"Aduh!" Melinda spontan memekik ketika merasakan pantatnya menyentuh lantai, dan semua barang belanjaan di kedua tangannya terjatuh, berceceran di lantai.
Semuanya terjadi dengan begitu cepat sampai Melinda tidak sempat untuk mencerna apa yang baru saja terjadi pada dirinya.
Orang yang baru saja menabrak Melinda sontak berbalik, kedua matanya membola sempurna ketika sadar kalau dirinya baru saja menabrak seseorang sampai akhirnya orang tersebut jatuh.
Setelah terdiam, mencoba mencerna apa yang ia alami, Melinda akhirnya tahu apa yang terjadi padanya. Dengan cepat, Melinda mendongak untuk melihat siapa orang yang baru saja menabraknya. Pria atau wanita? Jika wanita, mungkin ia akan memaafkannya, tapi jika pria, maka ia akan memarahinya habis-habisan.
"Om, kalau jalan itu lihat-lihat dong!" Bentak Melinda sambil memberi pria jangkung di hadapannya tatapan tajam, sangat tajam. Baguslah, ternyata orang yang baru saja menabraknya adalah seorang pria, jadi Melinda bisa menyalurkan amarahnya.
Pria yang baru saja menabrak Melinda sontak memejamkan kedua matanya ketika mendapatkan bentakan dari wanita yang baru saja ditabraknya.
"Damt! Suara wanita itu sangat seksi sekali!" umpat si pria dalam hati.
"Kalau jalan itu fokus, bukannya malah lihat ponsel terus!" Melinda kembali mengeluarkan kekesalannya, dan saat itulah kelopak mata pria yang menabrak Melinda terbuka.
Untuk sesaat, pria tersebut terdiam, mengamati dengan seksama wanita yang baru saja ia tabrak. Wanita yang saat ini terus memberinya tatapan tajam, bahkan tak lama kemudian memelototinya. Entah kenapa, tatapan tajam wanita tersebut sama sekali tidak membuatnya takut, dirinya malah merasa gemas sampai rasanya ingin sekali tertawa.
"Bukannya bantuin gue berdiri malah lihatin doang!"
Teguran yang Melinda berikan membuat sang pria tersadar. Pria tersebut mengulurkan tangan kanannya, ingin membantu Melinda berdiri, dan tak lupa untuk meminta maaf atas kesalahannya. "Maaf, Nona, saya benar-benar minta maaf. Saya tidak sengaja menabrak Anda."
"Ugh, suaranya seksi banget." Melinda membatin. Tanpa sadar, terpesona pada suara milik pria yang baru saja menabraknya.
Melinda sudah mendengar banyak sekali suara pria, tapi menurut Melinda, suara pria di hadapannya adalah yang paling seksi. Katakanlah Melinda lebay, tapi pada kenyataannya memang seperti itu.
Sejujurnya, Melinda bukan hanya terpesona pada suaranya, tapi juga pada paras wajah si pria yang sangat tampan rupawan. Melinda bahkan sangat menyukai aroma parfume yang menguar dari tubuh pria tersebut. Aromanya tidak tajam, tapi sangat lembut. Melinda yakin, aroma parfume pria di hadapannya ini juga tidak akan bisa tercium jika jarak di antara mereka tidak dekat seperti sekarang ini.
Melinda menatap tangan yang terulur di hadapannya, bukannya menerima uluran tangan tersebut, Melinda malah kembali mendongak.
Tatapan mata mereka berdua beradu, dan saat itulah Melinda bisa melihat bola mata pria tersebut dengan jelas.
"Astaga! Kenapa bola matanya sangat indah?" Jerit Melinda dalam hati.
Jika di amati dengan seksama, mulai dari postur tubuhnya, dan juga warna bola matanya yang tidak seperti warna bola mata orang Indonesia pada umumnya, Melinda yakin kalau pria di hadapannya ini pasti memiliki darah campuran.
"Nona, kenapa Anda diam? Apa ada yang sakit?" Pria yang baru saja menabrak Melinda seketika panik ketika melihat Melinda yang terus terdiam sambil menatapnya.
Pria tersebut lantas berjongkok di hadapan Melinda, dan tanpa aba-aba memeriksa pergelangan kaki kanan Melinda yang sepertinya terkilir.
Melinda terkejut ketika tangan kekar pria tersebut memeriksa pergelangan kakinya. Tanpa sadar, Melinda meneguk kasar ludahnya, dan itu karena ia baru saja merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Kulitnya tiba-tiba meremang ketika bersentuhan dengan kulit pria yang saat ini masih memeriksa pergelangan kakinya.
"Aw!" Melinda sontak meringis, secara refleks menarik kakinya sampai akhirnya tangan kekar si pria tidak lagi bersentuhan dengan kulitnya yang halus serta mulus.
Pria tersebut menghela nafas panjang, dugaannya tenyata benar, kaki wanita yang ia tabrak terkilir. "Sepertinya kaki Anda terkilir, Nona."
"Dan itu karena Anda, Om!" Melinda menyahut sinis.
Sang pria menatap Melinda dengan raut wajah datar. "Apa saya terlihat seperti Om-om?" tanyanya ketus.
"Iya!" Tanpa banyak berpikir, Melinda menjawab pertanyaan pria tersebut dengan tak kalah ketusnya.
"Padahal usia saya masih di bawah 35 tahun," gumam pria tersebut dengan nada merajuk.
"Astaga! Astaga! Kenapa wajahnya ketika merajuk sangat menggemaskan?" Lagi-lagi Melinda menjerit, tentu saja dalam hati. "Duh, bibirnya jangan manyun dong! Kan jadi pengen gue cium!" Melinda sontak memukul keningnya, kesal karena bisa-bisanya ia memiliki pikiran seperti itu di saat seperti ini, saat yang sama sekali tidak tepat.
"Nona, saya akan bertanggung jawab. Jadi berhentilah memukul diri Anda sendiri!" Si pria menahan tangan kanan Melinda, membuat Melinda tidak lagi memukul kening atau kepalanya. Pria tersebut tentu saja panik ketika melihat Melinda memukul keningnya sendiri.
Melinda menatap pria tersebut dengan mata melotot. "Bertanggung jawab?" tanyanya, nyaris beteriak.
"Iya, saya akan membawa Anda ke rumah sakit. Kaki Anda terkilir, jadi kita harus memeriksanya di rumah sakit."
"Oh rumah sakit," gumam Melinda yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri.
Melinda sempat berpikir yang tidak-tidak ketika pria tersebut mengatakan akan bertanggung jawab.
Melinda sempat berpikir kalau pria itu akan bertanggung jawab dengan cara menikahinya, dan setelah Melinda pikir-pikir, kenapa dirinya bodoh sekali? Bisa-bisanya berpikir kalau pria di hadapannya ini akan menikahinya. Padahalkan kakinya yang terluka, bukannya hamil sampai pada akhirnya pria itu harus bertanggung jawab dengan cara menikahinya.
"Bodoh! Dasar bodoh!" umpat Melinda dalam hati.
"Nona, Anda baik-baik saja?"
Teguran tersebut menyadarkan Melinda dari pikirannya sendiri, dan tentu saja Melinda jadi berhenti mengumpati dirinya sendiri.
"Apa kaki saya terkilir?" Melinda sontak menggerakkan kakinya, memilih untuk mengabaikan pertanyaan si pria.
"Sepertinya begitu," si pria menjawab ragu.
Melinda menatap sinis pria yang sudah membuatnya terjatuh. "Kenapa Anda terdengar sangat ragu?" tanyanya ketus, sarat akan amarah membara.
Percayalah, sejak tadi Melinda sudah menahan diri agar tidak menjambak pria yang sudah membuatnya terjatuh. Melinda tidak mau ada yang melihat aksi bar-barnya, apalagi jika sampai ada yang melihatnya kemudian merekamnya dan menyebarkan luaskan aksi bar-barnya ke banyak social media. Orang-orang pasti akan segera tahu siapa dirinya, karena saat ini wajahnya banyak sekali tampil di berbagai majalah, social media, juga televisi.
Akan ada banyak sekali kemungkinan yang terjadi. Pasti akan ada banyak orang yang membelanya jika tahu kalau pria di hadapannya inilah yang bersalah, tapi pasti tak sedikit pula yang akan menganggapnya lebay atau berlebihan. Apalagi pria di hadapannya ini sangatlah good looking, pasti akan ada banyak kaum hawa yang membelanya. Ck! Hanya dengan membayangakannya saja sudah membuat Melinda kesal bukan main.
"Tenanglah Melinda, tenang. Bersikaplah anggun, ok. Semangat!" Melinda menyemangati dirinya sendiri.
"Nona, saya bukan Dokter, jadi saya tidak tahu pasti, apa kaki Anda terkilir atau tidak? Karena itulah saya ingin membawa Anda pergi ke Dokter untuk memeriksa kaki Anda. Saya akan bertanggung jawab penuh atas biaya pengobatan Anda."
"Tidak usah!" Melinda menolaknya tegas.
"Ta–"
"Saya akan pergi sendiri, Anda tidak perlu mengantar saya." Melinda tidak mau lama-lama berdekatan dengan pria yang berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Ini bukan kali pertama ia merasa seperti ini, karena saat berada di dekat Reno, ia juga selalu merasakan hal yang sama. Tapi saat bersama dengan pria yang baru saja menabraknnya, detak jantungnya berpacu jauh lebih cepat, lebih cepat ketimbang saat bersama dengan Reno.
Pria tersebut menghela nafas panjang, dan memilih untuk tidak mendebat wanita di hadapannya ini karena ia sudah bisa menebak kalau wanita di hadapannya ini sangatlah keras kepala. Kalau tidak mau, ya tidak mau!
"Baiklah, mari saya bantu berdiri."
"Tidak usah!" Melinda kembali menolak.
Pria tersebut mengangkat kedua tangannya ke atas. "Yakin bisa berdiri sendiri?" tanyanya sangsi.
Melinda tidak menjawab pertanyaan sang pria, tapi malah mencoba untuk berdiri, dan ternyata berhasil. Melinda sontak menatap angkuh si pria, merasa bangga karena bisa berdiri sendiri.
Pria tersebut malah tersenyum manis. Senyum yang mampu membuat ketampanannya naik berkali-kali lipat, dan senyuman manis tersebut berhasil membuat Melinda terpesona untuk yang kesekian kalinya.
"Anda memang bisa berdiri Nona, tapi saat berjalan, kaki Anda pasti akan terasa sakit."
Ucapan pria tersebut memang benar. Melinda memang bisa berdiri, tapi ketika kaki kanannya menyentuh lantai, rasanya sangat sakit.
"Sakit, kan?"
Melinda hanya mengangguk sambil menunduk, mengamati kakinya yang sepertinya memang terkilir.
"Mari, biar saya gendoang." Pria tersebut juga tidak tahu, kenapa dari sekian banyaknya opsi yang ada, dirinya malah menawarkan diri untuk menggendong wanita tersebut.
"Eh enggak usah!" Melinda menepis tangan si pria, menolak ketika akan di gendong. "Cukup tuntun saya ke mobil saya, enggak perlu di gendong juga kali. Anda mau modusin saya?" Melinda memberi tatapan sinis.
"Saya hanya ingin membantu Anda, Nona, sama sekali tidak berniat modus."
"Kalau mau bantu, cukup tuntun saya, gak usah gendong saya juga!"
"Anda mau saya tuntun ke jalan yang benar atau jalan yang salah, Nona?" Si pria bertanya pelan, membuat Melinda tidak bisa mendengar dengan jelas ucapannya.
Melinda menatap pria tersebut dengan raut wajah bingung sekaligus penasaran. "Anda mengatakan sesuatu? Saya tidak bisa mendengarnya dengan jelas."
"Bukan apa-apa, mari saya antar ke mobil Anda. Mobilnya di mana?" Pria tersebut pura-pura mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah.
Melinda lantas memberi tahu di mana letak mobilnya.
Seperti apa yang Melinda katakan, pria tersebut menuntun Melinda menuju mobilnya yang berada tak jauh dari lokasi di mana Melinda terjatuh.
Melinda mencoba untuk tetap terlihat tenang dan tidak gugup ketika pria tersebut menuntunnya menuju mobil, tak lupa berdoa, semoga pria tersebut tidak mendengar irama detak jantungnya yang menggila.
Sekarang Melinda sudah berada di dalam mobilnya, dan duduk di kursi samping kemudi.
Melinda tidak mungkin duduk di balik kemudi, karena kaki kanannya sedang sakit. Melinda akan meminta Liora yang nanti mengemudikan mobilnya.
"Siapa nama Anda, Nona?"
Untuk sesaat, Melinda menahan nafas dan itu terjadi karena pria tersebut berbicara tepat di depan wajahnya sampai akhirnya Melinda bisa mencium aroma nafasnya yang sangat segar.
"Rahasia, itu artinya Anda tidak perlu tahu siapa nama saya." Melinda masih menyahut dengan nada ketus, memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain, ke mana pun asal tidak beradu pandang dengan pria tersebut.
Sekarang Melinda baru ingat kalau nanti malam dirinya tidak bisa pergi ke klub. Bagaimana bisa pergi ke klub kalau kakinya saja terluka? Melinda tidak mungkin pergi dalam keadaan kaki sakit dan pincang, karena itu hanya akan merepotkan Liora dan Melinda tidak mau.
Pria tersebut hanya tersenyum, tidak ingin memaksa wanita di hadapannya ini untuk menjawab pertanyaannya.
"Terima kasih," ucap Melinda sesaat setelah pria tersebut membantunya duduk dengan nyaman.
"Sama-sama, Nona. Sekali lagi saya minta maaf karena sudah menabrak Anda dan membuat Anda terluka." Pria tersebut lantas mengulurkan kartu namanya pada Melinda. "Ini kartu nama saya, kalau ada apa-apa, Anda bisa hubungi saya. Saya pasti akan segera datang."
Melinda menerima kartu nama tersebut, kemudian memasukkannya ke dalan tas tanpa melihatnya terlebih dahulu. "Saya maafkan, dan sebaiknya Anda berdoa agar luka di kaki saya tidak fatal. Kalau lukanya fatal, maka saya akan meminta Anda bertanggung jawab."
"Anda tenang saja Nona, saya akan bertanggung jawab. Saya tidak akan kabur ke mana pun." Si pria menyahut dengan penuh percaya diri.
Setelah itu, pria tersebut pamit undur diri, jadi sekarang Melinda hanya sendiri di dalam mobil.