halaman rumah. Sayangnya, langkah Panji Panuluh terhenti. Ternyata di sana sudah berdiri dua orang pria tegap, dengan tatapan mengancam. Jalak Hijau dan Jalak Biru ternyata sudah tiba di kediaman Panji. Nyi Rumbini tampak terkejut dengan kehadiran dua pria asing tersebut. Firasatnya tidak enak. Ia khawatir putra semata wayangnya mempunyai urusan tidak baik dengan orang lain.
“Hendak kemana kau pergi, bocah kecil?” seringai Jalak Hijau.
“Pergi kalian! Jangan ganggu aku!” pekik Panji Panuluh.
“Kami akan pergi setelah kau serahkan kitab itu pada kami! Kalau tidak maka jangan berpikir kau akan pergi. Kami akan habisi siapa pun yang menghalangi. Pikirkan itu, Bocah!” sentak Jalak Biru.
“Tidak! Aku tidak mengerti apa maksud kalian! Cepat pergi atau aku berteriak agar warga kampung mengepung kalian!” Panji berusaha menggertak, walau ada perasaan takut juga mulai merayap.
Jalak Hijau dan jalak Biru hanya tertawa terkekeh mendengar itu. Tanpa memedulikan perkataan Panji. Keduanya melangkah mendekat. Tiba-tiba, Nyi Rumbini menghambur ke arah putranya.
“Pergi kalian! Jangan ganggu putraku! ” pekik Nyi Rumbini.
“Biyung, jangan kesini!” teriak Panji.
Teriakan Panji terlambat, karena Nyi Rumbini berlari hendak melindungi Panji. Di saat yang sama, Jalak Hijau menyeringai, sembari melontarkan selarik cahaya hijau dari lengannya, melesat ke arah Nyi Rumbini.
Daaak!
Aaaarghh!
Perempuan itu terpental terkena pukulan itu sampai beberapa tombak. Jerit pilu terdengar menyayat. Nyi Rumbini terlempar, jatuh ke tanah dengan mulut penuh darah.
“Biyuuung!” pekik Panji, sambil menghambur ke arah Nyi Rumbini, tetapi dengan sigap Jalak Biru menghadang langkahnya.
“Pa-Panji ... cepat lari!” perintah Nyi Rumbini.
“Kau tak akan bisa lari, Bocah! Biyung-mu sebentar lagi juga akan mati. Kau tak punya pilihan. Serahkan kitab itu atau kau akan kubuat menyusul biyung-mu!” gertak Jalak Biru.
“Tidak! Tidak akan! Kalian jahat! Kalian tidak akan bisa mendapatkan kitab ini!” pekik Panji Panuluh.
“Panji! Ce-cepat ... lari saja!” perintah Nyi Rumbini dengan suara lemah, menahan nyeri di dalam tubuhnya.
Dalam keadaan sekarat, Nyi Rumbini memberi isyarat kepada Panji agar segera meninggalkan tempat itu. Sementara dadanya terasa sesak teramat sangat, sehingga ia yakin ajalnya akan berakhir malam itu.
“Diam kau!” teriak Jalak Biru, sambil melontarkan sebuah pukulan jarak jauh ke arah Nyi Rumbini.
Wanita itu kembali terpental, jatuh dalam keadaan tak bernyawa!
“Biyuung! Kalian jahat!” pekik Panji.
Ia tak dapat menahan air matanya. Ingin dipeluknya Nyi Rumbini yang sudah tergeletak, tetapi apa daya Jalak Biru menghadang.
“Jangan terlalu lama, Jalak Biru! Kau buang waktu saja! Kita rebut langsung saja kitab itu darinya!” ujar Jalak Hijau.
“Baiklah, Bocah keras kepala! Rupanya kau memaksa kami untuk menggunakan kekerasan!”
Tangan Jalak Biru melesat siap mencengkeram leher Panji Panuluh. Tiba-tiba sekelebat selendang berwarna merah menggulung lengannya, menarik dan melemparnya ke udara. Sekejap saja, lengan itu terlepas dari tubuh Jalak Biru. Darah mengucur deras. Jalak Biru pucat seketika melihat lengannya hilang!
“Kurang ajar!” pekik Jalak Hijau.
Dari arah lain, sosok Dewi Selendang Merah melayang turun dari atas pohon sambil tersenyum.
“Tak kusangka pendekar besar seperti kalian hanya berani dengan anak kecil!” ucap Dewi Selendang Merah.
“Berani sekali kau campuri urusan kami, Dewi!” geram Jalak Hijau.
“Pergilah kalian! Kalau tidak, bukan hanya lengan yang terlepas dari tubuhmu, Jalak Biru! Tapi juga kepalamu!” gertak perempuan bercadar merah itu.
“Kurang ajar! Beraninya kau!”
Jalak Hijau melayang menyerang Dewi Selendang Merah, tetapi dengan cekatan perempuan itu megelak, melayang ke samping dan melesakkan kaki ke pinggang Jalak Hijau.
Buuuk!
Jalak Hijau terjajar ke samping. Gerakan Dewi Selendang Merah begitu cepat, nyaris membuat bingung Jalak Hijau. Dewi Selendang Merah segera mengisyaratkan pada Panji untuk segera meninggalkan arena pertarungan. Awalnya, Panji merasa ragu, tetapi ia tak punya pilihan lain. Air matanya berderai, setengah berlari meninggalkan rumah yang dicintainya, menuju ke gerbang kampung.
Dalam otaknya masih terbayang sosok biyung yang meregang nyawa karena melindunginya. Ia melihat paras biyung yang masih menatapnya dengan kasih-sayang saat ajal menjemput. Dalam hati ai bersumpah untuk membalas dendam yang membara di hatinya. Dadanya terasa sesak menahan rasa sedih, namun ia tetap berlari menuju batas kampung.
Mengetahui itu, Jalak Biru yang baru saja kehilangan lengan tak tinggal diam. Ia segera melesat hendak mengejar Panji Panuluh. Sayangnya, lagi-lagi langkahnya terhenti karena sekelebat selendang merah menghempaskan tubuhnya ke belakang.
Buuuk!
Jalak Biru terjengkang menghantam rumah bambu milik Panji hingga rusak parah. Jalak Biru meringis kesakitan. Tulang punggungnya seperti patah. Melihat Jalak Biru tak berdaya, Jalak Hijau semakin beringas. Ia menghantamkan pukulan Petaka Jalak Hijau yang telah siapkan sedari tadi.
Wuuss!
Cahaya hijau melesat dari tangan Jalak Hijau menerjang ke arah Dewi Selendang Merah. Perempuan itu segera melesat menghindar. Ia sadar, bahwa pukulan itu bukan pukulan main-main. Kalau sampai menghantam tubuhnya, maka dapat dipastikan semua tulangnya akan remuk berkeping-keping, sehingga bukan tidak mungkin ia akan menemui ajal.
Dewi Selendang merah berhasil menghindar, tetapi ia tetap merasakan hembusan udara panas menerpa tubuh. Bagaimanapun, perempuan itu tetap tetap terpental ke samping. Ia berusaha menyeimbangak diri dengan menjejakkan kaki kuat-kuat.
Kraaak!
Cahaya hijau menghantam sebatang pohon, sehingga tumbang menjadi dua. Dewi Selendang Merah segera memulihkan tenaganya. Ia melihat Jalak Hijau telah siap dengan pukulan selanjutnya. Segera saja ia kebutkan selendang, sebelum Jalak Hijau sempat melontarkan pukulan.
Wuuut!
Selendang merah berrkelebat meluncur deras menuju Jalak Hijau. Pria itu sadar, bahwa kibasan selendang ini berbahaya. Maka, tak ada pilihan lain untuk segera melesat menghindarinya. Sayang, selendang itu bagai seekor ular yang terus memburu Jalak Hijau. Gerakan lincah Jalak Hijau yang berloncatan, seakan kurang cepat. Selendang merah berhasil melilit kakinya, menghempaskan tubuhnya pada sebuah pohon dengan keras.
Kraaak!
Hempasan dahsyat itu sontak membuat pohon tumbang! Kepala Jalak Hijau retak bersimbah darah. Matanya melotot, tubuhnya jatuh ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa. Jalak Biru terpana melihat rekannya dalam tewas dengan cara mengerikan.
“Kau mau menyusul ke neraka?” ucap Dewi Selendang Merah. Sorot matanya menusuk benteng pertahanan Jalak Biru. Pendekar itu seolah berhenti aliran darahnya. Ia menggeleng cepat, lalu dengan langkah seribu menembus gelapnya malam meninggalkan arena pertarungan itu dengan lengan yang buntung mengalirkan darah!
***