Overprotektif
Jeruji besi transparan, begitulah aku menyebut sifat ibuku yang overprotektif”
**
Aku mendengarkan dengan jelas beberapa kalimat ibuku yang terdengar keberatan jika senin depan aku mulai berangkat sendiri ke sekolah, ini adalah pertama kalinya aku memulai perjalanan jauh seorang diri karena biasanya saat aku masih di sekolah menengah pertama selalu diantar oleh ibuku.
“Apa tidak bisa menyewa ojek saja untuk mengantarkan Sally bolak-balik?” tanya ibuku pada wanita di sebelahnya yang merupakan adik perempuan ibuku.
Tanteku tampak menghela napas jengah dengan pertanyaan ibu, begitu pun dengan aku yang merasa tak enak. Maklum saja karena aku masih menumpang di rumah tanteku sementara ibuku bekerja di luar.
“Gak bisalah, kak. Gak ada yang mau dibayar bolak-balik Tangerang-Jakarta Barat. Emang kenapa sih kalau Sally naik kereta saja? Sally bisa kan?” tanya tanteku melihat ke arah aku yang sedang duduk di hadapannya.
Aku mengangguk cepat, hitung-hitung aku belajar mandiri karena mulai senin depan aku sudah memasuki kelas 1 SMA.
“Tapi, kasihan Sally. Aku takut kalau dia kenapa-kenapa, lumayan jauh juga takut kalau dia nyasar terus kalau ada orang jahat gimana?” tanya ibuku dengan wajah memelas.
Aku menghela napas pelan, entah mengapa sifat ibuku yang seperti ini membuat aku sedikit risih. Kata orang, jika memiliki orang tua yang seperti itu tandanya beliau sayang pada kita, namun nyatanya tak semua perbuatan ibu membuatku berkembang.
“Bu, Sally sudah besar. Tahun ini Sally sudah memasuki usia 16 tahun loh, bukankah harusnya Sally sudah belajar mandiri? Sally sudah lumayan tahu jalan juga karena ibu sudah mengajarinya waktu itu, sekarang juga sudah ada ojek online yang bisa membawaku ke sekolah. Sally harus mandiri karena kalau tidak tentu saja Sally yang akan kesulitan sendiri,” kataku seolah meminta persetujuan dari ibu untuk menyetujui hal tersebut.
Tak ada cara lain akhirnya setelah memikirkan begitu matang ibuku menyetujui juga untuk aku berangkat sendiri ke sekolah mulai senin depan.
Rasa lega dan deg-degan bercampur aduk menjadi satu di dalam hatiku. Untuk mencapai ini semua tentu saja bukanlah hal yang mudah untuk aku yang notabenenya adalah anak tunggal.
Kata guruku saat sekolah menengah pertama, kalau anak tunggal itu ibarat jantung mama bener-bener dijaga banget.
Dulu, aku sangat ingat betul saat guruku yang biasanya dipanggil Pak Ipul yang mengajar PKN masuk ke kelas, jika ada kesempatan selalu saja membahas tentang si jantung mama. Entah apa maksudnya, tapi sekarang aku baru sadar aku si jantung mama ini tak pernah dibiarkan bebas oleh ibuku dengan berbagai alasan.
Akhirnya diskusi hari itu benar-benar selesai membuat aku tersenyum sumringah. Jujur saja karena ibuku yang terlalu banyak mempertimbangkan keselamatanku, ada beberapa orang yang malah mengira bahwa akulah yang tak pernah mandiri atau lebih parahnya aku dihina sebagai “anak mami” yang selalu mengandalkan orang tuanya dan lain sebagainya.
Bukan hanya sekali dua kali aku dibicarakan oleh tetangga depan rumah, tetapi berkali-kali karena sikap ibuku yang selalu membuatku terlihat tak bisa apa-apa.
Malu? Tentu saja untuk remaja seusiaku dan dibicarakan tak bisa apa-apa bukanlah sesuatu yang mudah dilupakan, sesekali rasanya aku ingin menutup mulut mereka dengan kotoran hewan agar tak sembarangan berbicara. Namun, hasilnya nihil lagi-lagi aku hanya memilih diam sebagai jalan pintas agar tak ada pertikaian
Aku menghela napas lega ketika memasuki kamar dan mendengar beberapa kali tante menasihati ibuku agar tak terlalu memusingkan yang sebenarnya aku bisa walaupun sebenarnya tanteku belum percaya juga kalau aku bisa sendiri.
Selalu diragukan, selalu ditanyakan “apa kamu bisa?” membuatku menjadi anak yang juga selalu mempertanyakan tentang jati diriku yang sebenarnya.
Aku percaya bahwa semua manusia pasti mampu melakukan sesuatu dengan caranya sendiri yang mungkin terlihat aneh oleh orang lain, namun itu dapat menyelesaikan masalah hidupnya. Akan tetapi, beberapa anak dilahirkan seperti aku yang selalu diragukan kemampuannya dan lain sebagainya.
“Sally itu orangnya lupaan, terus jaman sekarang juga kan banyak yang namanya hipnotis aku takut dia kenapa-kenapa, aku ragu dia bisa,” ucap ibuku dengan nada mengeluh.
Aku yang berada di dalam kamar masih bisa mendengar nada keluhan itu dengan jelas. Ibuku, tanteku bahkan keluargaku yang lainnya memang selalu mencap aku anak yang tak bisa apa-apa bahkan sampai usiaku yang mendekati legal masih saja dipertanyakan seperti itu.
Tubuh yang kurus, anemia, terlihat lemah gemulai membuat keluargaku kurang percaya jika aku bisa melakukan sesuatu.
Aku hanya bisa diam mendengar obrolan ibu dan tanteku yang berada di luar kamarku.
Andai mereka tahu, membuatku tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu seperti sedang memupuk bom waktu. Bisa saja rasa ketidakpercayaan diri yang selalu bersarang di dalam diri ini akan semakin besar karena ucapan-ucapan orang dewasa yang seperti itu.
Aku yang sudah tak tahan pun langsung membuka pintu dan menangis kesal membuat mereka terkejut.
“Jangan pernah bertanya seperti itu, kalau ibu memang tidak percaya ya sudah aku tak perlu repot-repot ke sekolah! Panggilkan saja aku guru agar aku bersekolah di rumah, tapi ibu juga gak ada uang kan? Terus aku harus bagaimana? Apa aku seumur hidup harus di dalam rumah? Aku juga mau seperti anak lainnya, anak sebaya aku yang bisa bebas ke mana aja. Bahkan aku melihat mereka tak pernah tertekan dengan semua aturan orang tuanya di rumah,” ucapku dengan nada keras.
Aku sudah tak peduli bagaimana tanggapan orang padaku, rasanya ingin sekali aku mengeluarkan uneg-unegku selama 16 tahun lebih hidup bersama orang tua yang overprotektif.
Sayang? Itu hanyalah sebuah alibi agar sang anak merasa bahwa hal itu dilakukan atas dasar orang tua peduli dan sayang padahal sang orang tua sedang memberikan pupuk yang tak baik untuk anaknya sendiri, entah sengaja atau tidak itu bukanlah hal yang bisa dibenarkan.
“Ibu tuh sayang sama kamu, Sal. Kan bener kalau kamu ada apa-apa siapa yang repot? Di luar sana banyak sekali kejahatan yang gak kamu tahu,” kata Eliza—itu adalah nama ibuku.
Lagi-lagi aku harus menahan emosiku agar tak kebablasan begitu saja apalagi terhadap orang tua.
“Ibu pikir dengan ibu bilang banyak kejahatan di luar sana bisa membuat aku berkembang? Aku akan selalu takut pada dunia luar karena dipupuk seperti itu. Apa ibu juga mau kalau bisa saja nanti orang tua yang lain melihat tingkahku yang aneh karena takut dunia luar?” tanyaku dengan ungkapan isi hati yang sudah menggebu-gebu sejak lama.
Jujur saja diragukan seperti ini sukses membuatku takut melakukan apa saja karena takut gagal dan takut.