Chapter 1: Awal Pertemuan

1370 Words
Beberapa tahun sebelumnya... Ghania Afrin melangkah ditengah pemakaman umum yang terletak di pinggiran ibu kota. Ia berhenti didepan sebuah nisan kedua orangtuanya yang sudah lima tahun meninggalkannya dan adik satu-satunya. Matanya kembali berlinang air mata. "Hari ini Ghani dapat pekerjaan pertama setelah lulus kuliah. Tahun depan Nesya lulus kuliah. Walaupun Mama dan Papa tidak bisa hadir secara fisik di moment penting kita berdua, Tapi Ghani merasakan kehadiran Mama dan Papa disetiap langkah kami." Ghani menunduk lalu memejamkan mata memanjaat doa lalu kemudian bergegas berpindah tempat ke sebuah gedung perkantoran. Hari pertama memanglah terasa begitu sulit bagi Ghani, ia terlalu khawatir tentang apa yang akan dihadapinya, apalagi untuk berhadapan dengan orang yang baru. Kebiasaan dari dulu dan biasanya ada orangtuanya yang membantu menghilangkan kecemasannya yang kadang suka berlebihan. Ia berhenti didepan lift dan memencet tombol, menghirup napas sedalam-dalamnya lalu membuangnya seakan sedang mengisi tenaga untuk hari ini. Pintu lift terbuka dan ia serta beberapa karyawan lain ikut masuk kedalamnya. Ghani menekan tombol delapan tempat perusahaannya dimana ia bekerja. Setelah melewati tahap pengenalan diri bersama dengan karyawan lain, Ghani kembali duduk dibangkunya dengan layar komputer yang sudah menyala. Beberapa saat kemudian datanglah seorang karyawan perempuan yang ditugaskan mendampingi Ghani melakukan jobdesc. Perempuan itu bernama Kimberly dengan wajah yang cantik dan rambut panjang berwarna cokelat yang ia kucir kuda. Ia tersenyum ramah lalu menjelaskan beberapa pekerjaan awal yang harus ia kerjakan. "Karena karyawan yang sebelumnya mendadak harus keluar, jadi kita tidak siap untuk mencari pengganti. Jadi, maaf kalau berantakan. Beberapa pekerjaan sudah dibagi dengan karyawan lain jadi mungkin kamu bisa mulai dengan merapihkan invoce yang masuk. Input kedalam komputer. Karena tenggat waktu nya sebentar lagi." Jelas Kimberly. Ghani melihat ada segunung kertas di mejanya lalu mengangguk paham. Sebuah sambutan yang hangat. Batin Ghani tanpa membuang waktu lagi mengerjakan pekerjaan pertamanya. Ditengah kesibukan pada hari pertama, tak terasa waktu sudah menunjukkan jam makan siang, Kimberly mengajaknya untuk makan siang bersama dengan rekan kerja yang lain. Begitu mereka kembali setengah jam kemudian, Ghani bertemu dengan seorang yang pria hampir menabraknya saat akan ke pantry mengambil air. "Sorry." ucap Ghani. Pria itu mengangguk. "Kamu karyawan baru disini ya?" Ghani mengangguk. "Kayaknya kita pernah ketemu deh, wajah kamu gak asing." Ghani melihat pria itu memperhatikan Ghani. "Kamu Ghani kan?" tanya pria itu lagi. "Kita saling kenal?" Ghani agak terkejut. Ia itu tersenyum manis yang cukup mampu membuat para wanita terpesona, seketika itu juga Ghani tampak mengenalinya. "Dennis ya?" Pria yang bernama Dennis itu mengangguk mantap dan menyunggingkan sebuah senyuman hangat. "Kita ketemu lagi. " Ghani tersipu malu, "Kamu kerja disini juga." "Iya aku divisi I.T" "Oh, aku keuangan." "I see, sesuai dengan jurusan kamu kuliah dulu kan?" Ghani tertawa sambil mengangguk. Setelah pertemuan singkat itu Dennis pamit kembali ke meja kerjanya sedangkan Ghani memasuki pantry meneruskan apa yang ingin ia lakukan. Pertemuan nya dengan Dennis sungguh tidak ia duga sebelumnya, sepanjang hari itu Ghani sukses senyum-senyum sampai ia pulang ke rumah. Sejak saat itupula hubungan Ghani dan Dennis masih sebagai rekan kerja hingga satu bulan kedepan, Dennis beberapa kali sengaja mengajak Ghani makan siang, atau membelikan sesuatu seperti kopi untuk Ghani pada jam rentan orang mengantuk saat kerja. Tentu saja rekan kerja yang lain tidak menyadari maksud Dennis karena yang mengantarkan pesanan nya adalah OB yang bekerja bukan orang yang bersangkutan. Tapi tidak dengan Kimberly yang notabene nya duduk disamping meja kerja Ghani jadi mendengar setiap kali OB datang menghampirinya mengatakan dengan jelas siapa pengirim sebenarnya. "Lagi modus ya si Dennis?" tanya Kimbely setelah OB pergi. Ghani menoleh dan agak sedikit terkejut. Kimberly tertawa jahil. "Yang lain boleh gak tau, tapi gue kan duduk nya disamping lo persis." Ghani terkekeh. "Jadi, si Dennis lagi modusin lo ya Ghan?" "Enggak tau, kita emang saling kenal sih." "Oh ya? Mantan pacar?" Ghani menggeleng kencang. "Bukan. Dulu dia temen gue waktu kuliah. Tapi gak deket terus gak pernah ketemu lagi sampai waktu hari pertama gue kerja disini." Kimberly mengangguk paham. Sedangkan Ghani sedikit merasa kikuk sampai lupa ia harus melakukan apa. Sepulang kerja, Ghani sudah berada di lobby bertemu dengan Dennis. "Pulang naik apa?" tanya Dennis. "Naik bus." Dennis mengangguk, "Kamu pulang ke arah mana?" tanyanya lagi. Ghani menyebutkan daerah rumahnya. "Akulebih jauh lagi sih, tapi kita searah jadi bisa sekalian mau dianter pulang kalo mau." Ghani agak bingung dengan ajakan Dennis yang nanggung. "Ngerepotin gak?" "Ya enggak dong, kan nawarin. Yuk, naik motor gak apa-apa kan? Soalnya kalau naik mobil agak repot jam kerja, macet." ujar Dennis sembari memberikan helm kepada Ghani. Dennis memang selalu membawa helm cadangan jikalau ada teman yang mau nebeng bareng dengan nya. Ghani menggeleng tanda tidak keberatan. Sepanjang jalan pulang Dennis sedikit banyak bercerita dan Ghani menjadi pendengar setianya, sisanya ia menikmati perjalan pulang nya pertama kali dengan Dennis. Sampai di depan rumah Ghani, ia langsung pamit pulang. Ghani mengucapkan terima kasih. "Mungkin lain kali mampir ya." Ujarnya sesaat sebelum pergi. Ghani Cuma tersenyum dan mengangguk. *** Dihari Minggu ini, Ghani bangun agak siang berbeda dengan adikknya, Nesya yang sudah selesai masak untuk makan siang mereka. Ghani memang tidak pandai memasak, karena kesibukkannya dulu bekerja dan belajar, tugas memasak jatuhnya ke tangan Nesya. Jika sudah memasuki hari libur, yang diinginkan Ghani hanyalah berleha-leha dirumah tanpa diganggu oleh siapapun tapi rupanya ada tamu yang datang mencari Ghani. "Ada yang nyariin tuh." Nesya memberi tahu. Ghani mengeryitkan kening lalu bangkit dengan lesu menuju teras rumahnya. Matanya langsung terbelalak melihat siapa yang ada didepan rumahnya. Dennis berpakaian rapi sedang memainkan ponsel nya. "Dennis, kamu ngapain kesini?" Pria itu membalikkan tubuhnya lalu tersenyum. "Baru bangun ya?" tanya nya balik. Ghani menyengir. "Kok gak bilang mau dateng?" "Iya, maaf ya aku mau ngasih kamu kejutan sebenarnya. Hari ini kamu ada acara keluar gak?" "Well, aku emang agak terkejut sebenernya." Ujar Ghani. "Kalo hari ini sih enggak ada acara kemana-mana sih." "Kamu mau pergi sama aku gak?" tanya nya. "Kemana?" "Nanti kamu juga tau." "Apaan sih main rahasia-rahasiaan." Dennis terkekeh. "Ya udah kamu masuk dulu, aku mau bersiap secepat mungkin." Ghani sadar bahwa ia belum mandi dari tadi pagi dan ia cukup menyesali keputusannya. "Santai aja." Setengah jam kemudian, Ghani sudah siap dengan celana jeans hitam kemeja motif bunga dan cardigan berwarna cokelat muda. Ia menguncir rambut panjangnya dan membawa sling bag serta terakhir sepatu model slip on berwarna cokelat. Mereka akhirnya berangkat ke tujuan yang Ghani tidak ketahui, hingga satu jam kemudian Dennis memberhentikan motornya diparkiran depan sebuah café. "Kamu mau pesan apa?" tanya Dennis. "Americano." Dennis memesan pesanannya dan juga Ghani. Setelah mendapatkan minumannya, Dennis mengajaknya mengobrol tentang keluarganya yang tinggal di Bandung sedangkan dirinya memilih untuk bekerja di Jakarta. "Tadi itu adik kamu?" Ghani mengangguk. "Iya, namanya Nesya. Dia adikku satu-satunya dan keluarga satu-satunya juga." Dennis mengerutkan kening. "Maksud kamu?" Ghani mengangguk. "Iya orang tua ku udah meninggal karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu, jadi aku cuma tinggal berdua. Untungnya masih ada tetangga yang mau bantu ngurusin dulu, bener ya kata orang kalo orang pertama yang dimintai pertolongan adalah tetangga sendiri, dan emang Mama dan Papa udah gak punya saudara." "Aku turut prihatin." Dennis mengusap punggung tangan Ghani. "It's Ok, masa sulit udah berlalu. Aku dan Nesya baik-baik aja." Lalu Ghani menceritakan bagaimana dia harus membagi waktu antara bekerja dan kuliah, memikirkan cara memutar uang tabungan kedua orangtuanya agar tidak habis. "Makanya, dulu aku tuh kupu-kupu. Kuliah Pulang - Kuliah Pulang. Gak sempet bergaul. Aku gak bisa ngerasain seperti mahasiswa lain yang bisa jalan bareng sama temen nya." Ujar Ghani sambil tertawa renyah. "Tapi kamu kuat Ghani, aku salut sama kamu." "Makasih." "Dan tertutup juga ya mungkin karena kamu sibuk jadinya susah untuk dideketin." Ujar Dennis kemudian. Ghani menatap nya bingung. "Maksud kamu?" "Sebenarnya, gak ada alasan kenapa aku ngajakin kamu kesini. Aku cuma ingin ketemu kamu diluar jam kantor. Dan ini pertama kalinya kan, aku juga mau ngomongin sesuatu." Dennis menarik napas nya dalam. Sedangkan Ghani tidak berkomentar hanya menunggu kelanjutan ucapan Dennis. "Dulu, aku sempat menyukai kamu. Tapi melihat kamu susah untuk didekati aku memilih mundur. Waktu kita ketemu lagi dan ternyata kita satu kantor, aku gak tau kenapa aku bisa sesenang itu ketemu kamu lagi. Dan ternyata, sampai hari ini aku masih menyimpan perasaan ku terhadap mu." Dennis menyelesaikan kalimat terakhirnya. Ghani terperangah ia tidak pernah berpikir akan mendengar Dennis berkata mengenai perasaaanya terhadapnya. Hal yang ia harapkan beberapa tahun lalu. Ghani merasakan pipi nya memerah. Ia lalu tersenyum. Sekarang giliran Dennis yang memandangnya bingung. "Maaf, aku gak bisa menjadi orang yang mudah didekati dulu. Pada usia segitu, dan langsung mengemban tanggung jawab yang besar bukanlah hal yang mudah. Aku gak punya waktu banyak di kampus, langsung kerja dan begitu keesokan harinya. Aku cuma bisa ngeliat kamu dari jauh. Mencuri dengan kabar kamu dari orang lain." "Maksudnya, kamu juga sama?" Ghani tersenyum lalu mengangguk. Dennis pun membalas senyumannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD