Awal dari semuanya

1057 Words
Sesampainya di sekolah, aku melihat beberapa orang yang memakai pakaian bebas sedang duduk di dalam kelas menatap ke arahku. Cukup ramai mata yang memandangku membuat aku sedikit gugup karena mereka melihatku dengan aneh. “Ehh kamu anak baru ya? Coba sini perkenalkan diri,” ucap seseorang yang aku duga adalah guru di tempat itu. Aku mengangguk sambil berjalan ke arah depan dan melihat semua yang memandangku dengan aneh. “Perkenalkan, namaku amanda Sally. Kalian bisa memanggilku Sally, usiaku 16 tahun dari Tangerang, salam kenal,” ucapku dengan wajah yang berusaha ramah. “Wahh 16 tahun? Tangerang jauh amat? Kok bisa sampai sini?” tanya seseorang yang tampaknya akan menjadi biang keributan di dalam kelas itu. “Iya, dulu aku sempat tinggal di dekat sini beberapa waktu. Jadi, aku daftarnya di sini deh,” kataku menjelaskan. Mereka pun hanya mangut-mangut tanda paham. Terpancar dari anak lelaki di sebelah kursi kosong yang hanya tinggal satu ia tersenyum simpul padaku, aku tak ikut tersenyum karena aku tak begitu menyukai wajahnya yang terlihat seperti badboy. “Ah baiklah, Sally hanya ada kursi kosong di sebelah Fabian. Kamu duduk di sana ya,” perintah Pak Deny, aku mengetahui nama guru itu dari name tag yang berada di seragam guru itu. Aku lagi-lagi hanya mengangguk sambil melangkah menuju kursi kosong satu-satunya di sebelah Fabian. Fabian tak tersenyum lagi, ia hanya menggeser kursinya agar aku bisa duduk. Aku duduk di sebelah Fabian dengan sedikit risih, beberapa kali aku melirik Fabian yang tampak duduk santai menyenderkan punggungnya di kursi sambil melihat Pak Deny yang sedang memperkenalkan dirinya. Sekolahku bukanlah sebuah SMA biasa melainkan sekolah informal yang biasa disebut sekolah paket. Aku memasuki kelas paket C yang setara SMA. Terlihat santai memang karena di paket C ini tak diwajibkan memakai seragam alias baju bebas asalkan sopan pun boleh dikenakan. Untuk alas kaki sendiri sama seperti sekolah biasa yang mewajibkan siswanya memakai sepatu, namun tak dibatasi harus memakai sepatu yang seperti apa. Tahun ini adalah tahun ajaran baru di mana aku baru saja masuk dan belajar di sekolah paket C yang katanya kurang bagus dalam sistem belajar, namun aku tetap saja menjalaninya lagi pula soal bisa atau tidak bukan tentang sekolahnya kan? “Kok kamu milih jauh-jauh banget sih? Padahal enakan yang dekat kan ga makan waktu juga?” tanya Fabian dengan penasaran, namun wajahnya tak melihat ke arahku membuat aku tak menjawabnya. “Aku ngomong sama kamu, Sally,” ucapnya lagi dengan penuh penekanan. Aku melirik Fabian dengan wajah bingung mengapa dia seolah ingin tahu sekali sih? Padahal aku sudah jelaskan tadi saat di depan kelas. “Aku kira sudah cukup jelas mengapa aku menetap di sini,” kataku seraya meraih pulpen dan bukuku yang masih kosong untuk menuliskan beberapa materi pelajaran yang dijelaskan oleh Pak Deny. Fabian tak menjawab, terlihat ia hanya melanjutkan tulisannya. Walaupun berwajah badboy, tapi jika dilihat sekilas sepertinya Fabian adalah anak baik. “Jangan menatapku seperti itu, saat jam istirahat nanti mari berkenalan, tapi sekarang belajar dulu,” kata Fabian yang merasa risih aku lirik terus. Aku tertawa kecil kemudian mengalihkan pandangannya pada papan tulis yang tak jauh dariku. “Azz, Pak Deny nulis yang bener dong!” seru Fabian yang terlihat kesal membuat Pak Deny menghentikan aktivitas menulisnya. Mendengar Fabian yang terlihat kalem berani menegur Pak Deny seperti itu tentu saja membuatku sedikit terkejut. “Maju sini! Kamu yang nulis saja kok ngoceh terus sih,” ujar Pak Deny menyodorkan spidolnya ke arah Fabian. Fabian mengambil spidol itu dengan ekspresi datar kemudian menghapus seluruh kerja keras Pak Deny dan menggantikannya dengan kerja kerasnya. Beberapa siswa yang melihat itu tertawa geli, tulisan Pak Deny memang seperti cacing yang sedang berjoget di papan tulis, namun tingkah Fabian membuat siswa-siswi semakin tertawa kencang. Brak! “Diam kalian!” teriak Pak Deny yang tampak tahu bahwa mereka menertawakan dirinya, mungkin hanya aku dan Fabian di sini yang tak tertawa sedikit pun. Mataku sedikit terpesona begitu melihat tulisan Fabian yang rapi dan tertata tidak seperti orangnya yang terlihat amburadul, tulisannya begitu jelas dan membuat mataku bisa kembali mencerna setiap kata yang berada di papan tulis. “Nah selesai!” seru Fabian dengan gembira sambil mengeluarkan ponselnya dari saku kemudian memotret papan tulis tersebut membuat mata pak Deny melotot dan membulat melihat Fabian. “Eitsss gak boleh marah, saya udah bantuin bapak loh. Hitung-hitung tulisan saya ini dipapan tulis dan ga usah dipindah ke buku, pegel,” kata Fabian sambil menyengir kemudian kembali ke sebelahku dengan wajahnya yang cool. Aku melihat Pak Deny yang menahan emosinya secepat mungkin ia mengembalikan mood mengajarnya. “Nah! Cepat selesaikan, ini tulisan udah jelas banget loh!” ucap Pak Deny yang terdengar menekankan kalimatnya sambil melihat ke Fabian. Aku hanya tertawa kecil melihat kekesalan guru tersebut. Sepertinya aku akan betah berada di sekolah ini. “Tahun depan kamu harus udah lulus ya Fabian! Udah 4 tahun kamu di sini tapi gak lulus-lulus,” kata Pak Deny yang tampak kesal dengan Fabian. Aku melihat ke arah Fabian yang tampak melihat ke arah luar jendela. Entah apa yang ia pikirkan hingga ia betah di sekolah ini padahal peluang untuk bekerja di luar sana sangatlah banyak. “Kamu lulus tahun depan?” tanya Fabian tiba-tiba melihatku dengan ekspresi datar. “Hem enggak, masih 2 tahun lagi. Memangnya kenapa?” tanyaku yang merasa bingung karena Fabian bertanya seperti itu. Dia menggeleng kemudian melihat ke arah luar jendela lagi seakan ada hal menarik di luar sana padahal hanya ada sebuah halaman kecil yang tampak kosong. Aku tak ingin menanyakan kenapa ia terlihat sedih begitu. Yang jelas suasana hatinya tak begitu baik untuk ditanyakan. Ting! ‘Sally, kenapa tidak mengabari ibu? Apa kau sudah sampai?’ Aku menepuk dahiku lupa bahwa aku belum memberikan pesan bahwa aku sudah sampai di PKBM. Aku menghela napas pelan sambil mengetikkan beberapa kalimat di ponselku. “Pftt, Kamu masih buat laporan sama ibu? Ish jarang banget cewek kayak kamu,” kata Fabian yang cekikikan melihat aku mengetikkan laporan untuk ibuku. “Apasih? Ini tuh cuma laporan biasa, apalagi ini pertama kalinya aku pergi sendirian. Ibuku terlalu khawatir,” ucapku sebal sambil memasuki ponselku ke saku kemeja yang aku kenakan. Fabian terdiam tak lagi tertawa geli seperti tadi. “Selagi masih ada orang tua yang perhatian hargai, kalau orang tua udah ga perhatian nanti kamu nyesel sendiri,” kata Fabian seraya keluar kelas tanpa izin pak Deny membuat Pak Deny kembali melotot.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD