BAB 13

1763 Words
"Bukannya berita ini akan mereda dengan sendirinya?" Janied mengerutkan kening mendengar kalimat Saima. Bagai lelucon menurutnya. "Ya, tapi kalau gue nggak ngasih statement apa pun mereka akan penasaran siapa perempuan yang ada di foto itu." "Lalu rencana lo?" "Mengatakan kepada publik kalau perempuan di foto itu adalah lo." Saima berkata tenang, "Lo bisa melakukannya tanpa perlu mengajak gue berpura-pura jadi tunangan, Janied." "Lo nggak mengerti, Saima?" Janied menatap perempuan itu. "Gue akan mengatakan kepada publik bahwa gue makan sate bareng lo. Apa alasannya? Karena kita akan bertunangan dan sedang kencan malam itu." "Why? Agar publik nggak mencari tahu Radmila, ya?" "Supaya Radmila merasa kesal karena nggak gue anggap. Gue berniat membuat dia cemburu. Lo akan membuat dia cemburu." "Lo sangat mencintai Radmila, gue mengerti. Tapi..." Saima menghela napasnya, "lo nggak bisa menutupi skandal dengan skandal, Janied. Lo boleh bilang ke publik seolah perempuan di foto itu gue, kita makan malam biasa sebagai teman." "Teman? Gue mau Radmila melihat bahwa kita bersama lagi. Gue mau membuat Radmila cemburu sampai dia sadar bahwa dia menginginkan gue." Janied menekan setiap kalimatnya. "Saima, lo yang membuat gue kehilangan Radmila. Kalau tujuh tahun lalu lo memberikan alamat Radmila, gue nggak perlu meminta lo berpura-pura menjadi tunangan gue." Dari kalimat Janied, Saima merasa dimanfaatkan. namun di sisi lain rasa bersalah selalu mengejarnya. Janied berhak marah. Memang Saima punya alasan mengapa tidak memberikan alamat itu, dan Janied tidak perlu tahu apa yang terjadi. "Gue nggak bisa, Janied." Saima menggeleng. "Nggak bisa apa? Mempertanggung jawabkan perbuatan lo tujuh tahun lalu?" "Gue nggak bisa menjadi tunangan lo lagi meski ini cuma pura-pura." "Beri gue waktu mendapatkan Radmila lagi. Tiga bulan?" "Nggak bisa, Janied." Saima terus menjaga suaranya agar tetap tenang. "Gue setuju punya hubungan sama Mas Rama. Gue harus bilang apa sama dia kalau gue mengikuti rencana lo? Ini konyol, Janied." "Lo serius sama Rama Mahveen?" Janied terpaku beberapa saat mendengar penjelasan Saima. Kemudian tertawa sarkas. "Lo egois." "Janied...." "Lo selalu melakukan apa yang lo mau, Saima. Tujuh tahun lalu, empat tahun lalu, dan sekarang pun lo sama aja. Lo sangat egois." *** Arik Dierja Hartono membawa calon istrinya, Dila Mahira ke kediaman orangtuanya. Arik menggandeng Dila ke meja makan dan suasana menjadi tidak terlalu ramah. Arik melihat dua adiknya, Cassie dan Janied beragumen. "Lo mau memakai Saima untuk menutupi skandal lo? Apa lo gila, Janied Elang Hartono???" Cassie menaikkan suaranya. "Saima bukan lagi tunangan lo!" "Kakak marah sekarang tapi kenapa Kakak nggak marah empat tahun lalu saat Saima mempermalukan gue, adik kakak sendiri!" "Jadi sekarang lo balas dendam sama Saima?!" "Gue nggak balas dendam, Kak Cassie! Gue cuma mau Saima membantu gue!" "Apa kalian berdua sudah selesai berteriak?" Selina Hartono melerai dua anaknya. "Kita bisa bicarakan ini baik-baik." "Apa yang direncanakan Janied itu nggak baik, Mama." Cassie tetap pada pendiriannya. "Saima nggak tahu apa-apa soal foto yang tersebar itu, kenapa harus Saima yang tanggung jawab?" "Janied, kamu berniat berpura-pura bertunangan? Bukannya menyelesaikan masalah, kamu akan menambahnya. Kalau keluarga Saima tahu, mereka nggak akan menerima." Ayahnya, Tuan Haris Hartono berkata. "Kamu harus berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu." "Mama juga nggak setuju kamu mempermainkan pertunangan hanya untuk mendapatkan kembali seorang perempuan." Selina mencoba memberi pengertian. "Ini bukan lelucon, Janied. Kamu seorang Hartono. Pikirkan juga karir kamu." "Aku hanya berpura-pura bertunangan dengan Saima sampai Radmila Mega kembali kepada aku, ini nggak akan lama." Janied berujar. "Apa aku nggak boleh memperjuangkan cinta aku, Mama?" "Bego." Cassie tak tahan dengan pikiran adiknya. Dulu Janied sangat menyenangkan, entah kenapa adiknya menjadi seperti ini. "Obsesi kepada cinta masa SMA lo mungkin akan membuat lo kehilangan semuanya, Janied. Wake up!" "Stop." Arik membuka suaranya. "Kita semua di sini untuk makan malam, bukan saling berteriak. Aku sangat lapar, bisa kita mulai?" "Kita makan sekarang." Selina Hartono memberikan senyum kepada anak sulungnya dan langsung menyuruh pelayan di rumahnya untuk mengambil sampanye agar suasana tidak terlalu gelap. Dila Mahira yang duduk di sebelah calon suaminya berbisik pelan, hanya Arik yang bisa mendengar. "Mas, Janied pernah bertunangan?" Arik mengangguk. "Ya, empat tahun lalu dengan Saima Searajana. Tapi Saima nggak pernah datang ke pesta pertunangannya."  *** Ting! You got a new message. Rama Mahveen: jangan lupa mas mengundang kamu besok malam Saima Searajana: mas mau masak kan? Rama Mahveen: ya, mas masak untuk kamu Saima membaca pesan yang dikirimkan lelaki itu dan tersenyum kecil ketika Rama menyebut dirinya sendiri dengan panggilan "mas" sehingga mereka berdua terasa lebih dekat dari sebelumnya. Wanita itu menutup laptop setelah menyelesaikan pekerjaan di cafe khusus coklat tak jauh dari apartemennya. Lalu Saima tak sengaja mendengar pembicaraan dua gadis berseragam SMA di sebelah mejanya. "...Mas Janied sama sekali belum upload apa pun di i********:. Gue khawatir." "...Iya, anjir. Gue benci banget sama akun yang bagiin fotonya ke sosmed." "...Menurut lo itu beneran dia?" "...Kayanya iya??? Potek ya kalau beneran punya cewek. Tapi lebih penasaran siapa cewek beruntung yang dapetin Janied Elang, sih." "...Gue follow akun manajernya dan nggak ada update juga." Saima pergi ke kasir untuk membayar minumannya sehingga ia tak mendengar pembicaraan seputar Janied lagi. Pulang ke apartemen. Namun Saima tak suka karena ia jadi memikirkan kata-kata dua gadis SMA itu. Janied sangat aktif di akun sosmednya, dan jika sang penyanyi itu mendadak tak mengunggah apa pun setelah gosip muncul tentu saja membuat bertanya-tanya. Saima mendapatkan telepon dari Cassie. "Kak Cassie ada apa?" tanyanya. "Apa Janied di apartemen lo?" "Nggak, Kak." "Atau mungkin dia pulang ke apartemennya." Cassie tak sadar bergumam. "Thanks, Sai. Sorry ganggu lo." "Iya, Kak. Janied nggak ada di sini, mungkin Kak Cassie bisa telepon dia buat memastikan ada di mana." "Gengsi. Gue lagi marah sama dia, Sai," ujar Cassie dari telepon. "Dia minta lo buat pura-pura jadi tunangan, kan? Gue tahu. Janied bilang sama ortu dan gue marahin." Cassie melanjutkan, "Janied membuat sendiri skandalnya dan lo nggak perlu menolong dia, Saima. Tapi gue takut dia mati karena nggak ada kabar bahkan manajernya aja nelepon ke rumah ortu." Saima mendengarkan kata-kata Cassie. "Nanti gue coba hubungi Janied." Setelah panggilan dengan Cassie selesai, Saima menghubungi Janied namun tidak diangkat. Sekarang pukul lima sore dan jarak ke apartemen Janied tidak terlalu jauh. Saima pergi. Keamanan di apartemen Janied sangat ketat, namun lelaki itu pernah memberikan kartu akses kepada Saima sehingga ia bisa memakai lift menuju lantai unit Janied. Saima mengetuk beberapa kali, tidak ada jawaban. Sebenarnya ia tak mau menekan password pintu, tapi dirinya harus masuk. "Janied?" Saima memanggil pria itu. Hening. Saima mencari Janied hampir di setiap sudut apartemen, kecuali ruang khusus yang biasa Janied pakai untuk rekaman dan membuat lagu. Saat pintunya terbuka, Saima menemukan Janied. Duduk di atas kursi dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Kepalanya ditaruh di sana. "Janied," Saima merendahkan tubuhnya untuk melihat apakah Janied tertidur. Saima menyentuh tangan Janied karena merasa suhu ruangan terlalu dingin. "Lo demam. Janied, bangun. Jangan tidur di sini." Janied membuka mata, merasakan pening hebat di kepala. "Jam berapa?" "Lo tidur sejak kapan?" Janied menggeleng, tampak belum sadar sepenuhnya. "Haus." "Iya gue akan ambilkan minum dan lo harus pindah ke kamar." Saima membangunkan tubuh Janied yang lebih besar darinya. Janied berjalan tidak terarah, belum sampai ke tempat tidur sudah ambruk di sofa. Matanya kembali tertutup. Saima mengambil segelas air putih untuk Janied, menempelkan tangannya di dahi pemuda itu "Demam lo tinggi, Janied." "Gue nggak pa-pa." Janied menjawab, tanpa membuka mata. "Tunggu di sini." Saima berlari ke kamar Janied, mengambil selimut untuk pria itu. "Janied, mau gue hubungi dokter pribadi keluarga lo?" tanya Saima setelah membenarkan posisi tidur Janied di sofa dan menyelimutinya. "Gue nggak pa-pa." Janied mengatakan hal yang sama. "Biarin gue tidur." *** Saima tidak sadar ia malah tertidur saat menunggu Janied di sofa. Malah sekarang tubuhnya yang terbungkus selimut bahkan Saima ada di atas kasur Janied. Lelaki itu memindahkannya. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh menit. Sudah larut dan Saima seharusnya tidak tertidur. Saima keluar dari kamar Janied, mendengar alunan nada piano. Janied memainkan sebuah lagu yang terdengar begitu tenang namun juga sendu. "Lo tahu, lagu yang lo denger barusan adalah instrumen yang nggak pernah gue selesaikan." Janied mengatakan itu ketika ia sadar ada langkah kaki mendekatinya. "Demam lo turun?" Saima menanyakan hal lain. "Gue udah nggak demam." Janied membalikan tubuhnya, mereka berdua bertatapan. "Lo mau pulang?" Saima seharusnya berkata iya tapi ia ingin tahu mengapa Janied sampai tertidur di kursi. "Gue boleh pinjam sofa lo malam ini? Gue nggak bawa mobil, males panggil taksi," kata Saima entah mengapa ia malah berniat lebih lama di sini. "Oke." Janied mengatakannya tanpa nada lalu memainkan piano itu lagi dengan lagu yang sama. "Apa judulnya? Lagu yang lo mainin." Saima berdiri di sebelah Janied, melihat pada jari-jari lelaki itu yang telaten menekan tuts. "Belum ada judulnya, lagunya aja nggak selesai." "Kenapa?" Janied tidak menjawab. Saima menekan satu tuts, membuat Janied berhenti memainkan lagunya. "Bukannya lo harus tetap memberi judul meski lagunya nggak selesai?" Saima bertanya dan melanjutkan menekan tuts yang lain. Membuat nada asal. "Sit with me." Janied bergeser, ada tempat sedikit agar saima duduk. "Mainkan satu lagu yang lo mau." Saima duduk di sebelah Janied, menggerakan jarinya agar menyusun musik yang enak didengar. Saima merubah-ubah melodi karena ia tak bisa berpikir satu lagu saja ketika Janied merengkuh tubuhnya dan menaruh dagunya pada bahu Saima. "Janied," "Keep playing." Janied menyentuh jari-jari Saima yang kontras dengan jarinya yang hangat dan besar. Saat Janied mencium lehernya, Saima tak bisa bermain piano lagi. "Janied...." "Sshhh, it's me. Rilex." Bibir Janied mengecup leher wanita itu dengan perlahan, napas Saima seakan terhenti. Janied mendudukkan Saima pada pangkuannya dengan sangat mudah. Saima tidak tahu apa maksud Janied namun lelaki itu mengusap pahanya dan sengaja menaruh wajah di antara d**a Saima. Janied membuka kancing kemeja yang dipakai Saima, memperlihatkan payudaranya yang dilindungi bra hitam dengan renda cantik. Janied menengadah, menatap wanita itu yang menggigit bibir bawah. Satu tangan Saima meremas rambutnya. "Boleh?" Janied memastikan, dan Saima sepertinya tak bisa berpikir ketika Janied melepaskan bra miliknya, mencium payudaranya dan mengulumnya seolah Janied mendapatkan madu dari sana. Cengkraman pada rambut Janied bertambah ketika Janied menggunakan lidah untuk bermain-main dengan p*yudaranya. "Hmm." Saima bergumam. "Sensitif." Janied menyukai desahan yang tertahan dari mulut Saima. Ia mengulum kedua p******a Saima bergantian menggunakan bibirnya bahkan sengaja memprovokasi wanita di pangkuannya dengan cara meremas pinggul Saima. Janied tersenyum sinis melihat ekspresi Saima yang terpuaskan. Ia berhenti bermain-main dengan p*yudara wanita itu, dan kembali mengancingkan kemejanya. Janied menurunkan Saima dari pangkuannya, menatap wanita itu dan mengecup kening Saima lalu pergi ke kamarnya tanpa mengatakan apa pun. Saima termenung. Tak mengerti segalanya. Tak mengerti kepada lelaki bernama Janied Elang Hartono. [] - Follow me on i********:; galeri.ken
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD