DUA

1460 Words
Gabe jengah mendengar pujian yang selalu di lontarkan pada adiknya, Skylar Eirene Pradepta. Sejak adiknya itu masuk sekolah, pujian tak henti-hentinya di lontarkan pada adiknya itu. Tak perduli seberapa hebat dirinya, Sky tetap bersinar lebih terang darinya. Terutama di mata Miranda, neneknya. Gabe begitu mendambakan kasih sayang dari Miranda. Sangat-sangat memimpikan jika neneknya itu bisa melihatnya seperti saat melihat Sky. Atau setidaknya ia menginginkan ucapan ulang tahun yang manis disetiap ulang tahunnya. Bukan kado, bukan materi seperti yang Claude selalu dapatkan dari kakeknya. Gabe hanya membutuhkan kasih sayang yang utuh. Gabe tidak kekurangan kasih sayang sama sekali. Namun ia merasakan kasih sayang yang ia dapatkan tidak utuh. Padahal Maharani sudah menyayanginya, sangat-sangat menyayanginya. Puncak kebenciannya pada Sky adalah ketika Maharani meninggal dunia enam tahun yang lalu. Gabe benar-benar kehilangan sosok nenek yang sangat menyayanginya. Ia menjadi dua kali lipat menginginkan kasih sayang dari Miranda. Namun sampai detik ini, Miranda tak pernah mau melihat ke arahnya. Emosi Gabe terus-terusan tak terkendali saat ia melihat Sky berada di sekitarnya. Beruntung saat itu ia mendengar berita tentang asrama wanita dari salah seorang temannya dan menyarankan itu pada kedua orang tuanya dengan alasan agar Sky tak terjebak dengan pergaulan bebas. Tapi siapa yang tahu jika adiknya itu lulus lebih cepat dari perkiraannya? Yang lebih membuatnya kesal adalah Sky mendapatkan beasiswa penuh di kampus tempatnya berkuliah. Padahal Sean dan Lea mampu menyekolahkan anak-anaknya. Lagi-lagi Sky membuat orang-orang terkesan dengan dirinya. Kini, bak sudah terjatuh tertimpa tangga pula, orang tua mereka memaksa agar Sky tinggal di apartemennya karena Sean dan Lea sibuk menemani Laksamana yang tengah sakit. Kini Gabe bersyukur karena orang tuanya tak memberi embel-embel nama keluarga di akhir namanya seperti anak-anak kebanyakan. Hanya Gabriel Auriga. Tapi yang lebih ia syukuri lagi adalah ia tak pernah menyebutkan berasal dari keluarga mana karena ia memang tak terlalu banyak bicara dan beruntung orang-orang banyak yang segan berbicara kepadanya. Sahabat-sahabatnya pun belum pernah datang kerumahnya dan tak mengenal siapa kedua orang tuanya karena sejak Maharani meninggal, Gabe memang memilih untuk menyendiri di apartemen yang Maharani belikan untuknya sebagai kado ulang tahun terakhir yang ia terima dari mendiang neneknya itu. ***** “Wah, gila tuh dosen. Baru ngajar udah ngasih tugas aneh-aneh.” Jane menggerutu tepat setelah mereka berdua sampai di ambang pintu masuk kantin kampus itu. “Aku denger, kalo baru masuk emang banyak tugasnya.” Sky melangkahkan kakinya ke salah satu stan makanan yang ada disana bersama Jane yang mengekor di belakangnya. “Aku mau ini, dari kemarin penasaran banget sama rasanya,” ujar Sky didepan stan Dimsum. “Gue juga mau satu kalo gitu.” Jane mengikuti apa yang Sky pesan. Tak lama, mereka berdua membawa seporsi Dimsum dan segelas Red Velvet Blend di atas nampan mereka masing-masing. “Kita duduk disana aja, yuk.” Dagu Jane menunjuk ke arah tiga pemuda yang tadi mereka temui sebelum