BAB 2

1135 Words
MADU PILIHAN SUAMI 2 Oleh: Kenong Veyza Menyetujui kehadiran wanita lain dalam satu biduk rumah tangga adalah bencana. Mau seadil apa pun itu, rasa cemburu dan aroma persaingan akan selalu ada. Apalagi untuk menyelami kata rela juga bukanlah hal mudah. Nesha pun begitu. Selain tidak ingin berbagi cinta, ia juga tidak mempunyai kerelaan yang seluas jagad raya. Lebih baik undur diri daripada harus tersiksa batin dan nurani. "Ingat, Mas. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mengijinkan ada wanita lain dalam pernikahan kita. Toh, dari kita tidak ada yang salah. Hanya Tuhan yang belum memberi. Kalau kamu masih menganggap aku istrimu, tolong jangan lagi membahas hal ini," tegas Nesha, lalu melangkah pergi meninggalkan mereka. Kenzo sendiri langsung menunduk. Ia tidak tahu harus membujuk Nesha dengan cara seperti apa lagi. "Kenapa susah banget minta ijin sama dia, Bu? Padahal aku hanya ingin menjadi seperti pasangan pada umumnya," tanya pria yang begitu kuat meremas kepalanya. "Kamu tenang saja. Ibu yang mengijinkan. Sebab kamu memang harus punya anak. Setidaknya untuk meneruskan keturunanmu memang lebih baik jika dari darah dagingmu," ucap wanita bergelar ibu itu yang memberi dukungan penuh. Kenzo menatap sang ibu dengan setengah sorot pengharapan. Namun, tetap ada keresahan yang tersembunyi dalam hatinya. "Kalau ijin dari Ibu hanya memiliki setengah pengaruh. Tetap keputusan Nesha yang paling utama, Bu," jawabnya, lalu mengusap wajahnya untuk mencari kesabaran. Sang ibu mengusap pundak anak lelakinya, "Tapi, jika sampai nanti dia tidak memberikan, ijin, kamu tetap harus melakukan itu. Tanpa ada atau tidaknya ijin dari Nesha." "Apa kamu mau hidup tanpa kehadiran anak? Sedangkan tujuan menikah itu sejatinya untuk mencari keturunan. Memang ada dari mereka yang bisa bertahan dalam pernikahan tanpa anak, tapi percayalah di balik itu pasti mereka kesepian dan kehampaan," imbuh wanita yang dulu juga menantikan momen bahagia itu dengan banyak rasa. Kenzo menggeleng, "Aku akan mencoba membujuk Nesha lagi, Bu. Sekarang aku mau berangkat ke cafe." "Ya sudah. Kamu hati-hati. Jangan terlalu memikirkan hal ini," pesan sang ibu yang kasih sayangnya seolah tidak pernah habis. Pria yang berniat memilih cara menghadirkan wanita lain untuk kesempurnaan hidupnya lantas berlalu pergi. Sedangkan wanita bergelar ibu itu mencoba menemui Nesha sebelum pulang. "Sha ... Ibu boleh masuk?" Sang ibu mengetuk pintu sembari meminta izin untuk masuk ke kamar anak menantunya. Nesha yang masih merasa kesal dengan permintaan aneh prianya mencoba bangkit dan membuka pintu. Meskipun wanita yang dianggap seperti ibunya sendiri selalu mendukung Kenzo, tetapi ia juga memilki kasih sayang untuknya. "Ada apa, Bu? Ibu juga ingin membujukku?" tanya Nesha tanpa mengalihkan pandangan. Wanita bergelar ibu itu tersenyum. "Kalau iya, apa kamu mau memberi Kenzo ijin? Ibu sebenarnya juga tidak menyukai ada pihak ketiga dalam pernikahan. Tapi, terkadang ada keadaan yang tidak bisa kita kendalikan." "Kalau Ibu tidak menyukai hal itu, kenapa memberi dukungan untuk Kenzo?!" tanya Nesha dengan suara sedikit meninggi. "Karena ibu tahu kalian juga menginginkan mendengar suara tangisan bayi. Anggap kamu tidak mengijinkan dia menghadirkan wanita lain, tapi kamu bisa membuat perjanjian untuk itu. Jadi, tolong pikirkan lagi, Sha," jawab sang ibu yang diam-diam menyelipkan bujukan. Nesha bergeming. Ia juga sangat memahami yang dikatakan sang ibu. Namun, rasanya masih enggan untuk memikirkan. "Ibu harap kamu mau memikirkan dan menulis semua isi perjanjian tersebut sesuai yang kamu mau. Ibu pulang dulu," ujar sang ibu seolah mengingatkan, lalu melangkah pergi menjauh dari kamar wanita yang sudah menemani anak lelakinya delapan tahun lebih. Nesha sendiri hanya bisa menatap kepergian wanita bergelar ibu itu dengan perasaan campur aduk. Lalu memasuki kamar dalam pikiran berantakan. "Apa dengan perjanjian yang dibuat di atas kertas bisa menjamin keutuhan pernikahan? Sedangkan janji di hadapan Tuhan saat menikah pun bisa dengan mudah diingkari? Jika begini, aku harus percaya dengan siapa lagi?" tanyanya pada diri sendiri dengan keadaan pipi yang sudah banjir air mata. Sementara di cafe, Kenzo jutsru sedang melamun untuk memikirkan bagaimana cara mengubah pikirkan Nesha agar mengizinkannya menikah lagi. Ia sebenarnya juga sudah sejak lama ingin menyampaikan hal tersebut. Hanya saja ada perasaan tidak tega dan takut menyakiti. Akan tetapi, sekarang kebenaran itu muncul karena keinginan memilki keturunan semakin tidak terkendali. Apalagi usianya setiap tahun pun semakin bertambah. "Aku haru mencari alasan apalagi untuk meyakinkan Nesha? Aku hanya ingin punya anak dari darah dagingku sendiri, bukan hasil adopsi untuk memancing kehamilan," gumamnya dalam hati sambil menyenderkan kepalanya di kursi. "Mungkin lebih baik jika aku berjalan-jalan sebentar. Rasanya kepala mau pecah," ucapnya, lalu keluar dari ruangannya dan menyusuri tangga hingga ke lantai dasar cafe. Kenzo dapat melihat berbagai orang yang begitu bahagia menurut pandangannya. Akan tetapi, ia langsung tersenyum getir saat mendapati pasangan muda yang bergantian makan sambil menjaga anaknya. "Bahagia sekali keluarga kecil itu. Menikah muda dan sudah memilki anak. Melihat bocah itu tertawa saja rasanya jadi ikut tertawa. Sungguh hal yang membahagiakan," lirihnya dengan tatapan iri. "Sabar, Kenzo. Kamu sudah berjuang dan berusaha untuk menjadi keluarga seperti itu. Termasuk sekarang yang meminta persetujuan Nesha. Semoga pintu hatinya segera dibukakan," imbuhnya lagi, laku kembali berjalan menyusuri lantai dasar dan mencari udara segar. Setelah merasa sedikit tenang, Kenzo kembali ke ruangannya. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya. Meskipun kepala berisi penuh banyak hal, tetapi tetap menyelesaikan beberapa laporan pendapatan cafe per harinya. Beruntung keadaan keuangan semakin membaik dan membaik. "Kira-kira pakai ide apalagi untuk menarik lebih banyak pengunjung, ya?" pikirnya yang kerap berinovasi untuk perkembangan cafenya agar tidak ketinggalan dan tetap bertahan. "Kenapa malah jadi pusing?" keluh Kenzo sembari memijat pelipisnya. "Mungkin sebaiknya aku pulang ke rumah dulu," ujarnya lagi, lalu keluar dari ruangannya. Ketika sampai di luar cafe, pria yang begitu mendambakan kehadiran malaikat kecil dalam pernikahannya melihat dua anak sedang bermain. Tawa keduanya begitu menenangkan hati. "Hati-hati mainnya. Orang tua kalian mana?" tanya Kenzo dengan suara begitu lembut. "Ibu sedang mengambil sesuatu di motor. Kami disuruh menunggu, Om," jawab salah satu dari mereka. "Apa kalian bersaudara?" Kenzo bertanya lagi. "Iya, Om. Dia adikku," jawab bocah yang tubuhnya lebih tinggi dari bocah sebelahnya. "Kalau begitu, saya temenin, ya? Ini tempat umum, takut terjadi sesuatu. Meski area cafe ini terbilang cukup akan, tapi keadaan tidak pernah ada yang tahu," ujar pria yang tiba-tiba keinginan untuk bermain dengan mereka. Kedua anak itu mengangguk bersamaan. Bahkan, mereka dengan mudah membaur satu sama lain. Kenzo juga bisa mengikuti permainan mereka. Ya, gelak tawa pun terdengar seperti nyanyian paling indah untuk gambaran seorang ayah. Dari arah lain, wanita yang hendak mengantar bekal makan siang untuk prianya seketika menghentikan langkahnya. Nesha tertegun melihat prianya begitu akrab dan bahagia bersama anak-anak yang tidak tahu siapa. "Ternyata kamu sebahagia itu bermain dengan anak-anak, Mas ...," batinnya dengan senyum hampa. Nesha mencoba menatap langit biru untuk menahan gejolak emosinya. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa menjadi wanita paling menyedihkan di dunia. "Apa memang aku harus mengijinkan Mas Kenzo menikah lagi? Membayangkan saja, aku benar-benar tidak bisa. Tapi melihat dia begitu bahagia bermain dengan anak-anak itu rasanya sungguh menyakitkan. Apa untuk memilih hidup harus sesulit ini?" -----***------ Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD