TIGA BELAS

1573 Words
Sky yang takut Claude akan menunggu dirinya terlalu lama itu pun sudah duduk dan menunggu di halte bis setengah jam sebelum waktu yang Claude tentukan tadi pagi. Tapi saat jam di ponsel Sky sudah menunjukan pukul sembilan malam, Claude juga tak kunjung datang. Sky memutuskan untuk bangkit dan hendak kembali ke apartemen Gabe. Sejak sore hari, Gabe sudah pergi keluar. Sky tentu tidak tahu dimana kakaknya itu sebab ia bukan berada di posisi untuk bertanya. “Mau kemana lo?” Tiba-tiba suara Claude terdengar dari jendela mobil yang diturunkan. “Aku kira enggak jadi,” jawab Sky. Gadis itu lalu masuk ke dalam mobil Claude setelah Claude memberinya kode untuk masuk. “Jangan berani-beraninya lo pergi tanpa perintah dari gue!” seru Claude. Pemuda itu lalu menginjak pedal gas mobilnya dalam dan mengendarai mobilnya gila-gilaan. ***** “Kita ... kemana, Kak?” Sky akhirnya bertanya pada Claude setelah pemuda itu memelankan laju mobilnya saat mereka sudah memasuki suatu area yang dipenuhi dengan sebayanya. “Club, lah. Baju lo rada salah kostum, sih. Tapi yaudah. Gue lagi berbaik hati karena muka lo enak diliat.” Claude memarkirkan kendaraannya. Mendegar sebuah Klab di sebut, Sky menjadi panik bukan main. Pasalnya ia tak pernah pergi ke tempat seperti itu. “Boleh aku ... enggak turun, Kak?” tanya Sky hati-hati. “Lo gila, ya? Gue ngajak lo kesini karena gue mau masuk ke dalem. Lagian, lo kayak yang belum pernah aja.” Claude mendengus kesal karena pertanyaan Sky. “Tapi, Kak. Aku—” “Ayo!” Claude yang sudah keluar dari mobilnya itu membuka pintu mobil untuk Sky dan menarik gadis itu. Claude memaksa Sky untuk keluar dari mobilnya. Dentuman musik yang keras menyambut kedatangan Sky dan Claude. Asap rokok memenuhi udara yang ada di dalam sana. Bau minuman keras juga menyeruak karena malam itu Klab sedang ramai-ramainya. “Kita ... ngapain kesini, Kak?” tanya Sky yang lebih takut dengan tempat dimana mereka berada sekarang dari pada Claude yang ada disampingnya. “Lo sekarang udah berani nanya-nanya, ya, sama gue?” Claude mendengus kesal. “Lama-lama lo lupa derajat lo, ya?” “Bukan begitu, Kak. Tapi—” “Bacot, lo!” Claude menabrakan bahunya dan mendorong bahu Sky saat pemuda itu berjalan ke meja Bar. “Malem, Bos.” Bartender itu menyapa Claude. “Biasa. Dua, ya.” Claude mengawasi Sky yang sama sekali tak bergerak dari posisinya. Dalam hati, Claude menikmati wajah ketakutan Sky saat gadis itu terombang-ambing oleh penuhnya orang yang turun ke lantai dansa. “Lima tetes kan, ya?” Claude berbicara pada dirinya sendiri saat Bartender itu datang dan memberikannya minuman yang ia pesan. Karena mengawasi Sky dari kejauhan, Claude yang meneteskan obat itu tidak melihat jika Seal yang melindungi obat itu belum dibuka. Claude tidak menyadari jika obat yang ia tuangkan itu tidak menetes sama sekali. “Sini lo!” seru Claude saat Sky menoleh ke arahnya. Meski dengan perasaan takut yang menghinggapi dadanya, Sky akhirnya tetap memutuskan untuk menghampiri Claude. “Minum!” perintah Claude pada Sky yang menunduk ketakutan. Sky menggelengkan kepalanya. Gadis itu tahu jika yang Claude sodorkan padanya adalah minuman keras. Jelas sekali dari baunya yang menyengat. “Gue bilang minum, ya, minum!” Claude yang kesal itu memaksa Sky untuk membuka