BAB 14

1350 Words
Janied masuk ke kamarnya tidak berniat mencampakan Saima yang jelas-jelas terangsang. Karena bukan hanya Saima, dirinya pun harus menuntaskan masalahnya sendiri. Janied tidak mau lagi meniduri sahabatnya itu. "Sial." Janied duduk di atas closet, mengeluarkan ereksinya yang panjang dan mengeras. Menggenggam penisnya sendiri dengan kelima jari; menutup matanya ketika gerakan naik-turun membuat adrenalinnya naik. "Damn it, Saima!" Janied mengumpat ketika sisa gairahnya berhasil keluar. Lelaki itu mengatur napasnya sebentar sebelum mencuci tangan dan kembali menghampiri Saima untuk menyuruhnya tidur di kasur. Karena Janied tidak akan bisa tidur lagi. Manajernya meminta Janied membaca email. Janied keluar dari kamar, Saima benar-benar tertidur dan ia menemukan ponsel Saima di atas meja dekat sofa. Notifikasi berbunyi. Rama Mavheen: Saima, mas lupa bertanya. Kamu mau menu apa untuk dinner besok? Rama Mahveen: Maaf mengirim pesan sangat larut, balas besok pagi saja. Selamat malam Oh, beneran deket sama anak presiden? Janied mengerutkan kening membaca pesan itu.  Ia menaruh kembali ponsel Saima ke tempat asal. Perempuan itu pasti kesal jika tahu privasinya dilihat. "Lo suka sama Rama Mahveen?" Janied melihat Saima, namun tentu saja perempuan itu tidak menjawab karena sudah terlelap. *** Rama punya apartemen kecil di dekat istana negara. Tentu saja kecil versi dirinya seharga 20 milyar dengan fasilitas yang sangat baik. Saima merasa tempat tinggal ini sangat nyaman dan bersih meski Rama hanya menempatinya jika lelaki itu ke Jakarta. Rama adalah sosok yang tenang dan perfeksionis. Contohnya ketika ia memotong wortel dan bentuknya tidak sama, ia membuangnya. Memulai dari awal. "Mas biasanya nggak memotong asal seperti ini. Mas gugup masak dilihat sama kamu." Begitu katanya. Saima terkekeh kecil, lucu mendengar lelaki dewasa mengatakan itu. Namun dari sana Saima jadi menyadari bahwa Rama menyukai hal-hal sempurna dan dirinya tak tahu apa bisa mengimbangi seorang Rama Arjuna Mahveen. Rama seharusnya mendapatkan perempuan yang sempurna juga bukan? "Mas, ini enak." Saima menikmati steak yang dibuat Rama. Sekarang ia mengerti mengapa Resolve—restoran Rama menjadi tempat favorit di Bali. Rama tersenyum. "Nanti Mas kasih resepnya." "Boleh? Bukannya ini rahasia perusahaan? Kalau aku jadi jago masak dan buka restoran untuk saingin Resolve, gimana?" "Nggak pa-pa. Kalau nanti kamu jadi istri Mas, bukan hanya resep steak yang Mas kasih." Saima tahu Rama hanya mencairkan suasana. Istri—itu terlalu jauh dikatakan sekarang. Meski keduanya tahu mungkin jika memang ditakdirkan mereka akan menikah, namun detik ini Saima tertekan dengan kalimat Rama. Saima berhenti menikmati makan malamnya, dan Rama tidak menyadari itu. Rama berkata, "Mas ditawari untuk jadi juri di ajang masak, tapi Mas nggak mau masuk TV." "Kenapa, Mas?" "Nanti ada berita tentang Mas—kehidupan pribadi Mas." Saima hanya menatap Rama yang sangat tampan malam ini. Rama balas menatapnya, "Apa Janied baik-baik aja? Mas mendengar ada kabar ya kurang enak." Saima meminum airnya mendengar nama itu. "Iya. Fotonya sama perempuan kesebar." "Mas harap Janied bisa menyelesaikan berita ini." "Mas," "Iya?" Kata-kata Saima seperti tertahan di tenggorokan. "Janied meminta bantuan aku." "Bantuan? Maksud kamu?" "Dia," Saima menghela napasnya, "dia mau aku jadi tunangannya lagi." Rama tidak menjawab untuk beberapa saat lalu bertanya, "Perempuan di foto itu bukan kamu kan, Saima?" "Bukan, Mas." "Lalu? Mas tahu kalian berteman sejak kecil, tapi Janied sudah dewasa. Kamu nggak perlu terlibat untuk sesuatu yang bahkan nggak kamu lakukan." "Aku nggak akan jadi tunangan yang benar. Dia hanya meminta aku berpura-pura. Perempuan di foto itu cinta sejatinya Janied." "Saima," Rama menatap perempuan itu. "Kenapa kamu mau menolong Janied?" "Karena... aku nggak tahu." "Lihat? Kamu nggak punya kewajiban membantu skandal Janied. Kamu nggak berhutang apa pun kepada Janied." Rama salah. Saima tahu apa yang ia lakukan dulu. Tujuh tahun lalu Saima sengaja tak memberikan alamat Radmila. Empat tahun lalu Saima sengaja tidak datang ke pesta pertunangannya dengan Janied. Saima memiliki banyak hal yang harus dirinya bayar kepada Janied. "Aku harus membantu Janied, Mas. Menurut aku nggak akan terjadi apa-apa karena ini hanya pertunangan bohongan." Saima tidak tahu apa yang ia katakan. "Aku...." "Bagaimana dengan saya, Saima?" Rama berujar sendu, perlahan mengambil tangan Saima untuk ia genggam. "Saya menjanjikan kamu hal yang nyata—bersama saya. Mengapa kamu berniat mengambil ilusi yang ditawarkan Janied?" Saima melepaskan genggaman itu bahkan tak berani menatap Rama. "Mas, di luar sana masih ada yang lebih dari aku. Lelaki baik seperti Mas Rama pantas mendapatkan perempuan yang baik juga. Maaf, Mas." "Saima," "Aku minta maaf. Aku nggak bisa sama Mas Rama."  *** Janied berada di gedung agensinya, tepatnya di ruang pribadinya. Janied ditatap oleh manajernya yang berkata, "Cara lo handle berita ini adalah melakukan birthday party dengan penggemar? Pengalihan isu?" Janied duduk dengan santai tanpa melepaskan kacamata hitamnya. "Nanti juga beritanya hilang." "Memang iya, tapi akan lebih rumit kalau suatu hari nanti mereka tahu siapa perempuan di foto itu, Janied. Dari manajemen sama sekali belum bikin pernyataan apa pun. Lo nggak membantah atau mengiyakan." "Gue mau fokus sama For-J." Janied menjawab lagi manajernya yang terlihat bingung. For-J—adalah nama fans yang dibuat oleh penggemarnya sendiri sejak awal dirinya berkarir. "Minggu depan gue ulang tahun pasti mereka udah nyiapin banyak project dan yang bisa gue lakukan adalah memberikan fanservice dengan baik," kata Janied. "Lo bisa mengunggah pengumuman tentang private birthday party di i********: pribadi gue. Hanya undang 26 orang aja, make it exclusive." Lanisa sudah pusing dengan gosip yang beredar, sekarang ia punya tugas lebih berat lagi karena mensortir 26 orang dari 17 juta followers Janied di i********: jelas sangat sulit. "Oke." Manajer Janied Elang Hartono itu menghela napasnya. "Mas," Sani, asisten Janied masuk ke ruangan dan mendekati sang penyanyi itu. "Mas, ada Kak Saima nunggu di lobi." Janied mengerutkan kening beberapa saat. "Saima? Suruh masuk ke sini aja." Sani mengangguk, ia keluar dari ruangan pribadi Janied untuk menjemput seorang perempuan yang ia ketahui adalah sahabat Janied. Begitupula dengan manajer Janied yang kembali ke ruangannya untuk mengatur ketentuan birthday party. "Gue menelepon lo tapi nggak diangkat." Saima membuka pintu setelah mengetuk. "Penting?" Nada suara Janied sangat tenang. "Duduk, Sai. Ada s**u kotak di sini tapi kalau mau minum yang lain gue bisa suruh Sani." "Nggak usah." Saima duduk di hadapan Janied yang terlihat sangat santai menggunakan celana jeans dan kaus putih polos. Hanya mereka berdua di ruangan ini dan Saima melihat di dinding ada beberapa cover dari lima album Janied yang dicetak besar. Juga beberapa foto Janied saat konser. Saima beberapa kali melewati gedung agensi Janied, tapi belum pernah mampir apalagi masuk ke ruangan pribadi Janied. "Apa lo masih mau gue membantu lo?" tanya Saima mencoba mengalihkan tatapannya dari jari-jari besar Janied yang menusukkan sedotan kepada kemasan s**u kotak. Dia harus fokus pada tujuannya. Janied meminum s**u kotaknya sebelum menjawab, "Membantu? Menjadi tunangan gue maksud lo?" "Tunangan bohongan lo," koreksi Saima. "Ya, itu. Apa lo masih perlu gue?" "Seingat gue lo nggak mau. Kenapa lo berubah pikiran?" "Apa penting? Menurut gue yang penting sekarang adalah gue membantu lo." "Rama Mahveen?" Saima mengerutkan kening. "Kenapa lo bawa-bawa Mas Rama?" "Lo lagi dekat sama dia, kan?" Janied menatap Saima tanpa ekspresi. "Apa yang akan dia katakan." "Dia tahu." "Lo bilang tentang rencana gue?" "Lo juga bilang kepada keluarga lo. Gue percaya sama Mas Rama." Atau Saima hanya merasa bersalah jika harus berbohong kepada Rama. "Oke." "Oke apa, Janied?" "You're my fiance—again." "Semudah itu?" Janied mengangkat bahu. "Jangan buat ini sulit, Saima, ini kan cuma bohongan. Apa lo perlu kontrak agar lo yakin lo cuma tunangan palsu gue?" "Ya, kontrak, maybe." Saima bahkan tak tahu ini ide yang benar atau tidak. "Oke, gue akan buatkan lo kontrak." "Untuk berapa lama pertunangan bohongan ini, Janied?" "Tiga bulan, cukup untuk gue." Tiga bulan, dan setelah itu aku bisa pergi. Saima berkata di kepalanya. "Tiga bulan untuk mendapatkan Radmila lagi, kan?" Janied membiarkan pertanyaan Saima karena ia berjalan ke arah mejanya yang terdapat telepon yang terbuhung ke ruangan manajernya. "Lanisa, lo bilang sama media gue siap presscon sore ini." "Untuk apa, Janied?" tanya Lanisa dari telepon. Artisnya sangat labil akhir-akhir ini "Memberikan konfirmasi. Perempuan di foto itu adalah tunangan gue." "Jangan konyol, Janied. Pacar aja nggak punya apalagi tunangan." "I'm serious," kata Janied. "Undang semua media, gue akan mengatakan kepada publik kalau Saima Searajana adalah tunangan gue." [] - instagram; galeri.ken
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD