B A B • 13

1080 Words
Arslan terus mengetukkan ujung jemarinya di meja kayu dekat rokok yang masih sisa setengah secara teratur satu-persatu. Lalu, rokok tersebut diambil alih oleh jemarinya, bukan untuk dinikmati lagi, hanya untuk mematikan ujungnya yang menyala. Karena asapnya malah membuat pikiran Arslan semakin kacau. Kadangkala, Arslan menoleh ke arah tembok. Mulutnya setengah terbuka, lalu detik berikutnya terkatup lagi, beberapa kali terus begitu karena ia dilanda kebimbangan. Jika jujur ... perempuan itu kemungkinan langsung menurunkan jabatannya. Namun, jika Alisha tahu dari Ridwan, namanya akan dua kali lebih buruk dibanding ia bercerita sendiri. Tapi, harus dimulai dari mana? Arslan meremas rambutnya sendiri. Ia mengembuskan napas kasar sekali, yang tidak membantu melegakan sesak dalam dirinya sedikitpun. Ia meremas rambut dengan kuat agar bisa berpikir jernih, sehingga mengambil keputusan tepat. “Alisha!” Arslan tidak bisa mempertaruhkan namanya lebih buruk lagi, maka, ia memutuskan untuk memilih bercerita sendiri. Namun, tidak ada jawaban. Arslan sedikit bingung, karena sebelum masuk kamar tadi, ia masih mendengar suara grasak-grusuk di kamar Alisha, dan sampai sekarang tidak mendengarkan suara pintu dibuka dari sebelah. Tidur? Tidak mungkin. Karena, ketika ia melirik ke arah jam digital, ini baru pukul 7 malam. Arslan menggeser kursinya hingga menempel di dinding. Telinga didekatkan ke tembok, sehingga samar, ia bisa mendengar suara perempuan itu berbicara. Dengan siapa? Pertanyaan itu sontak muncul, membuat Arslan semakin merapatkan indra pendengaran. Keningnya bahkan sedikit mengerut saat menambah tingkat kefokusannya. Tidak memakai bahasa Indonesia. Arslan yakin, karena satu pun kata perempuan itu tidak terbaca jelas oleh otak Arslan. Sedikit nada naik-turun yang terdengar nyaman. Arslan semakin, semakin, menempelkan tubuhnya di tembok. Hingga, ucapan bismillah terdengar, langsung disimpulkan bahwa perempuan itu sedang mengaji atau apa lah yang berhubungan dengan ibadah. Seharusnya Arslan menjauh. Agama terlalu membosankan untuk dibahas, kan? Iya, kan? Uh, Arslan lebih sering menguap ketika mendengar orang lain mengaji, atau beribadah. Namun, pria itu seperti tertempel di dinding dan terus fokus mendengarkan. Sayangnya, suara Alisha hanya samar terdengar, sehingga memancing ketidaksabaran Arslan. “Alisha, naikin dikit suaranya!” Arslan kepalang gemas, sehingga tanpa sadar membongkar kedoknya menguping Alisha di seberang ruangan. Suara di sebelah sontak hilang, dan Arslan seketika tercenung, menyesali permintaannya barusan. Selain merusak harga diri, ia juga kehilangan suara Alisha tadi. Aslan menegakkan tubuh, kemudian menggeser kursinya kembali ke tempat semula. Hening. Arslan tetap diam di tempat, sampai suara lantunan itu kembali terdengar dengan nada yang lebih tinggi. Pria itu tersenyum tipis, kemudian menopang dagu dengan tangan, sementara jemarinya yang lain mengetuk meja dengan teratur. Benar-benar menikmati. Namun, belum 2 menit, suara itu kembali hilang. “Lanjutkan!” pinta Alisha yang terdengar tajam. Arslan celingukan bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku bahkan nggak tau kamu baca apa tadi.” “Al-Ma‘un.” Jawaban singkat dari Alisha membuat kening Arslan semakin mengerut dalam. “Kamu hafal apa? Sini sambung ayat.” “Alhamdu.” “Al-Fatihah?” “Alhamdu.” “Ya itu Al-Fatihah.” “Oh aku nggak tau,” balas Arslan santai. “Harusnya kamu buka akun YouTube, Lis. Terus unjuk suara kamu nyanyi. Eh, ngaji juga boleh, sih. Pasti langsung tenar. Aku yang biasa ngantuk kalau denger orang ngaji, tiba-tiba tertarik aja tadi.” “Cadar digunakan perempuan untuk menutupi dirinya. Kalau unjuk di publik, ya tetep aja namanya menampakkan diri.” “Nggak suka ketenaran, ya?” “Begitu kira-kira.” Perempuan itu mengucapkan sesuatu lagi, tapi dengan nada yang lebih pelan. Arslan mengetukkan jemarinya lebih sering di meja. Bingung mencari topik pembuka untuk laporannya. “Alisha, aku mau jujur.” Entah sihir atau apa, Arslan sedikit menemukan keberaniannya untuk bercerita. Apa pun nanti konsekuensinya. Huh, Arslan mengembuskan napasnya panjang. “Iya?” Perempuan di sebelah amat cepat menanggapi. “Aku gagal.” Arslan menjeda sejenak dengan kepala setenga tertunduk, bahkan walau Alisha tidak melihat, ia tetap merasa bersalah, menyesal, tetapi juga tidak ingin tampak lemah. “Pak Hendru nggak mau jalin bisnis kosmetik sama kita gara-gara masa lalu aku yang hampir bikin bangkrut Artanic.” Pria itu kemudian mendongak, bersandar di kursi, dan mata terpejam, bersiap jika posisinya mungkin langsung ditukar dengab Ridwan. "Aku gagal ...." “Oh, oke.” Jawaban ambigu itu sontak, lagi, membuka mata Arslan dengan rasa kaget. Kenapa perempuan itu lagi-lagi tidak marah? "Kamu nggak marah?" “Berarti emang Bumantara nggak ditakdirkan produksi kosmetik bersama Callenstar,” balas Alisha. “Bumantara bisa aja produksi sendiri. Tapi pengurusannya bakalan butuh biaya banyak. Sementara pengeluaran kita untuk produk makanan nanti, bakalan besar banget. Belum di Semarang, kebakaran gudang seminggu lalu benar-benar merugikan Bimantara, dan sampai sekarang, Om Ridwan juga belum mendapatkan investor lain.” “Investor, ya?” Arslan membalas dengan sedikit keraguan. “Aku kenal banyak rekan bisnis selama mengelola Artanic. Seharusnya, aku bisa dapat beberapa.” “Ide bagus! Om Ridwan bakalan bantu—” “Nggak usah bawa-bawa dia. Dia cuman ngerusak nama aku aja, Lis.” Arslan membalas cepat disusul dengkusan kesalnya. “Coba kasih aku 3 alasan, kenapa kamu nggak suka banget sama Om Ridwan? Dia suka bantah kamu? Enggak, kok. Om Ridwan cuman keluarin opini dia agar jadi pertimbangan kamu sebagai pemimpin. Kamu nolak, juga nggak masalah. Karena kamu pemimpinnya sekarang, dan Om Ridwan menerima itu kok.” Alisha mencoba membuka pikiran Arslan, tetapi memang dasarnya Arslan yang enggan kalah dari pria lain. “Pertama. Sifat dia yang hobi membantah dengan kedok memberi opini itu menunjukkan ketidaksamaan jalan kami berdua. Dua orang dengan dua pendapat kuat yang berbeda tidak akan bisa memajukan perusahaan. Kedua, slot kerjanya lebih banyak dari aku. Aku kayak cuman bergelar pimpinan aja, padahal karyawan lain disetir oleh Ridwan. Ketiga ....” Arslan diam sebentar. “Kamu keseringan sebut nama dia, terus bandingin aku. Enek!” “Oh, oke. Maaf. Tapi, kamu emang nggak mau gitu? Curi-curi ilmu bisnis dari Om Ridwan? Pengalamannya puluhan tahun, loh. Kamu emang jago bisnis sekarang, tapi coba, ilmu bisnis kamu tambah Om Ridwan? Makin hebat kamu!” Arslan diam sejenak. “Lumayan, sih.” “Nah! Coba kamu deket-deketin Om Ridwan, dan curi-curi ilmu bisnisnya. Supaya berhasil, kamu harus sering-seringin kerja bareng Om Ridwan.” Arslan mengangguk mengerti, lalu mendengkus lagi. “Ini cuman demi kamu, ya! Kalau nggak, males aku berurusan sama dia.” Berat, pria itu menyetujui usulan Alisha. “Nah, gitu, dong!” Merasakan keceriaan dari ucapan Alisha barusan, Arslan merasakan euforia tersendiri. Sehingga, ketika tangannya lagi-lagi mengetuk meja, kebingungannya berubah menjadi pertanyaan, 'topik apa lagi yang harus ia bahas agar malam ini tidak berakhir begitu saja, bersama perempuan ajaib di sebelah?' "Alisha ... kamu suka makan kadal?" "Hah?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD