Ghani tiba dirumah dengan perasaan yang campur aduk. Sepanjang perjalanan ia berusaha untuk tidak memikirkan permintaan aneh Kamila kepada dirinya. Meskipun alasannya juga cukup masuk akal tapi ia tidak mau terlibat lebih jauh lagi dengan dirinya, yang mungkin nanti akan merugikan dirinya sendiri. Ghani baru menyadari bahwa keadaan rumah kosong, Nesya belum pulang dari kantor. Akhir-akhir ini ia biasa pulang larut dengan alasan lembur. Ghani tidak bertanya lebih jauh lagi karena masih ada perasaan canggung diantara mereka. Maka dari itu ia memutuskan untuk melakukan ritual pulang kerja seperti biasa.
Keesokan harinya, Ghani sudah melihat Nesya sedang duduk di sofa ruang tamu dengan secangkir teh di tangannya. Ia masih berpakaian rumah tampak sangat bersantai pada pagi ini.
“Semalem pulang jam berapa?”
“Jam sebelas.”
Ghani ingat pada jam segitu ia sudah terlelap dan tidak menyadari kepulangan adiknya. Ia hanya mengangguk lalu mengambil selembar roti lalu mengolesinya dengan selai cokelat kacang. “Kamu libur hari ini?”
“Iya, aku ambil cuti. Hari ini mau istirahat aja dirumah.”
“Belum enakan?” Ghani memeriksa muka Nesya yang masih pucat. Sebagai jawabannya, Nesya menggeleng.
“Mau dianterin?”
“Gak usah, Cuma pergi ke klinik depan doang kok.”
“Ya udah deh. Gue mau siap-siap dulu, kalo nanti butuh sesuatu langsung kabarin ya.”
Nesya tidak langsung menjawab melainkan menatap kakaknya cukup lama dan dalam, kemudian ia mengangguk. “Ok, makasih ya.”
Ghani mengangkat kedua bahunya lalu melenggang masuk kedalam kamar mandi meninggalkan Nesya yang sekarang sedang bergelut dengan pikirannya.
***
Ghani bertemu dengan Kamila lagi sepulang dari kantor, ia sedang menunggu di lobby kantor. Ghani melihat rekan kerjanya yang lain tidak begitu memperhatikan. Tadinya Ghani juga mau berpura-pura tidak melihat hanya Kamila sudah memergokinya lalu melambaikan tangannya. Mau tidak mau Ghani melipir keluar dari rombongan lalu menghampiri Kamila yang sedang duduk di sofa.
“Ada apa lagi bu?”
“Duduk dulu, Ghani.” Kamila mempersilahkan Ghani duduk membelakangi kerumunan pekerja yang lalu lalang. “Saya mau minta maaf soal kemarin. Tidak seharusnya saya langsung berbicara seperti itu.”
Ghani terdiam sebentar, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tidak mau memperpanjang suatu masalah lebih tepatnya.
“Kamu mau langsung pulang?” tanya Kamila lagi.
“Iya.”
“Saya antar ya, mau?”
“Tidak usah repot bu. Saya biasa pulang sendiri kok.”
“Gak apa, sebagai bentuk minta maaf.”
“Gak perlu bu, beneran.” Ghani melihat ke sekelilingnya takut ada yang memperhatikan mereka.
“Semakin kamu menolak, kita semakin lama berada disini. Udah, yuk.” Kamila bangkit lalu mengamit tangan Ghani dan bersama-sama berjalan menuju parkiran.
Selama perjalanan, Ghani kebanyakan diam sedangkan Kamila bercerita tentang kehidupannya di kantor dan juga tentang kisah asmaranya. Pikirannya bergelut sendiri sehingga ia tidak begitu menyimak cerita Kamila. Beberapa saat kemudian, mereka sampai didepan sebuah rumah sederhana yang didepannya di tanam beberapa tanaman hias. Ghani mempersilahkan Kamila untuk mampir. Sebenarnya Ghani berharap ia menolak tapi tak disangka perempuan langsing itu mengiyakan ajakan Ghani untuk mampir ke rumahnya.
“Rumah kamu adem banget ya rasanya.” komentar Kamila ketika memasuki ruangan dan duduk di sofa ruang tamu yang sudah tua.
“Maaf sederhana sekali rumah saya bu.”
“Gak masalah.”
“Ibu mau minum apa?”
“Gak usah repot, yang ada aja.”
Ghani mengangguk kemudian berjalan menuju dapur dan menyuguhkan minuman teh hangat dan beberapa beberapa potong kue brownies yang masih ada di kulkas.
“Kamu tinggal sendirian?”
“Berdua dengan adik saya satu-satunya.”
“Orang tua kamu dimana?”
“Udah meninggal cukup lama, beberapa tahun yang lalu karena kecelakaan.”
Raut muka Kamila meredup. “Maaf, saya turut berduka cita.”
Ghani mengangguk memaklumi. Ia tidak punya bahan obrolan lalu lebih memilih memainkan kan ujung kuku yang sudah lebih panjang dari biasanya. Lalu tiba-tiba ia jadi teringat dengan Nesya yang setau Ghani hari ini ia cuti untuk pergi ke klinik. Ia pamit sebentar untuk mengecek Nesya di kamarnya yang ternyata kosong. Ghani agak kebingungan kemana perginya Nesya tanpa memberitahunya.
“Ada apa Ghani?” Kamila menyadari kegelisahan Ghani.
“Tadi pagi adik saya bilang mau pergi ke klinik karena tidak enak badan. Tapi sekarang dia gak ada dikamar, seharusnya kan istirahat kalo memang lagi sakit.”
“Mungkin lagi pergi sebentar ke luar, minimarket misalnya?”
“Mungkin juga.” Ghani mengambil handphone dan mengirim pesan singkat kepada Nesya namun pesan itu tidak langsung dibalasnya.
Handphone Ghani berdering, ada sebuah nomor tak dikenal menghubunginya. Ghani menekan tombol hijau dan menjawab telepon itu.
“Halo,”
“Dengan saudari Ghani Afrin?” tanya suara perempuan.
“Iya betul, dengan siapa?”
“Saya dari pihak rumah sakit bu, ingin menyampaikan berita bahwa yang bernama Nesya mengalami kecelakaan bersama dengan teman prianya sekarang sedang kritis. Bisa datang kesini bu?”
“Rumah sakit mana?” Penelepon itu menyebutkan nama rumah sakitnya yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah. Ghani mematikan telepon dan bersiap untuk pergi. “Maaf bu saya harus pergi sekarang.”
“Ada apa Ghani? Tadi kamu bilang rumah sakit? Siapa yang di rumah sakit?”
“Adik saya--- kecelakaan bu. Saya harus nyusulin sekarang.” Pikiran Ghani sudah kalut.
“Saya ikut ya, biar saya antar. Jangan menolak, kamu lagi keadaan kalut begini.”
Ghani tidak mau berlama-lama berdebat dengan Kamila maka ia mengiyakan tawarannya.
***
Sesampainya di rumah sakit. Ghani langsung berlari ke meja informasi dan mencari tau dimana keberadaan Nesya sekarang. Kamila terus berada disampingnya dengan setia menemani Ghani. “Sabar dulu, Ghan. Nesya lagi di tangani sama dokter sekarang.”
Seorang perawat datang menghampiri Ghani menyerahkan sebuah map berisi surat pernyataan mengizinkan melakukan tindakan operasi. Kecelakaan yang menimpa Nesya rupanya cukup membuat luka parah baginya. Tanpa perlu memikir lebih panjang, Ghani membubuhkan tanda tangannya.
“Siapa yang bersama dengan Nesya, suster? Bagaimana kejadiannya?” Kamila bertanya mewakili Ghani yang tampaknya tidak bisa bertanya lebih lanjut.
“Seorang laki-laki bernama Dennis. Menurut beberapa saksi katanya mobil yang dikendarai oleh temannya Nesya ini bertabrakan dengan mobil yang datang dari berlawanan arah. Sebelum kejadian, mobil ini melaju kencang tidak terarah.”
Ghani terduduk lemas mendengar penjelasan dari perawat. Kamila membantu Ghani berdiri dan memapahnya ke bangku yang berada disebelahnya. Selama beberapa jam kemudian, waktu terasa sangat lama sehingga akhirnya seorang dokter datang menghampiri Ghani. “Siapa diantara kalian keluarga dari Nesya?”
Ghani bangkit. “Saya dokter. Bagaimana keadaan adik saya?”
“Kondisinya sudah lebih membaik, tapi saya tidak berhasil menyelamatkan janin yang sedang dikandung Nesya.”
Ghani sontak melongo terkaget. “Maksud dokter Nesya dalam keadaan hamil?”
“Iya, memang kamu tidak tahu?”
Ghani menggeleng, belum tuntas rasa cemas nya sekarang ditambah dengan informasi bahwa Nesya hamil. Ada rasa marah dan terpukul yang dirasakan oleh Ghani, belum selesai luka nya atas pengkhiatan Nesya dan Dennis sekarang harus ditambah kenyataan bahwa ternyata hubungan mereka sudah berjalan sampai sejauh itu.
“Lalu bagaimana dengan laki-laki yang bersama dengan Nesya, dok?” tanya Kamila.
“Saudara Dennis tidak mengalami luka yang begitu parah, nanti kita lihat kondisinya setelah siuman. Mengenai Nesya, karena luka dikepalanya cukup parah. Sampai disini usaha kami untuk menolong mereka selebihnya mari kita berdoa kepada yang maha kuasa.” Dokter pun pamit.
Kamila melihat Ghani kembali terduduk di bangku dengan pandangan kosong. “Semoga Nesya baik-baik saja, ya Ghan. Saya bantu do’a.” Kamila mengelus punggung Ghani.
“Makasih bu. Maaf sudah merepotkan.”
“Gak masalah, saya senang bisa ikut mengantar kamu kesini. Kalau tidak, mungkin saya juga akan ikut khawatir. Maaf juga kalau saya jadi mendengar berita yang tidak baik.”
Ghani menggeleng. “Makasih udah nganterin saya kesini. Ibu gak perlu lagi repot nemenin saya.”
Kamila cukup mengerti dari ucapan Ghani bahwa ia juga memerlukan waktu untuk sendiri. “Baik, saya pulang dulu, kalau kamu perlu bantuan jangan sungkan hubungi saya ya.” Kamila mengeluarkan kartu nama dari dalam tas nya.
***
Beberapa bulan yang lalu, Ghani mengetahui bahwa pacarnya ternyata menyukai adikknya dan telah merasakan hubungan dibelakangnya dan sekarang Ghani kembali harus menghadapi kenyataan bahwa ternyata hubungan mereka sudah berjalan lebih jauh dari hubungannya sendri. Nesya hamil anak Dennis dan sekarang ia terkapar lemas tak sadarkan diri dan harus kehilangan bayinya pula. Ghani tidak bisa meminta penjelasan dari Nesya ataupun dari Dennis, mantan pacar dan juga merupakan sosok yang harus bertanggung jawab dengan semua ini.
Satu hal yang ia ketahui bahwa meskipun hatinya sakit pilu dan hancur luar biasa, tapi Ghani takut kehilangan Nesya. Keluarga satu-satunya yang ia punya. Ia tidak bisa membayangkan bahwa dari kecelakaan ini juga akan merenggut nyawanya. Tidak masalah ia harus kehilangan Dennis, pria yang pernah ia cintai namun ternyata tidak baik untuk dirinya. Bukan untuk dirinya saja, tapi juga untuk Nesya.
Selama beberapa hari, Ghani harus bulak-balik ke rumah sakit memantau keadaan Nesya yang belum juga terbangun dari tidurnya. Kepalanya diperban dan juga segala macam alat bantu terpasang di tubuhnya. Hatinya bergetar setiap kali ia memasuki kamar masih dengan keadaan yang sama. Terakhir, kabar dari Dennis udah siuman membuat darah Ghani kembali mendidih. Rasanya ia mau langsung menghampiri pria itu dan menuntut kejelasan tapi ia harus tahan karena tidak ingin menimbulkan keributan.
Baru sekitar esok hari nya, Dennis datang ke kamar Nesya. Ghani sedang duduk merapihkan bunga yang baru dibelinya di depan rumah sakit.
“Ghan…” sapa nya.
“Mau apa kamu kesini?”
“Gimana keadaan Nesya?”
“Menurut kamu gimana?”
Raut muka Dennis berubah muram. “Maafin aku, harusnya aku lebih fokus dijalan. Semuanya mendadak. Aku kaget.”
“Kalau kamu udah berani melakukan seharusnya kamupun tau konsekuensi dari semua ini.”
“Iya aku gak punya pembelaan, aku salah. Maafin aku.”
“Nesya kehilangan bayi nya.”
Dennis tidak bereaksi. Ghani menatap pria itu tampak terpukul. “Bukannya kamu senang dengan berita ini?”
“Aku bukannya tidak mau bertanggung jawab, justru itulah usulan pertama kali ketika Nesya memberi tau aku. Dia yang ingin menggugurkan bayi itu. Dia tidak mau lebih jauh lagi menyakiti kamu.”
“Kamu jangan bohong.”
“Aku gak berbohong. Kamu bisa bertanya pada Nesya nanti ketika dia sudah siuman.”
“Kamu bukan cuma menyakiti aku aja, kamu juga udah menghancurkan Nesya. Dia satu-satunya keluarga yang aku punya. Kenapa kamu tega sekali?” Ghani tak kuasa menahan emosinya. Perlahan air matanya bergulir turun.
“Aku gak pernah niat untuk nyakitin kamu dan juga Nesya.”
“Tapi pada kenyataan begitu. Bisa gak kamu gak usah hadir lagi di antara kita?”
Dennis bergeming.
“Anggap aja dengan kejadian ini, adalah langkah untuk benar-benar memisahkan kamu dari aku dan juga dari Nesya.”
“Ghani tolong ijinkan aku untuk berada disisi Nesya setidaknya untuk sekarang.”
“Tolong Dennis, kamu jangan egois lagi. Lihat apa yang udah kamu lakuin pada dia? Aku gak masalah kalau kamu gak perduli lagi dengan perasaan aku yang masih tersiksa kalau melihat kamu. Setidaknya lakuin ini demi Nesya.”
“Kalau Nesya masih ingin sama kamu, biar dia yang akan datang menemui kamu.” Ujar Ghani lagi.
Dennis menghembuskan napas nya berat lalu berbalik badan dan meninggalkan kamar. Ia berpaspasan dengan seorang wanita yang tidak dikenalnya didepan pintu. Ia adalah Kamila.
***
Langkah Kamila terhenti ketika hendak memasuki kamar tempat Nesya dirawat. Pintu kamar memang tidak sepenuhnya tertutup rapat, dan Kamila mendengar ada suara Ghani sedang berbicara dengan seorang pria dan kedengarannya cukup serius. Entah mengapa ia tidak mundur tapi malah bergeming untuk mendengarkan pembicaraan Ghani lebih lama lagi. Selama itu pula lah, Kamila cukup terkejut dengan apa yang dia dengar.
Kamila melangkah mundur namun sosok pria yang keluar dari kamar langsung memergokinya, tanpa bertanya apa-apa, pria itu langsung berjalan melewati dirinya. Kamila memerhatikan pria itu melangkah menjauh. Setelah ini, Kamila jadi ragu untuk menemui Ghani didalam, maka ia memutuskan untuk menunggu di bangku tak jauh dari kamar.