Mata suamiku tampak berkaca sebelum dirinya mengambil waktu dan berucap sesuatu. Menanggapi apa yang menjadi pintaku belum lama ini. "Baik, aku terima syarat yang kau berikan, tapi jangan pernah menyesal jika anak itu sampai tak tahu siapa ibunya." Meski pelan, ucapan Darren yang terdengar dingin, entah kenapa efeknya terasa menusuk dan menembus sampai ke tulang. Membuat tubuhku sontak bergetar mendengarnya. Seketika, terjadi perang batin dalam diriku. Antara ingin mencoba acuh tak acuh atau ambil peduli akan ucapan lelaki 25 tahun yang baru beberapa hari ini menjadi suamiku. Ah, tidak masalah, Indah. Bukankah anak ini cuma aib yang tak pantas untuk kau pikirkan? Bukankah anak ini cuma beban yang akan membuatmu terlihat hina di mata orang? Pikiran jahat dalam diriku berbisik demikian.