Setelah memastikan jika pria yang menabraknya sudah tidak ada, secara perlahan Melinda mengangkat kaki kanannya, meringis saat melihat luka di pergelangan kaki jenjangnya.
"Astaga! Rasanya sakit banget," erang Melinda dengan kedua mata yang tampak berkaca-kaca.
Sebenarnya sejak tadi Melinda menahan diri agar tidak menangis, alasannya tentu saja karena malu. Jadi ketika pria yang menabraknya sudah pergi, maka Melinda bisa bebas menangis tanpa harus merasa malu sedikitpun.
"Ih, sakit banget," keluh Melinda dengan air mata yang sudah mengalir deras membasahi wajahnya, bahkan kini menetes jatuh membasahi pahanya.
Wajar saja jika Melinda merasa kesakitan. Hari ini Melinda memakai heals yang cukup tinggi, kurang lebih 10 cm, jadi ketika kakinya terkilir, maka rasanya pasti sangat sakit.
Melinda akhirnya menangis, sudah bisa membayangkan kalau selama beberapa hari ke depan, dirinya tidak akan bisa berjalan dengan baik dan benar.
Melinda meraih ponselnya yang berada dalam tas, dengan cepat menghubungi Liora meminta agar Liora segera datang. Melinda juga tak lupa untuk memberi tahu Liora kalau kakinya terkilir.
Tak sampai 10 menit kemudian, Liora datang dengan raut wajah sangat panik.
Untungnya, ketika tadi Melinda menghubungi Liora, Liora sudah dalam perjalanan menuju tempar parkir.
Liora menaruh semua barang belanjaannya di jok belakang, lalu duduk di kursi kemudi.
"Kaki lo kenapa bisa terkilir?" Liora bertanya panik, bahkan nyaris membentak Melinda.
"Ta-tadi ada yang nabrak gue," ucap Melinda sesegukan.
"Coba gue lihat kakinya." Tanpa menunggu persetujuan dari Melinda, Liora mendorong kursi yang Melinda duduki agar ia bisa dengan mudah melihat kaki jenjang Melinda. "Sakit banget ya?" tanyanya sambil meringis, ngeri melihat luka di kaki Melinda.
Melinda mengangguk, dan tangisnya semakin menjadi ketika Liora malah menekan pelan kakinya yang terluka.
"Makanya, kan udah gue bilang jangan pakai heals, pakali flat shoes aja!"
Melinda merenggut. "Li, sahabat lo ini lagi kesakitan, bukannya di tolongin malah dimarahain. Marahnya nanti aja, jangan sekarang."
"Siapa yang salah? Lo atau orang yang nabrak lo?" Liora mengabaikan keluhan Melinda.
"Orang yang nabrak gue, tadi dia fokus main hp sampai gak lihat gue pas dia mau belok."
"Mana orangnya?" Liora mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah, mencari orang yang sudah membuat sang sahabat terluka. "Biar gue marahin habis-habisan!" lanjutnya, penuh emosi membara.
"Dia udah pergi," cicit Melinda sambil menundukkan wajahnya.
"Bego!" Liora mengumpati Melinda, bahkan kini memberi Melinda tatapan tajam.
"Li, lo kok gitu sih?" Melinda merajuk, bahkan kini bibirnya sudah manyun. Melinda sudah tahu kalau Liora pasti akan mengumpatinya ketika mendengar jawabannya, tapi tetap saja, Melinda kesal begitu mendengar umpatan Liora.
"Kenapa biarin dia pergi? Lo harusnya minta dia buat tanggung jawab, anterin ke rumah sakit dong. Luka di kaki lo itu cukup parah, tahu!"
"Tadi dia udah mau anterin gue ke rumah sakit, tapi gue menolaknya." Melinda berkata pelan, sangat pelan, bahkan hampir menyerupai bisikan.
Liora ingin sekali kembali memarahi Melinda, tapi ketika melihat raut wajah Melinda yang kesakitan, Liora jadi tidak tega. Liora memejamkan matanya, kemudian menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan. Liora terus mengulanginya, dan berhenti ketika merasa kalau amarahnya sudah mereda.
"Ya sudah, sekarang kita ke rumah sakit. Luka di kaki lo harus segera di obati sebelum semakin parah."
Melinda hanya mengangguk, sama sekali tidak berniat untuk menolak ajakan Liora. Melinda membenarkan letak duduknya, begitu juga Liora.
Pria yang tadi menabrak Melinda sebenarnya tidak pergi, tapi mengawasi mobil milik Melinda dari dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari mobil Melinda.
Pria tersebut bernafas lega ketika melihat teman dari wanita yang ia tabrak sudah datang.
Awalnya pria tersebut berpikir kalau wanita itu menunggu kekasihnya, tapi ternyata menunggu sahabat atau mungkin saudaranya. Entah kenapa, perasaannya menjadi lega ketika tahu orang yang di tunggu wanita tadi adalah seorang wanita, bukan pria.
"Pak Jonathan!" Bian memberanikan diri untuk menegur sang atasan ketika melihat mobil yang sejak tadi Jonathan perhatikan keluar dari tempat parkir.
Jonathan sontak menoleh pada Bian yang duduk tepat di samping kanannya. "Iya, kenapa?"
"Kita harus segera pergi, Pak."
"Baiklah, kita pergi sekarang." Jonathan menegakan duduknya, sekarang hanya bisa menunggu kalau wanita tadi menghubunginya, memintanya untuk bertanggung jawab, mungkin.
Setelah mendapatkan jawaban dari Jonathan, Bian memerintahkan sang supir untuk melajukan mobilnya, kembali ke kantor.
Sejujurnya, Jonathan ingin sekali mengikuti mobil dari wanita yang tadi ia tabrak, tapi ia harus kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan penting yang harus ia selesaikan.
Sebelum menabrak wanita tadi, Jonathan sangat ingin kembali ke kantor, tapi setelah menabrak wanita tersebut, Jonathan malah tidak ingin kembali ke kantor.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Jonathan terus melamun, bahkan tanpa sadar, senyum-senyum sendiri.
Bian yang duduk di samping Jonathan menyadari gelagat aneh sang atasan. Tanpa bisa Bian cegah, keningnya berkerut, bingung tat kala melihat Jonathan yang senyum-senyum sendiri. "Pak, apa Anda baik-baik saja?"
Pertanyaan bernada teguran dari Bian berhasil menyadarkan Jonathan dari lamunannya.
Jonathan berdeham, kemudian mengangguk. "Seperti yang kamu lihat, saya baik-baik saja, Bian."
"Syukurlah, saya pikir Anda gila," balas Bian santai dengan fokus mata yang kembali tertuju pada layar tablet di genggamannya. Bian sedang mengatur jadwal kerja Jonathan untuk 1 minggu ke depan.
Jonathan menatap tajam Bian, tapi Bian mengabaikan tatapan tajam Jonathan.
Meskipun fokus mata Bian tertuju pada layar tablet dalam genggamannya, tapi Bian sadar jika Jonathan memberinya tatapan tajam.
Jonathan berniat untuk menoyor kepala Bian, tapi sayangnya, Jonathan tidak berhasil melakukannya karena Bian sudah terlebih dahulu menghindar.
Bian memberi Jonathan senyum mengejek, sedangkan Jonathan hanya bisa memutar jengah matanya sambil menahan perasaan kesalnya.
Jonathan memilih untuk memejamkan matanya, dalam hati berdoa agar ia bisa segera sampai di kantor, sementara Bian kembali fokus pada pekerjaannya.
1 jam sudah berlalu sejak Liora dan Melinda sampai di rumah sakit terdekat.
"Dokter, bagaimana kondisi kaki sahabat saya, Melinda?"
Dokter Katrina, dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi kaki Melinda mulai menjelaskan tentang kondisi kaki Melinda.
Melinda dan Liora menyimak dengan seksama penjelasan dari Dokter Katrina.
Ternyata, luka di kaki Melinda cukup parah. Jadi, untuk beberapa hari ke depan, Melinda akan kesulitan berjalan.
"Dokter, saya maunya di rawat jalan, boleh kan?" tanya Melinda sesaat setelah Dokter Katrina selesai menjelaskan tentang kondisi kakinya.
Belum juga Dokter Katrina menjawab pertanyaan Melinda, Liora sudah terlebih dulu berbicara. "Lo yakin mau rawat jalan? Enggak mau rawat inap?"
Atensi Melinda tertuju pada Liora yang berdiri tepat di samping kanannya. "Iya, gue yakin. Gue maunya rawat jalan, enggak mau kalau rawat inap."
Liora ingin sekali meminta agar Melinda melakukan rawat inap agar kakinya cepat sembuh, tapi Liora tahu kalau Melinda pasti akan kekeh meminta pulang.
"Ya udah, tunggu sebentar ya, biar gue diskusi dulu sama Dokter Katrina."
Melinda mengangguk, mempercayakan semuanya pada Liora.
Liora akhirnya berdiskusi dengan Dokter Katrina.
Dokter Katrina akhirnya memberi izin Melinda untuk pulang, tak lupa untuk memberi Melinda beberapa nasehat jika Melinda ingin kakinya cepat sembuh.
Saat ini, Liora dan Melinda sudah berada di unit apartemen milik Melinda.
Dengan penuh kehati-hatian, Liora membantu Melinda agar Melinda berbaring nyaman di tempat tidur.
Liora duduk di samping Melinda sesaat setelah menyelimuti sebagian tubuh Melinda menggunakan selimut tebal kesukaan Melinda.
"Gagal deh rencana kita untuk pergi ke club," lirih Melinda sambil menampilkan raut wajah masamnya.
"Enggak usah mikirin pergi ke club, sekarang sebaiknya lo fokus sama kaki lo, supaya cepat sembuh dan lo bisa kembali berjalan lagi seperti biasanya, sekaligus bisa kembali beraktivitas lagi."
"Iya, lo benar. Sekarang gue harus fokus sama kaki gue biar cepat sembuh." Melinda menatap kakinya, kembali meringis saat melihat luka yang terdapat di kakinya.
"Lo punya nomor ponsel orang yang nabrak lo?"
Atensi Melinda kembali tertuju pada Liora. "Buat apa?"
"Buat kasih tahu dia kalau lo jadi gak bisa jalan dan beraktivitas seperti sedia kala selama beberapa hari ke depan gara-gara dia."
"Apa itu harus?" lirih Melinda takut-takut.
"Harus!" Liora menyahut dengan tegas.
"Dia kasih gue kartu namanya sih, ada di tas kayaknya." Melinda menunjuk tasnya yang berada di nakas.
Liora meraih tas Melinda, mulai mencari kartu nama yang tadi Melinda sebutkan.
"Oh iya, gue belum menghubungi Gerry, kasih tahu dia kalau gue keseleo dan gak bisa jalan untuk beberapa hari ke depan."
Gerry adalah manager Melinda, orang yang bertugas untuk mengatur semua jadwal sekaligus pekerjaan Melinda.
"Gue udah kasih tahu Gerry." Liora menyahut tanpa menatap Melinda, fokusnya masih tertuju pada isi tas Melinda.
Cepat-cepat, Melinda menatap Liora dengan mata melotot. "Serius? Kapan?"
"Iya, tadi saat lo di periksa sama Dokter Katrina. Tapi, kalau lo mau hubungi dia, hubungi lagi aja. Biar semuanya jelas, karena sepertinya tadi Gerry berpikir kalau ucapan gue itu hanya candaan, dia gak percaya sama gue kalau lo beneran keseleo," jelas Liora secara rinci.
Melinda mengangguk, lalu menuruti saran Liora. Melinda menghubungi Gerry, memberi tahu Gerry tentang kondisinya saat ini.
Melinda sibuk mengobrol dengan Gerry, lain halnya dengan Liora yang sibuk menggerutu karena tak kunjung menemukan kartu nama dari orang yang tadi menabrak Melinda.
"Melinda, kartu namanya enggak ada." Liora mulai kesal karena tidak menemukan apa yang ia cari.
"Masa sih?" Melinda meletakkan ponselnya di nakas, lalu membantu Liora mencari kartu nama yang di maksud.
"Iya, ih. Kartu namanya enggak ada." Liora lantas mengeluarkan semua isi tas Melinda, dan ternyata memang benar, tidak ada kartu nama dari pria yang tadi menabrak Melinda.
"Jangan-jangan jatuh di mobil."
"Bisa jadi," keluh Liora.
Liora menyerah, tidak lagi mencoba untuk mencari kartu nama tersebut. Liora berbaring di samping Melinda, dan keduanya mulai terlibat dalam pembahasam yang sangat serius, seputar masa depan mereka nantinya.