Tanpa harus mendeklarasikan hubungan mereka, Ghani dan Dennis sudah tau kejelasan dan hanya butuh satu kata yaitu komitmen mereka sudah tau apa artinya mereka bagi keduanya. Mereka sepakat merahasiakan hubungan mereka jika dikantor, tapi Ghani tidak bisa berbohong didepan Kimberly. Ia seperti tau gerak-gerik Ghani. Ya, berarti Kimberly adalah pengecualian. Tanpa Ghani minta pun, Kimberly sepakat akan merahasiakan.
Hari ini, Ghani sudah siap dari pagi hari memakai kebaya brokat lengkap dengan kain lilit. Ia mendamingi Nesya yang akan diwisuda hari ini. Tepat pada anniversary hubungan mereka yang pertama. Dennis juga datang menjadi pendamping.
Tampak beberapa kali Ghani menyeka air mata nya. Air mata bahagia ketika melihat adikknya sudah selesai studi dan itu berarti salah satu tugas berat Ghani selesai. “Jangan nangis terus dong, nanti make up nya luntur.” Ujar Nesya memeluk Ghani.
Dennis mengusap punggung Ghani menenangkan kekasihnya.
“Selamat ya Nes, akhirnya lulus dengan predikan kumlaude.”
Nesya tersipu malu. “Makasih Mas. Semuanya berkat Ghani dan mas Dennis yang turut serta bantu aku. Jadi kapan nih kalian nikah?”
“Secepatnya, kita nunggu kamu lulus dulu dan juga dapet pacar yang siap nikahin kamu juga,”
“Aku kan mau kerja dulu.”
“Ya gak apa-apa.”
“Gak apa mas, Ghani udah kepengen banget dilamar sama mas Dennis tuh.” Ujar Nesya tersenyum jahil.
“Apaan sih.” Ghani menepuk bahu adiknya. “Kalau gitu sekarang kita makan diluar aja gimana?” Ghani memberikan usul. Nesya dan Dennis mengangguk setuju. Agenda mereka saat itu adalah makan-makan merayakan kelulusan Nesya.
Ghani pamit pergi ke toilet setelah mereka makan disebuah rumah makan seafood. Begitu kembali, Ghani melihat Dennis dan Nesya sedang mengobrol asik. Ghani merasa lega karena Dennis bisa dekat dengan adiknya, begitu juga dengan Nesya. Itu berarti ketika mereka menikah nanti tidak akan ada kecanggungan.
***
Beberapa Minggu setelah itu, Nesya baru saja mendapat pekerjaan yang jaraknya cukup jauh dari rumah dan itu membuat Ghani merasa sedikit khawatir. Ghani baru menerima telepon dari Nesya kalo dia akan sedikit pulang terlambat karena hari pertamanya kerja, Ghani tidak begitu mengkhawatirkan tapi lain dengan Dennis yang bersikeras untuk menjemputnya.
“Aku lagi gak terlalu sibuk, jadi bisa pulang on time. Kamu masih harus closing kan?” tanya Dennis.
Ghani menggigit bibir bawahnya, mengingat kalo hari ini adalah memasuki pekan super sibuk untuk divisi keuangan. “Tapi kan kantor Nesya jauh, kamu harus muter-muter kalo jemput dia dan nganterin ke rumah.”
Dennis memegang bahu Ghani, “Gak masalah, kalo kamu itu bisa bikin kamu berhenti khawatir.” Maka dengan sedikit rasa keengganan, Ghani mengijinkan Dennis pergi menjemput Nesya. Lalu ia kembali ke meja nya menyelesaikan pekerjaannya yang mulai menumpuk.
“Ada apa?” tanya Kimberly melihat Ghani tampak gusar.
“Gak ada yang terlalu serius, gue hanya mengkhawatirkan Nesya yang agak pulang terlambat hari ini. Jadi Dennis bersedia untuk menjemputnya.”
“Kakak yang sangat menyayangi adiknya.”
Ghani tersenyum simpul. “Yah, aku bertanggung jawab atas hidupnya saat ini.”
“Ya memang sih, tapi dia sudah lulus kuliah dan bekerja. Berilah dia sedikit kebebasan.” Kimberly memberikan saran.
“Yah, lo ada bener nya juga.”
“Lagi pula Dennis udah menawarkan diri untuk menjemput Nesya kan? Jadi, gak usah khawatir lagi.”
“Yah kalau bukan karena bentrok closing mungkin gue bisa jemput Nesya.”
Ghani baru pulang sekitar jam Sembilan malam, ketika ia sampai rumah Ghani masih menemukan motor Dennis terparkir di teras rumahnya dengan pintu terbuka lebar. Dennis sedang duduk di sofa depan tv sambil memakan sesuatu lalu terdengar suara dua orang tertawa seakan tengah membicarakan hal yang lucu. Ghani memasuki rumah dan melihat Dennis dan Nesya saling tertawa lepas.
“Hai, kamu baru pulang?” Dennis yang pertama kali menyadari kehadiran Ghani didepan pintu.
“Iya aku baru bisa pulang. Kamu belum pulang?”
“Iya tadi aku pikir mau tunggu kamu pulang dulu baru ku bisa ninggalin Nesya dirumah sendirian.”
“Gak perlu repot, Nesya udah biasa kok dirumah sendiri.”
“Gak repot kok, aku sekalian bisa ngerasain masakan Nesya. Ternyata dia jago masak ya.”
Ghani tersenyum. “Iya selama ini dia yang masak dan aku yang cari kerja.” Ghani menoleh ke Nesya. “Gimana hari pertama ngantor nya?”
“Berjalan lancar, dan langsung sibuk. Makasih ya mas Dennis udah mau jemput. Padahal sih aku pulang sendiri gak masalah.”
“Gak apa, apa gunanya punya kakak ipar kalo gak bisa saling bantu.” Dennis kemudian bangkit berdiri lalu pamit karena hari sudah semakin malam dan tidak enak bila tetangga tau ada laki- laki yang bertamu sampai malam dirumah perempuan yang sudah tidak punya orang tua. Ghani mengantar Dennis pergi dan berlalu dengan motor nya.
Ketika kembali ke dalam rumah, Ghani melihat Nesya sedang membereskan piring-piring untuk di cuci, Ghani membantunya.
“Nes, menurut kamu Dennis gimana orangnya?”
“Baik.”
“Terus?”
“Emang kenapa sih?”
“Gak kok, cuma pengen tau aja.”
“Dia serius gak?”
“Kayaknya sih serius.”
“Udah ada perbincangan ke depannya gimana?”
“Belum sih, lagian kan masih setahun pacaran.”
Nesya mengangkat kedua bahunya sambil membawa piring. “Selama penglihatan gue sih, dia baik dan sopan. Itu udah cukup lah untuk menjadi kriteria calon suami yang baik.”
“Calon suami? Jangan bikin ge’er. Dia belum ngelamar tau.”
“Ya berdoa dong.”
“Aamiin, semoga berjodoh.”
Nesya tersenyum lalu meninggalkan Ghani yang masih berdiri mematung. Ghani lalu langsung menepis pikiran yang menganggu nya.
***
Beberapa bulan setelahnya, Ghani masih fokus kerja dan juga masih menjalani hubungan dengan Dennis tanpa hambatan. Nesya sudah menjadi karyawan tetap di perusahaannya setelah dinyatakan lulus masa percobaan, pekerjaan yang ia senangi. Dennis masih beberapa kali menjemput Nesya ke kantor jika ia harus pulang larut.
Ghani menutup sambungan teleponnya lalu mendesah lega karena Nesya sudah dijemput oleh Dennis. Setengah jam kemudian, Ghani mendengar suara motor Dennis berhenti didepan rumahnya. Malam ini Nesya pulang sekitar jam sebelas malam. Ghani hendak keluar menghampiri tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara Dennis memanggil Nesya.
Malam yang sepi sehingga Ghani bisa cukup mendengar suara Dennis dari balik pintu.
“Mau sampai kapan kamu seperti ini?” tanya Dennis.
“Ini udah malam mas, makasih udah jemput. Nesya masuk ke rumah dulu takut Ghani nungguin.”
“Tunggu, kita belum selesai bicara.”
“Enggak ada yang perlu di bicarain lagi mas,”
“Siapa tadi cowok yang mau nyium kamu di lobby kantor?”
“Dia cuma temen, dan dia gak bermaksud buat begitu. Mas salah paham.”
“Cuma temen gak begitu perlakuannya.”
“Jadi mau nya mas apa? Dia memang cuma temen kok.”
“Dia suka sama kamu?”
“Enggak…. Gak tau.”
Hening sebenar.
“Kamu suka sama dia?” tanya Dennis lagi.
Nesya tidak menjawab.
“Aku gak suka kamu deket-deket sama dia, dia bukan cowok yang baik buat kamu.”
“Mas Dennis jangan cepat mengambil kesimpulan, kan mas belum kenal sama dia.”
“Dari pertama kali ketemu juga udah tau dia bukan cowok yang baik, ciuman didepan umum? Dimana etika nya dia?”
Nesya berdecak. “Itu gak seperti yang mas liat.”
“Jadi seharusnya gimana?” nada bicara Dennis meninggi.
“Kenapa sih kalo aku deket sama cowok lain?”
Dennis tidak menjawab.
“Aku juga berhak kan punya orang yang aku suka?”
“Kamu melupakan begitu aja apa yang terjadi diantara kita?” tanya Dennis.
Nesya tidak menjawab.
“Masuklah, udah larut malam.” Ujar Dennis beberapa saat kemudian.
“Makasih atas tumpangannya.” Nesya membuka pintu pagar. Ghani langsung berbalik berlari menuju kamarnya.
Nesya membuka pintu dan menguncinya lagi. Ghani membuka pintu kamar. “Kamu baru pulang? Dennis dimana?”
“Udah pulang, katanya udah terlalu larut.”
Ghani mengangguk. Ia melihat raut wajah adikknya yang lain dari biasanya. “Udah makan?”
Nesya menggeleng. “Enggak laper, mau langsung tidur aja.” Katanya langsung melenggang menuju kamarnya yang berada didepan kamar Ghani.
Ghani masih mematung mencerna apa yang baru ia dengar. Apa yang udah terjadi diantara mereka? Kenapa Dennis keliatan gusar ketika Nesya dekat dengan cowok lain? Apa jangan-jangan…. Ghani menepis pikiran buruknya. “Gak mungkin lah.” Ia lalu juga masuk ke kamarnya.
***
Keesokan harinya Dennis menjemput Ghani berangkat kerja, ia sempat bertemu dengan Nesya tapi tidak mengatakan apa-apa. Tampaknya mereka sedang saling diam.
“Kamu kenapa?” Ghani bertanya saat mereka sudah sampai di lobby kantor.
“Kenapa apanya?”
“Lebih banyak diem.”
“Gak ada apa-apa kok.”
“Oh ya semalem makasih udah mau jemput Nesya.”
Dennis mengangguk singkat. “Kayaknya nanti dia gak perlu aku jemput lagi karena udah ada cowok yang lagi deketin dia.”
“Oh ya? Kamu tau dari mana?”
“Kemaren liat.”
“Hmm, bagus dong jadi kamu gak capek bulak-balik jemput Nesya. Aku udah ngerepotin kamu, maaf ya.”
“Gak repot kok, santai aja.”
Ghani mengangguk dan memilih tidak bertanya lagi sepanjang perjalanan. Mereka berpisah ruangan, Ghani menaruh tas di laci bawah dan menghempaskan tubuhnya di kursi lalu menghembuskan napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan itu membuatnya tidak nyaman.
Sampai beberapa hari kemudian, Nesya dan juga Dennis masih saling diam. Ghani sudah bertanya kepada adiknya perihal ada masalah apa yang terjadi diantara mereka tapi jawaban Nesya mengatakan tidak ada apa-apa. Meskipun keduanya sepakat untuk bungkam tapi Ghani sudah terlanjur menguping pembicaraan mereka tempo hari.
Malam ini Ghani melihat Nesya lebih diam dari biasanya, sepanjang makan malam Nesya lebih banyak diam kalau tidak ditanya oleh Ghani, setelah makan ia langsung masuk ke kamarnya hingga keesokan harinya berangkat kerja.
Keesokan harinya Ghani terpaksa harus lembur karena ada beberapa pekerjaan yang penting untuk diselesaikan, sedangkan Dennis pamit untuk pulang duluan. Ghani baru menyelesaikan pekerjaannya sekitar jam Sembilan malam, satu jam kemudian ia sudah berada di rumah. Ia agak terkejut begitu melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir didepan rumahnya. Ia berjalan mendekat melewati mobil untuk memasuki teras rumahnya namun langkahnya terhenti ketika melihat didalam mobil ternyata ada sepasang kekasih yang tengah asik berciuman.
Ghani menggelengkan kepalanya, bergerutu didalam hati kenapa harus didepan rumah orang? Bermobil kok gak punya modal ngajak pacarnya mojok di suatu tempat yang lebih keren. Tapi, semakin ia perhatikan sepasang kekasih itu tampak familiar baginya. Barulah ketika mereka melepas pagutannya Ghani melihat dengan jelas wajah sepasang kekasih itu.
Betapa syoknya mereka ketika aksi mereka ternyata dipergoki oleh Ghani, namun Ghani lebih syok lagi karena orang yang berada didalam mobil itu ternyata adalah kekasihnya bersama dengan adikknya.
***
Ghani masuk ke rumah diikuti oleh Nesya yang memanggilnya tapi tak dihiraukan oleh Ghani, dibelakang Nesya juga ada Dennis yang mengikutinya. Ghani begitu marah dan kecewa hingga tidak tau harus berkata apa. Ia hanya bisa melihat raut muka Nesya yang kelihatan habis nangis dan juga Dennis yang terlihat malu.
“Itu gak seperti yang lo liat.” Nesya membuka suara.
Ghani memandang Dennis yang masih diam tertunduk.
“Yang kalian lakukan di mobil memangnya ngapain?”
Nesya tidak menjawab, ia menggigit bibir bawahnya dan tertunduk.
“Dennis, ada yang mau kamu bicarakan gak?”
Pria itu mengangkat wajahnya dengan sorot mata kesedihan. “Maafin aku.”
“Kalian….. Apakah ada sesuatu yang terjadi diantara kalian?”
Keduanya tidak menjawab.
“Udah ketauan dan gak ada yang mau ngaku?”
“Maafin aku, ini semua salah aku. Aku yang suka sama Nesya.” Pengakuan Dennis membuat jantung Ghani mencelos. Ia tidak percaya bahwa kecurigaannya beberapa bulan yang lalu ternyata benar adanya.
“Nesya pun juga punya perasaan yang sama kan?” Ghani melihat Nesya diam saja. “Kalau enggak, ngapain kalian ciuman didalam mobil?”
“Sebenarnya, itu semacam perpisahan.” Ujar Dennis lagi.
“Perpisahan? Berarti benar kalian pacaran dibelakang ku?”
“Bukan, bukan itu maksudnya. Kita gak pacaran.” Sangkal Nesya.
“Mau pacaran atau enggak itu hanyalah sebuah status, tapi perasaan kalian udah terlihat jelas. Kalian udah mengkhianati aku. Pacar dan kakak kandungmu sendiri, Nes.” Untung belum jadi suami, bagaimana jadinya jika semua itu terjadi ketika mereka sudah menikah?
Ghani berbalik dan berjalan menuju kamarnya, membantingnya dengan keras lalu menangis sejadi-jadinya. Malam ini terungkap sudah apa yang menjadi kegelisahan hatinya.
***