memulai kelas. “Aku ... mau makan disini aja, Jane.” Sky meletakan nampannya di meja kosong yang ada di sebelahnya. “Kamu kalo mau gabung sama mereka, enggak apa-apa,” ujarnya lagi. “Lo serius?” Jane nampak terkejut namun sama sekali tak menolak usulan Sky. “Kalo gitu, gue duduk disana, ya.” Jane pun melangkahkan kakinya setelah mendapat anggukan dari Sky sebagai jawaban. “Hai.” Seorang pemuda berkaca mata menghampiri meja Sky. “Apa ... saya boleh duduk disini?” tanya pemuda itu ragu. “Bangkunya udah banyak yang penuh,” lanjutnya. “Duduk aja.” Sky tersenyum tipis. Sama sekali tak keberatan dengan kehadiran pemuda itu di hadapannya. Tujuannya datang ke kantin memang untuk mengisi perutnya, bukan untuk membuat bibirnya pegal karena terlalu banyak berbicara. Mereka berdua pun makan dalam keadaan hening karena tak satu pun dari mereka yang berminat untuk membuka suara. Hingga akhirnya suara berdecit yang berasal dari kursi yang bergesekan dengan lantai kantin itu terdengar dan menarik perhatian mereka dari makanan masing-masing. “Lo ada kelas lagi abis ini?” Claude mendudukan bokongnya tepat di sebelah pemuda berkacamata tadi, seolah menunjukan kesenjangan yang begitu jelas diantara mereka. Claude yang begitu keren dengan gaya bad boy miliknya dengan pemuda berkacamata yang hanya menggunakan baju lusuh dan celana belelnya. “Aku?” tanya Sky ragu. Ragu karena ia tak ingin berurusan dengan teman atau orang yang ada di lingkungan Gabe. “Iya, lah. Masa si Cupu ini.” Claude berujar santai seolah tak ada perkataannya yang akan menyinggung orang lain. Bahkan pemuda itu terang-terangan menunjuk ke arah orang yang duduk di sebelahnya. Sky menjatuhkan sendok dan garpu yang ada di tangannya tiba-tiba. Ia merasa ucapan Claude begitu berlebihan dan sudah kelewatan. “Kakak kok ngomongnya gitu, sih?!” tanya Sky dengan nada tak sukanya. “Enggak enak di dengernya tau!” ujarnya lagi. Pemuda berkacamata itu bangkit dari kursinya, ia merasa malu karena Sky membelanya di hadapan Claude. “Kamu mau kemana?” tanya Sky pada pemuda berkacamata yang hendak pergi itu, mengabaikan Claude yang menatap terkejut ke arahnya. Bahkan gadis itu hampir saja bangkit dari duduknya jika Claude tak menahan tangannya. “Pindah.” Pemuda berkacamata itu berlalu begitu saja. Ia merasa semakin malu karena kini mereka menjadi pusat perhatian. Saat itu pula Sky tersadar jika ia sudah menyakiti harga diri pemuda berkacamata yang belum ia ketahui namanya itu. “Lepas, Kak!” Sky melepas paksa tangan Claude yang masih melingkar di pergelangan tangannya. “Duduk,” ujar Claude dingin. Kini dirinya yang merasa harga dirinya terinjak. Sky ingin sekali meninggalkan Claude lalu mengejar si kacamata tadi. Namun saat ia melihat Gabe yang sedang menatap datar ke arahnya, Sky mengurungkan niatnya. Ia tahu, ia harus menjaga perasaan Claude untuk Gabe agar mereka tak bertengkar karena dirinya meski ia sendiri pun lebih tahu jika Gabe tak akan pernah melakukannya. “Lo ada kelas lagi abis ini?” Claude mengulang pertanyaannya namun dengan nada bicara yang berbeda. “Enggak. Hari ini cuma dua kelas,” jawab Sky. “Aku permisi, Kak.” Sky bangkit dari duduknya, ia hanya mau pergi dari sana. Kali ini bukan untuk mengejar si kacamata. Tapi Sky benar-benar tak ingin terlibat dengan orang yang berada di lingkungan kakak laki-lakinya itu. Bahkan ia sepertinya akan berpikir sekali lagi untuk berteman dengan Jane. “Kemana?” tanya Claude. Nada bicaranya sudah berubah kembali saat ia mengingat harus memenangkan taruhan itu meski membelikan Julian motor bukan lah suatu hal yang sulit untuknya lakukan. “Toko buku?” Jawaban Sky terdengar seperti sebuah pertanyaan. Jelas saja. Gadis itu takut jika Claude mengantarnya karena ia lagi-lagi mengingat apa yang Gabe katakan padanya sebelum ia turun dari mobil pemuda itu. Gabe tidak ingin ada orang yang mengetahui hubungan mereka. Bahkan pemuda itu sampai mengancam tak akan pernah bertemu lagi dengan Sky jika itu benar-benar terjadi. Tentu Sky takut akan hal itu. Sebab hal yang diimpikannya sejak tinggal di asrama wanita adalah tinggal bersama Gabe dan mendapatkan kasih sayang dari pemuda itu. Sky sebelumnya tidak setermotivasi ini pada hubungannya dengan Gabe. Namun saat ia tak sengaja melihat suatu acara yang tengah mengadakan kuis kemistri antara kakak beradik, motivasinya timbul dan semakin kuat setiap harinya. Ia ingin sekali mengetahui apa yang Gabe suka atau tidak suka. Atau seberapa banyak Gabe mengoleskan selai kacang di atas rotinya setiap pagi. Atau berapa ukuran sepatu pemuda itu. Sky ingin mengetahuinya. “Ayo, gue anter.” Claude bangkit dari duduknya dan kembali membuat suara yang akhirnya menarik Sky dari lamunannya. “Eh?” Sky terkejut meski ia sudah menebak jika Claude akan mengantarnya saat pemuda itu bertanya Sky hendak pergi kemana. Bukan karena gadis itu sudah pro dalam urusan seperti ini. Namun yang terjadi ini benar-benar seperti adegan dalam drama Korea yang di tontonnya karena teman satu kamarnya sering meracuninya dengan hal itu. Sky masih tidak percaya jika tebakannya benar. Beruntung ia menjawab tidak pulang ke rumah. “Kenapa?” Claude menaikan sebelah alisnya, menatap bingung ke arah Sky yang lagi-lagi terlihat banyak berpikir. “Eng-enggak!” jawab Sky cepat saat ia sudah benar-benar berpisah dengan lamunannya. “Aku ... bisa sendiri, kok. Makasih tawarannya.” Sky hendak pergi meninggalkan Claude yang mendengus kesal. Namun lagi-lagi Claude menghentikannya. “Siapa yang bilang ini tawaran? Ini perintah!” Claude menarik tangan Sky, membimbing gadis itu untuk berjalan meninggalkan kantin. Sungguh hal itu menjadi sesuatu yang sangat menarik karena Claude tak pernah menghampiri seorang gadis duluan. Terlebih lagi Sky terlihat mengenakan pakaian yang biasa-biasa saja. Tak menunjukan kesan glamour sama sekali karena ia memang seperti itu. Namun siapa pun tidak dapat menampik kecantikan yang terpancar dari wajahnya meski yang ia pakai hanya sebatas sunblock dan pelembab bibir. Sky merasa dirinya seperti tersengat listrik saat Claude melepaskan genggaman tangan pemuda itu pada pergelangan tangannya lalu menggantinya dengan jemari pemuda itu yang mengisi ruang-ruang kosong di sela jemarinya. Degub jantung Sky berpacu begitu cepat tanpa alasan. Sky mulai berpikir, apa dirinya mengidap penyakit jantung sekarang?   *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD