Happy reading...
****
Felisa datang kembali ke perusahaan Mavens Group berpura-pura membawa pesanan bunga agar tak di tangkap security, samar-samar telinganya mendengar bisikan-bisikan tak mengenakkan telinga.
"Berani sekali ia kembali."
"Aku yakin Tuan Jacob pasti akan menghukumnya lebih berat setelah menyuruh semua kantor dan perusahaan kecil untuk tak lagi menerimanya bekerja."
"tapi kenapa dia masih bekerja mengirim bunga?"
"Mungkin managernya menyuruh untuk yang terakhir kalinya."
"Aku sungguh kasihan dia masih terlihat sangat muda untuk menjadi biitch." kekehnya.
Ternyata benar ini semua ulah Pemimpin itu, awas aja kalau ketemu, batin Felisa.
Akhirnya felisa tiba di depan ruang bertuliskan CEO ROOM yang di jaga seorang sekertaris dengan baju super ketat yang langsung mencegat langkahnya.
"Maaf Anda tak boleh masuk." katanya.
"Tapi aku mau memberikan pesanan bunga yang ceo pesan."
"Anda tetap tidak boleh masuk."
"Lihat di luar ada superman!" Felisa menunjuk ke belakang sekretaris, perempuan berbaju ketat itu menoleh dan Felisa segera menerobos masuk ke dalam ruangan Ceo.
Kedua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung menoleh ke arahnya tak lama sekretaris tadi juga masuk ia menundukkan kepala.
"Maaf tuan saya sudah melarangnya tapi dia tetap menerobos masuk."
"Lain kali kau melakukan hal ini aku akan memecatmu." Seru Jacob tapi segera di sela oleh Rubin.
"Biarkan dia di sini dan keluarlah."
Sekretaris itu melirik sinis kearah Felisa sebelum keluar dari ruangan.
"Jadi apa alasanmu datang kemari?" Tanya Rubin sambil berdiri dari duduknya.
"Apakah orang yang menyuruh tempat di mana aku bekerja untuk memecatku ada di antara kalian berdua?" Tanya Felisa balik, "Tapi tunggu sepertinya aku pernah bertemu kalian berdua?"
Rubin berdiri dari tempatnya, "Jika memang ada di antara kami apa yang bisa kamu lakukan?" Tatapan Rubin begitu mengintimidasi, tiba-tiba Felisa takut berhadapan dengan lelaki ini.
"Aku... aku tak bisa melakukan apa-apa tapi bisakah jangan membuatku di keluarkan dari pekerjaanku sekarang karna tanpa itu aku tak bisa mencukupi kehidupanku."
"Jadi kau butuh uang? Aku bisa memberikanmu uang yang banyak tapi dengan syarat kau harus bekerja menjadi pelayan kami."
Kedua bola mata Jacob membulat mendengar kata-kata Rubin meski begitu dirinya masih tetap diam menjaga kesan terbaiknya. Tapi kalimat Rubin barusan memang mengejutkan, biasanya Rubin akan langsung bertindak tanpa mengatakannya lebih dulu.
"Jika aku jadi pelayanmu apa yang harus aku lakukan?" tanya Felisa, sepertinya perempuan itu mulai tertarik. Sudut bibir Rubin terangkat.
"Tentu saja yang kau lakukan adalah melayani kami."
Kami? Entah kenapa rasanya Felisa ingin berteriak di depan wajah Rubin dan berteriak.
HANYA AKAN ADA DALAM MIMPIMU!!
Tak lama tanpa banyak bicara lagi Rubin mengeluarkan Black Card, "Kau akan memiliki benda ini dan aku jamin benda ini bisa mencukupi apa yang kau inginkan asal kau mau menjadi pelayanku."
Rasanya kali ini Felisa ingin mengeluarkan asap dari kedua lubang telinganya, ia memang bukan orang berada tapi di rendahkan seperti ini bukanlah prinsipnya.
"Maaf saya memang butuh uang tapi untuk menjadi pelayan Anda dan melayani Anda lebih baik aku menolaknya, aku lebih suka bekerja di pertokoan dan mengirim paketan karangan bunga, jadi tolong kembalikan pekerjaanku."
Rubin menarik tangan Felisa meletakkan Black Card di telapak tangannya.
"Pikirkan baik baik-baik karena orang lain tak seberuntung dirimu."
Felisa melemparkan Black Card ke muka Rubin, "Aku tak butuh uangmu untuk menjual diri dan ingat aku bukanlah waniita rendahan yang bisa kau permainkan!" kemudian berbalik keluar dari pintu itu dan membanting pintunya sekeras yang ia mampu.
Setelah itu Jacob tertawa dengan apa yang Rubin lakukan barusan. "Astaga, aku belum pernah melihatmu seperti ini."
"Diam kau!" sentak Rubin tapi Jacob masih tertawa, "Aku akan membuatnya menarik kata-kata yang barusan ia ucapkan." Seketika Jacob menghentikan tawanya mendapati Rubin terlihat begitu serius kemudian Jacob mengedikkan bahu.
"Wah sepertinya ini akan seru."
_______
Felisa menangis terisak di bawah bantal tempat tidurnya lalu menatap kedua foto orang tuanya dan memeluk foto itu.
"Ayah, ibu kenapa hidup ini tidak adil, aku sudah berusaha yang terbaik tapi kenapa masih ada orang yang tidak menerimaku? Ayah, aku merindukanmu."
Felisa mengusap foto ibunya sambil terisak hingga tanpa sadar ia tertidur. Felisa kembali terbangun saat merasakan benda dingin di dahinya, sebuah handuk basah? Tapi tunggu, sejak kapan ia meletakkannya?
"Kau sudah sadar? Tadi aku datang suhu tubuhmu panas sekali jadi aku mengompresnya dengan air dingin."
"Nathan!" Seru Felisa dan memeluk Nathan sekilas.
"Istirahatlah kondisimu sedang kurang baik pantas saja tadi aku menelfonmu berkali-kali kau tak mengangkatnya."
"Maaf ponselku hilang."
"Sudah jangan banyak bicara, ini aku juga tadi membuatkanmu bubur, cepat di makan biar lekas sembuh biar aku akan membelikanmu ponsel yang baru."
"Nathan." Felisa berhambur ke pelukan Nathan lagi, Nathan mengusap bahu felisa yang ringkih. "Aku rindu Ayah."
"Aku tau pasti berat untuk menjalani hidup di usiamu seperti ini tanpa orang tua." Nathan mengusap bahu Felisa yang kembali terisak.
"Aku beruntung masih memilikimu, aku tidak tau bagaimana jadinya aku tanpamu beberapa tahun ini setelah Ayah pergi "
Nathan mengusap kepala Felisa. "Kamu tanggung jawabku karena orang tuamu menitipkanmu padaku, jadi aku harus memperlakukanmu sebaik mungkin dan menganggapmu sebagai adikku sendiri."
Felisa tahu hal ini karna itu ia tak pernah menyimpan rasa lebih kepada Nathan selain perasaan seorang adik kepada kakaknya meskipun mereka terlahir dari rahim ibu yang beda.
"Kenapa kamu menangis sampai suhu badanmu mampu membakar semua bangunan disini?" Canda Nathan sambil menyuapi Felisa.
"Ada masalah di pekerjaan paruh waktuku, aku juga sangat merindukan Ayah, jadi mungkin tubuhku tidak menerima dan jadi drop seperti ini."
Nathan menyentil pelan dahi Felisa. "Kamu ini masih muda jangan terlalu berpikir yang berat-berat dan jangan sampai di usia seperti ini kau sudah stress lalu siapa yang mau denganmu nanti?"
"Ih kenapa kau bicara begitu."
"Tidak. ini makan lagi." Nathan mengusap kepala Felisa dan menyuapi gadis kecil itu lagi.
"Jadi bagaimana dengan kondisimu sekarang?"
"Aku merasa lebih baik. Terima kasih sudah merawatku." senyum manisnya merangkai wajah Felisa saat menatap Nathan.
Nathan tersenyum. "Aku harap tidak ada yang terjadi padamu, sesuatu yang akan membuatmu kembali menangis." katanya. Felisa mengangguk sambil menelan bubur yang Nathan suapkan.
"Apa kamu mencintai Zoe?" Tanya Felisa.
"Aku hanya akan bertunangan dengannya, ini hanya bisnis, selain itu aku tak memiliki perasaan apapun dengan Zoe, kenapa kamu menanyakan hal ini?"
"Aku hanya penasaran, tapi jika ini bisnis apa kamu nanti tidak merasa terbebani dengan perasaan seperti ini?"
"Kamu ini masih kecil, lebih baik jangan memikirkan hal seperti itu biar aku yang jalani dan kamu menjalani hidupmu sebaik mungkin aku janji akan selalu berusaha menjagamu."
"Aku sudah dewasa! Jangan terus menganggapku anak kecil. Kau tau aku sudah lebuh dua puluh tahun!" Felisa memprotes. Nathan tertawa geli.
"Nath." panggil Felisa pelan.
"Iya."
"Boleh aku memelukmu sekali lagi?"
"Kenapa tidak?" Nathan meletakkan mangkuk di meja dan memeluk Felisa di dekapannya begitu erat. Felisa merasa nyaman di pelukan Nathan, ia merasa benar-benar terlindungi di depan lelaki yang sudah ia anggap sebagai kakak kandung sendiri.
Felisa semakin menenggelamkan kepalanya di dadaa Nathan merasakan kehangatan seorang kakak yang tengah memeluknya sebagai pengganti seorang ibu.
Tanpa Nathan mungkin hidup nya lebih kacau dari sekarang. Dari sekian juta orang di bumi setidaknya Felisa punya Nathan yang bisa di anggapnya keluarga.
Masalah apapun pasti akan Felisa hadapi. Tapi tidak dengan kehilangan pria yang telah menjaganya ini.
"Aku menyayangimu." Batin Felisa.
********
To be continued