mulutnya dan menuangkan minuman itu dengan tangannya sendiri. Setengah gelas. Sky meminum setengah gelas. Tenggorokan gadis itu terasa terbakar begitu minuman keras melewati tenggorokannya. Sky akhirnya berhasil menepis gelas berisi minuman keras itu hingga terjatuh. Kegaduhan sempat muncul namun Claude bisa mengatasinya. “Dasar lo, cewek enggak tau diuntung!” Meski begitu, Claude tetap bernapas lega karena menurutnya, setengah gelas saja sudah cukup. Ditambah lagi kini Sky mulai meracau karena ia baru pertama kali meminum alkohol. “Gue ke room dulu.” Claude tersenyum pada Bartender yang hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya sebelum ia menggendong Sky ke kamar yang memang ada di klab itu. Claude masuk ke dalam kamar yang ia sudah pesan kemarin malam saat ia pergi ke klab itu bersama Julian. Julian bahkan sempat menertawakannya karena terlalu terburu-buru padahal masih ada hari esok. Namun Claude merasa beruntung karena sudah memesan kamar itu kemarin. Sebab ia akhirnya harus melakukan itu secepatnya. Saat Claude membanting tubuh Sky ke atas kasur, pemuda itu tanpa sadar telah membangunkan Sky yang hanya tertidur karena kepalanya terasa sangat sakit. “Dimana ini?” Sky bertanya dengan lirih saat ia membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sangat sakit. “Lo bangun?” Bukannya takut karena korbannya tersadar, Claude yang tengah memulai aksinya untuk melucuti pakaian Sky malah tersenyum senang. “Bagus, deh. Jadinya gue enggak main sama bangke.” “Kakak ngapain?” tanya Sky yang setengah sadar itu. Tubuh Sky menegang saat Claude menjelajahinya dengan tangannya yang terasa hangat di atas kulit gadis itu. “Lo jangan belaga bego, lah.” Claude tertawa mengejek. Sky yang merasa tidak tenang dan perasaan ketakutan yang tiba-tiba saja mengirim sinyal bahaya ke otaknya pun berusaha untuk bangkit. “Lo mau ngapain?” tanya Claude yang kini malah menahan kedua tangan Sky dengan satu tangannya. Saat itu, kesadaran Sky kembali sepenuhnya. Meski sakit kepala yang begitu sakit menyerangnya, dengan sekuat tenaga Sky mencoba melawan. “Gue enggak mau!” Sky berteriak ketakutan namun itu malah membuat Claude semakin senang karena merasa memiliki tantangan. “Lo jangan sok suci, lah.” Claude memaksa untuk mencium Sky meski gadis itu terus saja berontak. “Gue bilang diem, ya diem, anjing!” Claude memukul kasur yang berada tepat di sebelah wajah Sky. “Gue mau pulang!” Sky berteriak ketakutan. Tubuh gadis itu bergetar hebat. Claude yang berada tepat di atas tubuh gadis itu pun merasakan ketakutan yang Sky rasakan. “Lo enggak bakalan bisa pulang.” Sky melihat jelas seringaian dari wajah tampan Claude yang berubah menjadi sangat menyeramkan di matanya sebelum pemuda itu lagi-lagi memaksa untuk menciumnya. Saat Claude menciumnya, Sky menangis. Air mata gadis itu mengalir dengan jelas dan Claude yang melihat itu sempat diam dan terpaku. Untuk pertama kali dalam sepanjang hidupnya, Claude merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan. Namun ingatan Claude tentang Action Figure Iron Man yang ia idam-idamkan, serta ancaman perjodohan dari Sam membuat Claude kembali gelap mata. ***** Sore ini, Gabe lagi-lagi menghindari adiknya. Tanpa tujuan yang jelas, pemuda itu berputar-putar mengelilingi ibukota dengan mobil sportnya. Tak perduli berapa banyak bensin yang akan ia habiskan, Gabe terus saja berjalan tanpa arah sampai akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah Julian. “Tumben lo sendirian.” Gabe yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke kamar Julian merasa janggal dengan Julian yang bermain Playstation sendirian disana. “Apa?” Julian yang melihat Gabe datang langsung melemparkan Joystick yang tak ia gunakan. “Main, lah. Bosen gue.” Mereka berdua pun memainkan game kesukaan mereka. “Tumben Claude belom dateng?” tanya Gabe di tengah-tengah permainan mereka. “Iya, lah. Dia kan sekarang lagi main.” Julian tertawa. “Main?” Gabe menaikan sebelas alisnya. “Iya. Makanya enggak bakalan dateng.” Julian terus saja menekan tombol-tombol di Joysticknya untuk mengalahkan Gabe. “Tumben dia main sendiri.” Gabe bertanya-tanya karena tidak biasanya Claude pergi tanpa mereka berdua atau salah satu diantara mereka. “Siapa yang bilang dia main sendiri?” Julian tertawa lagi. “Terus?” “Sama ceweknya, lah.” Mendengar penuturan Julian, jelas saja Gabe terkejut. “Ceweknya? Yang mana?” tanya Gabe memastikan. “Itu, anak beasiswa yang culun. Siapa sih, namanya? Lupa gue. Skylar, ya?” Julian mengingat-ingat. “Oh.” Gabe yang tak curiga sedikitpun hanya berkata seperti itu. “Tapi beruntung banget sih tuh anak,” ujar Julian. “Siapa?” Gabe dibuat bingung dengan pernyataan Julian. “Claude, lah. Sekali dayung, dua pulau terlampaui.” “Maksud lo?” Gabe benar-benar tidak mengerti dengan arah pembicaraan Julian. “Lo enggak tau? Claude semalem kegep sama nyokapnya. Terus dia diancem mau dijodohin gitu minggu depan.” “Hubungannya apaan sama ngedayung?” tanya Gabe yang masih saja heran. “Iya. Kan gue sama dia taruhan. Gue minta dia percepat, lah, taruhannya. Kelamaan anjir nungguin dia tidurin cewek doang. Yaudah, gue kasih waktu dia tiga hari buat main sama tuh cewek. Dia malah nantangin dua hari. Terus karena semalem nyokapnya ngancem dia, jadi ... ya, sekarang dia lagi beraksi.” Julian berbicara tanpa beban. “Beraksi? Beraksi apaan?!” “Yaaaaa tidurin tuh cewek, lah. Makanya gue bilang sekali dayung dua pulau terlampaui. Gue kan minta dia kasih gue bukti kalo dia udah main sama tuh cewek. Foto, kek. Video, kek. Terserah, lah. Yang penting bukti. Kalo dia bisa buktiin, dia dapet Iron Man, kan? Terus kalo bukti itu tersebar, dia enggak jadi di jodohin, deh. Lo ngerti kan maksud gue?” Julian memainkan alisnya. “Sekarang dia dimana?!” tanya Gabe yang terkejut bukan main dengan penuturan Julian. “Di Club X, lah. Dia semalem udah booking kamar juga disana. Pinter, kan?” Julian yang tak menyadari perubahan air muka Gabe lagi-lagi tertawa. “Kamar?! Nomor berapa?” Gabe benar-benar tak menyangka jika temannya akan berbuat sejauh itu. “Berapa, ya? Kamar tiga belas kalo enggak salah.” Julian mengedikan bahunya acuh. “Anjing lo pada!” Gabe bangkit dari duduknya dan melemparkan Joystick milik Julian. “Lo mau kemana?” tanya Julian saat Gabe pergi dan membanting pintu kamarnya. Pemuda itu mengendarai mobilnya dengan gila-gilaan, tanpa perduli jika ia akan membahayakan nyawa orang lain karena aksinya di jalanan. “Cewek bego!” Gabe berteriak marah dan beberapa kali memukul kemudinya.   *****    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD