B A B • 14

1007 Words
Arslan melakukan obrolan rahasia dengan Ridwan di sebuah ruangan khusus bawah gedung. Tidak ada CCTV, tidak ada yang mendengar. Jadi, seharusnya aman intuk mereka berdua. "Saya sudah diskusi dengan Alisha semalam. Kami dapat kesepakatan, bahwa lebih utama sekarang adalah mencari investor, jika berhasil, bisa kerjasama dengan perusahaan lain. Karena ya ... saya punya banyak circle pertemanan sesama pengusaha, jadi saya sudah menuliskan daftarnya di situ, perusahaan yang mungkin bisa kita dapatkan suntikan dana." Arslan mengusap-usap dagunya, dengan posisi berdiri menghadap Ridwan yang duduk, ia merasa lebih berkuasa sekarang. Tch. "Sekarang, kamu saya tugaskan untuk bisa menggaet semua perusahaan yang saya catat tersebut sebagai investor kita." Ridwan tanpa mengalihkan pandangan dari kertas di atas meja, kemudian meraihnya, juga pulpen di samping kertas. Tanpa bimbang, ia mencoret 8 dari 12 daftar tersebut. "Kenapa?" tanya Arslan, tidak terima. Kedua tangannya bertopang pada meja, dengan tubuh menghadap langsung pada Ridwan sehingga memberikan efek intimidasi yang kuat, meski si lawan sama sekali tidak terpengaruh. "Yang ini," Ridwan menggunakan ujung pulpen untuk melingkari tulisan yang pertama dicoret. "Punya beberapa kasus yang ditutup begitu saja. Penggelapan dana, penindasan karyawan. Kita tidak bisa bekerja dengan perusahaan kasar seperti itu." Ridwan menjelaskan tanpa ada keraguan sama sekali. Arslan mengangguk mengiyakan. Pemimpinnya juga sama seperti dia, hobi dugem, cari perempuan, koleksi mobil mewah, dan perbanyak vila, maka dari itu, Arslan mudah akrab dengannya Ridwan menjelaskan lebih rinci lagi. Sebagian besar daftar yang ia coret tidak sejalan dengan motto Bumantara. Ridwan kemudian melingkari sebuah perusahaan berkembang. "Kita perlu mengatur jadwal dengan pimpinan Glawmars untuk menjalin kerjasama bisnis terlebih dahulu, sambil itu cari investor lain," jelas Ridwan. "Tapi itu perusahaan kecil, kita butuh yang besar supaya lebih cepat sukses." "Memang, maka dari itu saya pilih beberapa. Perlu pematangan rencana agar usaha kita tidak ditolak mentah-mentah lagi. Seharusnya kamu tahu." Ridwan menjawab. "Pun, nama kamu juga sudah buruk di mata pengusaha lain. Jadi, mulai bentuk branding diri kamu sendiri, dengan menggaet perusahaan kecil dulu. Syukur-syukur kalau nantinya kamu bisa dapat yang sudah maju." Arslan mengangkat kedua bahunya tidak acuh. "Biasanya Edy yang lebih banyak wakili saya." Ridwan mendengkus samar. "Pantas saja." Ia berdiri sembari membentuk kertas tersebut menjadi tabung, lalu memukulkannya ringan pada Arslan. "Kamu perlu banyak belajar, Arslan." *** Kapan terakhir kali Arslan ke surga dunia ini? Kelab. Entahlah. Setiap kali ia selesai mengobrol dengan Alisha, Arslan akan mengantuk dan memilih tidur. Kini, masih dengan pakaian kerja karena belum pulang sama sekali, Arslan menyapa semua orang yang ia kenali. Kursi panjang dekat meja bartender adalah tujuannya. Memesan minuman seperti biasa, dan langsung dipenuhi oleh sahabatnya. "Tumben lo nggak pernah nongol kemarin-kemarin." Sambutan dari Erik tersebut datang bersama dengan minuman. "Sibuk kerja lah." Hanya butuh sekali teguk, minuman dalam gelas segitiga berkaki panjang itu ludes ke perut Arslan. Ia mendesah berat, lalu meminta lagi. Obrolan mereka mengenai kelab membuat Arslan minum tak terkendali. Ia tertawa-tawa mengetahui satu-persatu temannya menemukan jodoh dan bersiap menikah. Arslan mengejek mereka karena pernikahan hanya membuat pria terikat dengan satu perempuan seumur hidup. Jiwa bebas seorang pria akan seperti burung dalam sangkar. Jika boleh jujur, Arslan tidak akan menikah jika bukan atas dasar kekuasaan, dan kecintaannya pada harta. Pada gelas ke-12, Arslan menopang kepalanya dengan tangan, mengingat bagaimana ia hancur dulu, kemudian terpaksa terikat dengan satu perempuan demi menjaga kehidupannya yang hedonis. "Nih, tambah lagi sampai teler lo!" ujar Erik, kemudian menuang terus dan Arslan hanya menerimanya sembari tersenyum. Sudah cukup lama sejak ia bebas seperti ini, dan Arslan perlu memuaskan diri sendiri. Namun, jika dikatakan bahwa ia terpenjara, tidak juga. Arslan ... cukup menikmati waktu-waktunya di rumah bersama Alisha meski tidak bertemu langsung dengan perempuan itu. Aneh, ya? Arslan terkekeh geli menyadari bahwa ini terasa salah. Seharusnya dia tidak boleh nyaman dengan perempuan ajaib itu. Seharusnya, Arslan tetap diam di kehidupan bahagianya ini. Seharusnya .... "Pak Arslan?" Cellyn tiba-tiba muncul dari arah belakang punggung Arslan. Berjalan mendekat, dalam balutan mini dress merah. Arslan tidak bisa lagi menanggapi. Matanya terbuka setengah saat ia meminum lagi tuangan wiski dari Erik. "Lo bawahannya Arslan?" tanya Erik. "Iya, dia bos saya." Cellyn menunjukkan kekhawatiran kentara. Ia menyentuh kening, ceruk leher, dan lengan Arslan. "Dia udah terlalu banyak minum." Kecemasan juga terdengar jelas dari nada bicaranya. "Bawa pulang, gih. Bilangin, besok gue kirim tagihan minumannya," usul Erik. Cellyn mengangguk, lalu membawa sebelah lengan Arslan ke bahunya, dan tangan Cellyn di pinggang Arslan. Namun, baru saja berdiri, perempuan itu sontak jatuh karena tidak mampu menahan tubuh Arslan yang kelewat berat. "Bisa bantu ke mobil?" Cellyn menggunakan ekspresi iba agar Erik mau menerima permintaannya, dan benar saja, pria itu, meski dengan raut malas, tetap menerima keinginan Cellyn. Keduanya memapah Arslan menuju mobil Cellyn, karena Erik meyakinkan bahwa Tesla kesayangan Arslan tidak akan lari ke mana. Dalam mobil, Cellyn susah payah memakaikan sabuk pengaman. Ia melirik jam di ponselnya sebentar, sudah pukul 12 malam. Ia juga memastikan Erik sudah benar-benar kembali masuk. Ehhem. Cellyn berdeham ringan, menyadari ini kesempatan emas. Arslan mabuk berat dan sibuk meracau tidak jelas. Pastinya, kesempatan seperti ini nyaris tidak akan terulang dua kali. Perempuan itu menaikkan rok setengah lututnya semakin tinggi, kemudian duduk di atas pangkuan Arslan. Bahkan, walau hanya disinari cahaya temaram, bosnya ini tetap menawan. Rahang tegasnya ... Cellyn tidak bisa mencegah bibirnya melayangkan ciuman singkat di sana. Perempuan itu tersenyum bangga. Dengan gerakan gemulai, membuka kancing kemeja Arslan dari atas. "Di mana?" Arslan bertanya parau. Matanya setengah terbuka, celingak-celinguk melirik sekitar. Cellyn mengusap lembut d**a Arslan, kemudian berbisik tepat di samping telinga pria tersebut. "Mobil." "Aishit!" Entah kekuatan darimana, Arslan tiba-tiba mencengkeram leher Cellyn dengan erat. "Kembalikan berlian saya! Kembalikan kekayaan saya, perempuan sialan!" "A-apa, Pak?" Cellyn tidak bisa tidak ketakutan. Arslan mabuk sepenuhnya. Pria itu bahkan tidak akan sadar jika Cellyn mati kehabisan napas. "Jalang! Mati kamu! Mati!" Arslan menekan suaranya, yang membangkitkan ketakutan Cellyn semakin tinggi. Perempuan itu berusaha menggapai setir kemudi, setidaknya dengan beberapa klakson, akan ada yang membantunya. Namun, Arslan mengunci pergerakannya dengan tangan yang lain. Cekikan pria itu semakin bertambah erat. Cellyn memejamkan mata, karena pasokan udaranya tertahan, ia bahkan kesulitan berteriak. Tidak. Perempuan itu sudah kapok menggoda bosnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD