Chapter 8: Bimbang

1032 Words
Seorang perawat datang memasuki kamar rawat lalu menghampiri Ghani bahwa ada sesuatu yang harus disampaikannya, perawat itu menuntunya ke meja administrasi dan memberitahukannya bahwa setelah beberapa hari ini harus melakukan p********n rumah sakit. Ghani sama sekali lupa perihal itu langsung meminta rincian biaya rumah sakit selama beberapa hari Nesya dirawat dan menjalani operasi. Ghani terkejut ketika melihat nominal angka yang tertera di lembar kertas. Ia tahu betul tabungannya tidak sampai meyentuh angka segitu. Ghani menggigit bibirnya bingung. “Saya akan kembali lagi untuk melunasi masalah p********n ini.” Ujarnya lalu langsung bangkit. Ghani tidak langsung kembali ke kamar rawat Nesya, ia berbelok menuju kantin dan memesan kopi hitam panas. Ia membawa kopi itu ke bangku taman depan yang cukup sepi dari lalu lalang orang-orang. Sambil masih membawa lembar tagihan rumah sakit, Ghani menyeruput kopi panasnya perlahan. Yang ada dipikirkannya saat ini langkah apa yang harus dia ambil untuk bisa mendapatkan uang dalam jumlah banyak. Mereka tidak punya uang tabungan yang banyak. Tabungan mendiang orang tuanya juga habis terpakai untuk biaya pendidikan mereka berdua. Satu-satunya asset yang tersisa hanyalah rumah peninggalan orang tua mereka yang sekarang masih mereka tempati. Apakah ia harus menjual rumah itu? Bagian yang tersisa dari orangtuanya hanyalah rumah itu. Ghani tidak sanggup membayangkan bagaimana. Lalu kemudian ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga adiknya satu-satunya. Kalau saja, ia bisa langsung memaafkan kesalahan mereka berdua dan tidak menjauhi Nesya mungkin ia tidak harus mengalami kecelakaan itu. Tidak, kalau saja Ghani tidak bertemu dengan Dennis dan berpacaran dengan pria itu, Nesya dan Dennis mungkin akan tidak akan bertemu. Ghani merasa dadanya sesak. Ini semua memang salahnya. Air matanya lalu perlahan turun kemudian semakin menjadi sehingga membuatnya sesegukan dalam tangisnya. Ditengah itu, Kamila datang menghampiri memberikannya selembar tissue. Ghani mendongak dan melihat wanita cantik itu sedang menatapnya. “Bu Kamila ngapain disini?” seraya mengambil tissue pemberiannya. “Saya memang mau bertemu dengan mu. Sebenarnya saya udah datang dari tadi, cuma ternyata kamu lagi ngobrol serius dengan laki-laki. Jadi saya memutuskan untuk keliling sebentar dan malah ketemu kamu disini.” Ghani tidak merespon, ia menunduk. “Gimana keadaan adik kamu?” “Masih belum sadarkan diri setelah operasi.” Kamila mengusap punggung Ghani. “Mari kita doakan yang terbaik untuk Nesya.” Ghani mengangguk. “Terus kamu kenapa disini?” Ghani tidak langsung menjawab. Mungkin lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa. “Ada masalah?” Kamila melihat selembar kertas yang ada di genggaman Ghani. Sedikit isinya terbuka dan Kamila sudah mengerti apa yang sedang terjadi. “Ghani, saya mau bicara serius.” Ghani menoleh dan melihat Kamila yang sekarang sedang melihatnya dengan wajah serius. “Ada apa bu?” “Saya mau membayar semua biaya rumah sakit Nesya.” Ghani mengerutkan kening. “Maksudnya?” “Saya tau kamu lagi kesulitan untuk membayar biaya rumah sakit. Saya bermaksud untuk membantu.” “Tapi…” Ghani menambahkan. Ucapan Kamila terasa menggantung baginya, ia bisa langsung menebak, ada kalimat selanjutnya. Kamila mengangguk. “Tapi, kamu harus melakukan sesuatu untuk saya. Kamu ingat pembicaraan kita waktu itu?” “Jadi ibu sedang memanfaatkan saya?” “Bisa dibilang iya tapi juga enggak. Saya menawarkan perjanjian yang saling menguntungkan. Kamu butuh uang saya juga butuh kamu.” “Saya bisa cari pinjaman uang ditempat lain bu. Makasih tawarannya.” “Kamu gak perlu langsung menjawab sekarang. Pikirkan aja dulu, kamu masih punya kartu nama saya kan?” Ghani tidak menjawab, ia bangkit lalu meninggalkan Kamila yang masih duduk di bangku taman rumah sakit. ***   Keesokan harinya setelah ia pulang kerja, ia menaruh tas kerjanya di sofa ruang tamu dan menghempkaskan tubuhnya juga di atas sofa sambil memijit keningnya. Sejak kemarin, ia sudah memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat. Perusahaan sudah menolak pinjaman uang karena alasan kebijakan belum diperbolehkan mendapatkan pinjaman. Apa pada akhirnya ia harus menjual rumah ini ya? Pertanyaan itu terus terngiang dalam benaknya. Tapi ia kemudian menggeleng kencang. Tidak mungkin menjual rumah secepat menjual kacang. Handphone nya berbunyi mendandakan sebuah pesan w******p masuk. Ia mengambil handphone dari dalam tasnya. Dennis : Kamu dimana? Bisa kita bicara? Ghani tidak berniat untuk membalasnya. Ia kembali menaruh benda kecil itu kembali ke dalam tasnya lalu bersiap untuk ke rumah sakit. Satu jam kemudian, Ghani sudah berada di lorong rumah sakit menuju kamar rawat inap Nesya yang berada di ujung lorong. Dari kejauhan, Ghani melihat sesosok pria yang sudah dikenalnya berdiri didepan kamar Nesya. Begitu Ghani semakin mendekat pria itu menoleh. “Kamu ngapain disini?” “Kamu baru datang ke rumah sakit?” “Iya tadi pulang dulu ke rumah.” “Aku mau pamit. Besok aku udah boleh pulang.” Ghani hanya mengangguk. “Ghan, tunggu. Apa ada yang bisa aku bantu?” “Enggak ada. “Kecelakaan ini juga melibatkan aku, aku mau bertanggung jawab. Izinkan aku untuk bantuin masalah p********n rumah sakit ya.” “Gak perlu, Dennis. Aku bisa tanganin ini sendiri.” “Kamu yakin? Tabungan kamu cukup?” “Iya.” Tentu saja Ghani berbohong. “Walaupun begitu, aku tetep mau bayar setidaknya setengah dari biaya perawatan Nesya.” “Enggak usah, Dennis. Aku bilang tadi kan kalau aku gak mau dan gak akan pernah meneriman bantuan dari kamu. Terimakasih sebelumnya.” “Kamu jangan keras kepala, aku lakuin ini untuk menebus rasa bersalah aku.” “Dengan cara untuk tidak menampakan diri didepan kami lagi, itu udah lebih dari cukup.” “Ghani, please.” Ghani menggeleng tegas. ***   Tubuh Nesya masih terbaring lemah diranjang rumah sakit dibantu dengan alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Setiap kali melihat Nesya dalam keadaan seperti ini hati Ghani selalu teriris. Hari sudah semakin larut, lampu sudah dipadamkam namun Ghani membuka tirai jendela untuk melihat pemandangan kota dimalam hari dari lantai empat rumah sakit tangannya mengenggam sebuah kartu nama. Selama beberapa jam ini hanya ia pandangi saja. Barulah setengah jam kemudian, ia menekan beberapa angka ke handphone nya. Sebuah nada sambung terhubung hingga beberapa saat sebelum akhirnya si penerima telepon menjawab panggilannya. “Halo.” Sebuah suara wanita dari seberang sana. “Halo, selamat malam. Maaf menganggu tengah malam begini. Saya Ghania Afrin ingin memberitahu bahwa saya menerima tawaran yang ibu berikan.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD