Arslan mengendarai Tesla Model 3 miliknya sembari menghubungi Edy. Sehari bekerja tanpa dibantu asistennya itu, Arslan serasa ingin meledak. Apalagi, ia ingat betul bagaimana ekspresi Ridwan setiap kali bertatap muka dengannya. Pria tua itu memandangnya remeh, meski tersamarkan dengan wajahnya yang terkesan bijaksana.
Setelah sambungan diterima, ia langsung bersuara. “Kita ketemu di rumah. Saya sedang dalam perjalanan sekarang.”
“Baik, Pak.” Asisten setianya langsung mengiyakan.
Arslan mematikan ponsel, lalu memasukkannya ke dalam saku. Ia memutar arah ke arah kanan, terus fokus pada jalanan sore ini.
Sisa beberapa belokan lagi, maka ia akan sampai di rumah. Kurang 200 meter lagi, tetapi ponselnya berdering dengan nada khusus, yang sengaja Arslan sematkan di nomor Alisha agar ia tidak melanggar aturan nomor 4. Maka, ia memelankan laju mobil sembari menarik ponselnya dari saku.
Benar, perempuan itu.
Arslan menggeser icon hijau. Baru membuka mulut untuk menyapa, suara perempuan itu sudah menyapa telinga.
“Halo, Assalamualaikum.”
“Wa‘alaikumussalam—eh?” Arslan tiba-tiba tercenung atas ucapan otomatis yang baru saja ia keluarkan. “Maksud aku, halo.”
Kekehan perempuan itu terdengar, Arslan mendengkus.
“Itu nggak sengaja. Kamu tiap nelpon salam mulu, aku otomatis jawab kayak gitu. Inget masa sekolah.”
“Mau sengaja atau nggak sengaja, tetap aja artinya baik.” Alisha terdengar ceria meski hanya ditebak Arslan melalui suara. “Kamu di mana sekarang? Nggak pulang ke rumah?”
Arslan belok ke arah kiri usai pertanyaan Alisha keluar barusan.
“Aku pulang sekarang. Pulang ke rumah aku.”
Arslan kemudian terdiam, menunggu reaksi marah yang mungkin dikeluarkan perempuan itu.
“Oh, oke.” Nada suara perempuan itu sedikit menyurut, tidak kentara. Namun, hanya dengan beberapa interaksi, Arslan jadi mengenali tingkat tinggi suara Alisha dan menyadari perubahannya sekarang, yang kalau orang biasa, kemungkinan tidak akan bisa merasakannya. “Bentar lagi jam 5 sore. Sisa beberapa menit lagi. Aku baru aja masak buat makan malam kamu. Karena waktu aku bentar lagi habis, aku mau saranin kamu buat pulang, makan sebentar, supaya makanannya nggak terlalu dingin nanti. Atau, nanti kamu bisa panasin sendiri makanannya?”
Makanan, ya?
Arslan menjilat kedua bibirnya sekilas, kemudian tanpa sadar memutar arah saat ia sampai di depan rumahnya.
“Pak! Pak Arslan!” Teriakan Edy terdengar di belakang mobil, tetapi Arslan tidak acuh dan fokus pada panggilannya sekarang.
“Aku pulang,” kata Arslan dengan nada malas dibuat-buat. “Aku males kerjain pekerjaan pembantu,” lanjutnya.
“Oke.”
Hanya itu?
Arslan berpikir perempuan itu akan berterima kasih berkali-kali karena perjuangannya dihargai. Ia masih menunggu, mungkin perempuan itu malu.
“Assalamu‘alaikum.”
Lalu, selesai. Panggilan singkat ini berakhir begitu saja. Arslan menurunkan ponsel secara perlahan yang layarnya menampilkan riwayat panggilan barusan.
***
Niatnya, Arslan akan mandi dulu karena panas matahari siang tadi membuatnya berkeringat banyak. Namun, tertunda lagi saat teringat ucapan Alisha. Makanan ajaib buatan perempuan itu bisa menjadi dingin jika harus menunggunya membersihkan tubuh.
Maka, pria itu berbelok arah. Menuju dapur, dan membuka tudung saji. Sebelum duduk, ia memperingatkan dirinya sendiri.
“Makan secukupnya, Arslan. Makan secukupnya. Jadwal nge-gym masih lama. Tubuh kamu bakalan gemuk kalau makan kebanyakan. Alisha nanti nggak tergila-gila lagi dan nggak ngasih kamu kenyamanan ini.”
Namun, saat pria itu sudah duduk di meja makan, ia langsung menarik sepiring lauk. Menambahkan nasi ke dalamnya dan ... sial. Ia lupa dengan mantra yang beberapa detik lalu diucapkannya.
Arslan begitu lahap menyantap perkedel berwarna ungu di tangannya. Tambah sambal kecap ala Alisha, rasanya luar biasa. Arslan bahkan nyaris lupa untuk mengerem mulut seandainya ia tidak tersedak. Pria itu langsung menuang air dan meminumnya hingga habis segelas. Kemudian bersandar di kursi. Masih sisa seperempat, sementara ketika Arslan menunduk, ada perutnya yang perlahan membuncit.
Memejamkan mata untuk mengontrol nafsu makan ternyata tidak cukup. Toh juga sisa sedikit, ya?
Arslan lanjut menghabiskan seperempat sisa makanan di piring lalu berakhir kaku di kursinya. Pria itu kesulitan bergerak. Namun, ia tetap memaksakan berdiri. Membawa tas kerjanya, meninggalkan ruang makan tadi. Menuju lantai dua, ke kamarnya.
Kala ia mendorong pintu kamar, Arslan tidak disambut dengan jaket di lantai, selimut setengah terjatuh di tempat tidur, bantal berserakan, atau handuk tidak kenal tempat. Rapi. Seperti saat kemarin ia memasuki ruangan ini. Benar-benar sama, kecuali dengan benda kuning tipis yang menempel di meja. Arslan berjalan ke arah sana setelah menutup pintu. Mendapati catatan kecil yang ditinggalkan Alisha.
[ Aku udah siapin air panas sama pakaian kamu tadi. Tapi airnya mungkin udah jadi biasa aja pas kamu sampai. Panasin lagi ya, sendiri:)]
“Repot amat bikin tulisan beginian,” ujar Arslan sembari menoleh ke arah tembok. Namun, ia tidak mendapati balasan apa pun. “Alisha?” Dan sepi. Perempuan itu tidak menjawab.
Saat Arslan mencoba menelepon, ia hanya mendengar dering ponsel perempuan itu di seberang. Namun, tidak ada tanggapan. Menandakan Alisha tidak ada di sebelah.
Keluar? Ini sudah sore.
Arslan kemudian mendengkus, ketika ia menyadari dirinya mulai penasaran dengan kegiatan perempuan ajaib itu. Maka, Arslan melepaskan tas kerja di atas meja, juga jasnya, kemudian masuk ke kamar mandi.
***
Dengan mengenakan kaus abu-abu, dan celana training hitam, Arslan mengecek jam sebelum membuka pintu. Masih ada 3 jam sebelum waktunya habis. Ia hendak keluar untuk bertemu teman-temannya malam ini, maka dari itu, sebuah jaket kulit terlampir di pundak.
Namun, saat ia keluar. Ia mendapati dirinya tertarik dengan desain rumah Alisha. Maka, Arslan hanya pasrah mengikuti gerak kaki menuju ujung lorong, di mana terdapat sebuah pintu lebar dari kaca. Arslan menyibak gorden putihnya, kemudian menarik daun pintu. Angin malam langsung menyapa. Tanpa menutup pintu lagi, ia keluar balkon yang di beberapa bagiannya dihiasi tanaman hijau segar. Arslan menghirup udara dalam-dalam. Meski di tengah-tengah perumahan padat, kediaman Alisha ini tetap menyegarkan hidung juga pandangan.
Kegiatannya tidak berlangsung lama. Karena fokus Arslan terganggu oleh suara di belakang tubuhnya. Saat berbalik, ia hanya mendapati sekelebat kain hitam tersapu angin.
“Alisha?” panggil Arslan. Namun, saat ia menyusul, hanya bisa mendapatkan suara pintu ditutup kasar. Arslan memilih masuk ke kamar setelah menutup pintu balkon dan menguncinya.
“Wei, ini aku yang trauma sama kamu. Kenapa kamu yang malah kayak takut sama aku, Sha?” ujar Arslan, sembari duduk di kursi kerjanya. Kedua kaki terangkat di atas meja. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dari tas kerja, dan menyalakan benda itu setelah terselip di antara kedua bibirnya.
“Takutnya kamu pingsan nanti kalau lihat aku,” jawab perempuan itu di seberang.
“Kamu juga tau tentang trauma aku?” tanya Arslan, tidak terlalu kaget. Malah mengisap dan mengembuskan asap rokok dengan santainya. Ia tahu, perempuan di seberang ini sudah tahu terlalu banyak mengenai hidupnya. Menyebalkan, tetapi jika itu sepadan dengan hidup nyamannya sekarang, Arslan memilih tidak peduli.
“Aku tau, makanya kasih kamu pilihan ini.”
“Tapi, kalau kamu buka cadar kamu itu, aku bisa nerima, sih.” Arslan melirik ke arah tembok, lalu mengisap dalam asap rokok masuk ke dalam tubuhnya. Ia mengusap belakang kepalanya sendiri. “Ini udah lama. Puluhan tahun lalu. Cuman ya, ingatan anak kecil susah banget dihapusnya. Aku susah hilangin rasanya pas diculik itu. Dan pakaian kamu itu ... kenapa harus mirip banget, sih? Hitam, nutup muka. Banyak kok perempuan muslim lain yang cuman pakai jilbab doang, enak dipandang.”
“Aku mau suami aku merasa spesial menikahi aku. Kamu nggak merasa istimewa saat memiliki sesuatu, eksklusif, cuman buat kamu aja. Nggak bisa dimiliki orang lain.”
“Tapi aku nggak berpikir begitu, omong-omong. Kamu perempuan. Kamu cuman jadi tempat penampungan nafsu laki-laki. Cuman itu. Nggak ada yang spesial.” Arslan membalas cepat.
“Oh, okey. Gimana kerjaan kamu hari ini?”
“Biasa aja. Ribet amat kalau aku ceritain dari awal. Lagian perusahaan kamu udah kelewat maju, aku leha-leha pun seharusnya nggak ngaruh sama sekali.”
“Ya coba aja leha-leha. Aku tinggal tendang kamu jadi karyawan biasa. Om Ridwan pasti jadi orang paling seneng kalau aku lakuin itu.”
“Sialan. Emang kamu ini nggak bisa ya nggak sebut-sebut nama om kamu itu?” Arslan berdecak. Ia mematikan puntung rokoknya di atas meja, berdiri dengan kasar, mengambil jaket lalu meninggalkan kamarnya.
“Inget pulang sebelum jam 4!”
Itu kalimat terakhir yang Arslan dengar malam ini dari perempuan ajaib itu.
***