Dengkusan geli Arslan keluarkan saat mengecek ponselnya lagi. Sisa 12 menit dari jam 3 dini hari. Setelah mengecek jam, ia memeriksa pesan gambar dari Alisha 5 jam yang lalu. Perempuan itu dengan murah hatinya mau merepotkan diri menggambar denah rumah agar Arslan tidak tersesat dan sampai di kamar dengan selamat.
Arslan membanting pintu mobilnya, mengunci, lalu berjalan memasuki rumah. Saat ingin mengetuk, ia menyadari pintu tidak terkunci.
"Ceroboh," bisik Arslan pada keheningan malam. Ia mendorong pintu masuk, lalu mendapati ruangan agak temaram. Sekitar dua lampu duduk yang masih menyala. Arslan mengunci pintu lalu berjalan sembari menganalisa ruangan ini. Rumah berlantai dua ini didominasi warna abu-abu dan putih. Terlalu minimalis untuk seorang pewaris yang memiliki kekayaan triliunan rupiah.
Malam ini, ia harus istirahat sebelum bekerja beberapa jam kemudian. Maka, Arslan menghentikan kegiatan analisanya. Menaiki anakan tangga yang terbuat dari kayu. Ia berhenti setelah tiba di lantai dua, menunjuk daun pintu di hadapannya. Itu kamar Alisha. Sementara Arslan di sebelah kiri. Maka, pria itu berbelok, memasuki kamar yang sudah dituliskan Alisha dalam denah sederhananya.
Tanpa memedulikan apa pun, setelah masuk, Arslan membanting pintu, melepas sepatu secara asal, dan membanting tubuhnya di kasur berukuran 200 × 180 senti tersebut. Namun, matanya tanpa sengaja terfokus pada kertas berukuran 70 × 100 senti yang tertempel di pintu. Ia mendesis kesal.
“Kamu pikir otak aku bermasalah, sampe pasang peraturannya di pintu pake tulisan segede itu?” tanya Arslan, yang sebenarnya tidak mengharapkan jawaban, karena berpikir pemilik kamar sebelah sudah terlelap.
“Buat jaga-jaga aja. Jangan sampai kamu lupa. Siapa yang tahu? Kamu bangun dari mabuk.”
Arslan sedikit kaget mendengar suara tersebut. Ia menegakkan punggung, bersandar di kepala ranjang.
“Kamu kenapa belum tidur?” tanya Arslan. “Tungguin aku?” Ia mendengkus geli. “Kamu kenapa juga cari tahu semua kegiatan aku? Kayaknya kamu perlu nambah aturan buat masing-masing kita nggak usik privasi yang lain.”
“Pertama, aku tadi udah tidur. Bangun, mau tahajud. Kedua, aku nggak nunggu kamu, karena ya terserah kamu. Pulang atau enggak. Ketiga, aku nggak cari tahu tentang kamu. Cuman nebak dan memperhitungkan. Kamu yang kayaknya lupa, sebelum kita menikah, Om Ridwan kasih data-data kita untuk saling dipelajari, dan aku tau karakter kamu dari sana. Aku juga nggak suka ngelanggar privasi orang.”
Data diri, ya? Arslan menyesal tidak mempelajari dengan baik karakter Alisha agar setidaknya punya bahan untuk membalas perempuan di sebelah.
“Kamu tidur, gih. Besok inget aturan nomor 2 sama nomor 3. Terima kasih udah patuh sama aturan nomor 1, 3, dan 5,” ucap Alisha pelan.
Arslan menoleh sejenak ke arah tembok. Mengangkat bahu tidak peduli, lalu merebahkan tubuhnya. Memejamkan mata, dan dirinya untuk terlelap.
***
Hell, ini masih setengah 7 pagi, tetapi mata Arslan sudah terbuka. Ia ingin melanjutkan tidur, tetapi malah bergerak gelisah yang berakhir dengan posisi tubuhnya berubah menjadi terduduk. Seharusnya, Arslan bangun jam 9 nanti, tapi ... entah. Ia menoleh ke arah tembok yang menjadi penghalang interaksinya dengan Alisha semalam. Tidak tahu dorongan dari mana, Arslan malah bersuara memanggil.
“Alisha?”
Namun, tidak ada balasan. Arslan melirik ke arah kertas di belakang pintu. Menatap jadwal mereka. Perempuan itu pasti sedang sibuk di dapur. Arslan mulai ikut bermain tebak-tebakan seperti yang Alisha lakukan kemarin pada dirinya, dan seharusnya, tebakan Arslan benar.
Arslan berdecak karena tidak bisa melanjutkan tidur lagi. Ia turun dari tempat tidur sembari mengusap tengkuk, menguap, atau mengupil. Menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Di rumahnya kemarin, ia tidak pernah mengganti pakaian sama sekali, karena prinsipnya, tidak keluar ya tidak mandi.
Usai mandi, Arslan memasuki walk in closet. Ia tidak bisa mencegah decakan kagum keluar dari mulut saat disambut oleh puluhan kemeja, jas bermerek, celana bahan di gantungan. Saat membuka sebuah laci, ada puluhan jenis dasi berjejer rapi. Mengecek laci sebelah, ada beberapa jenis jam tangan yang sebagian besarnya Arslan tahu dari merek ternama seperti Tissot, Daniel Wellington, Fossil, Seiko, Aigner, TAG Heuer, dan lainnya. Arslan tertawa garing. Perempuan itu cukup cerdas ternyata dalam hal kemewahan seperti ini.
Omong-omong, apa perempuan itu juga mengurus celana dalamnya? Arslan melepas handuk, dan hendak berganti pakaian. Ia menemukan jawaban dari pertanyaannya barusan di laci lain. Puluhan celana dalam pria tersusun rapi, kemudian menarik satu secara asal.
Setelah berpakaian lengkap, Arslan menuju cermin untuk memperbaiki penampilan. Menyisir rambut. Di samping cermin yang nyaris setinggi tubuhnya itu, terdapat lemari kaca berisi beberapa produk perawatan. Arslan tidak banyak tahu. Hanya mengambil satu yang paling ia hafal. Sunscreen. Matahari tidak boleh merenggut ketampanannya, karena ia yakin, rupa inilah yang menyebabkan si perempuan misterius itu jatuh hati pada Arslan.
Arslan keluar dari walk in closet. “Uh,” gumamnya saat menyadari keadaan kamar berantakan. Namun, siapa yang peduli? Arslan menuju pintu, membukanya. Sebelum kaki kirinya keluar, ia tertahan dan mengecek belakang pintu. Arslan hanya boleh keluar jam 7 pagi. Sisa 5 menit lagi saat Arslan mengecek si hitam Aigner A48025A yang melingkar di pergelangan tangan. Terpaksa harus menarik kaki, lalu menutup pintu.
Memilih menghabiskan sisa waktu dengan mengecek beberapa perlengkapan kerjanya di dalam tas yang sudah disediakan Alisha kemarin. Laptop, dan beberapa berkas perusahaan. Arslan mengecek beberapa map hingga sebuah panggilan masuk ke smartphone miliknya.
Dari Alisha.
“Halo.”
“Assalamu‘alaikum,” sapa Alisha. “Aku kira kamu belum bangun. Aku barusan siapin sarapan. Kamu bisa makan dulu terus siap-siap, supaya makanannya tetap hangat—”
“Aku udah siap,” potong Arslan.
“Oh, bagus. Ya udah, kamu keluar, gih. Aku udah di kamar.”
Sebenarnya, tanpa Alisha mengatakan pun, Arslan sudah tahu. Suara perempuan itu terdengar samar di balik tembok. Arslan membuka pintu, dengan telepon diapit antara pundak dan telinganya, karena map-map tadi juga harus dimasukkan ke dalam tas kerja.
“Arslan, aku mau jujur,” ucap Alisha kemudian. “Om Ridwan meragukan cara kerja kamu, dan protes tentang jabatan kamu sekarang.”
Arslan berhenti melangkah di pertengahan tangga. Fokus mendengarkan.
“Kamu bisa buktikan ke Om Ridwan kalau dugaan dia salah? Karena kalau kamu nggak bisa buktikan dalam waktu minimal sebulan, maka terpaksa, aku harus pertimbangkan usulan Om Ridwan buat turunin jabatan kamu. Aku nggak bisa mengabaikan saran beliau begitu saja.”
“Oke,” jawab Arslan dingin. “Aku bakalan buktiin ke kalian berdua, kalau aku bisa urus perusahaan kamu.”
Hell, masalah perusahaan keluarga yang jatuh ke tangan Vian itu karena kurangnya fokus Arslan karena sibuk mencari si wanita sialan. Karena ia nyaris mengabaikan berliannya, maka seharusnya Arslan bisa fokus lagi, dan membawa maju amanat dari Alisha.
“Kamu nggak perlu khawatirin itu,” lanjut Arslan, sembari menurunkan pijakan ke tangga berikutnya. Terus begitu hingga tiba di lantai dasar.
“Oke. Aku percaya. Ya udah, jangan lupa sarapan. Assalamu‘alaikum.”
Arslan sudah berada di tengah-tengah ruang tamu saat Alisha mengatakan hal tersebut. Ia mengembuskan napas kasar, kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Berbalik 180 derajat, menuju ruang makan.
Sejujurnya, tidak terpaksa-paksa amat, karena aroma masakan Alisha berhasil keluar dari kungkungan tudung saji dan menyapa Indra penciuman Arslan. Menggoda selera untuk segera mengecek apakah rasa masakan itu sebaik aromanya.
Membuka tudung saji, Arslan disambut oleh tiga menu lauk berbeda. Di piring depannya, sejenis sate, tetapi bukan yang biasa Arslan temukan. Ia mengambil satu tusuk, mengamati tumpukan daging yang di atasnya terdapat sambal rica. Setengah ragu, Arslan menggigit sedikit. Lalu terdiam.
Sial!
Enak!
Tiga menu aneh Alisha nyaris habis tak tersisa seandainya pria itu tidak ingat bahwa sekarang adalah awal pekan. Ia hanya bisa menyantapnya menjelang akhir pekan, agar sabtu minggunya bisa menjaga bentuk tubuh melalui gym.
Arslan berdeham ringan, kemudian mendorong ketiga piring yang masing-masing tersisa kurang seperempat. Setelah minum, pria itu baru menyadari ada nasi putih di sampingnya.
Dasar ....
Perempuan ajaib.
***