Bab 3

1162 Words
"Kisahku denganmu seperti sebuah lagu. Kau ajarkan aku bahagia... kau berikan aku derita." - Dinda. Dinda mulai menyimak dengan baik bacaan ayat-ayat yang dilafalkan oleh neneknya, buku panduan shalat lengkap dari neneknya juga menjadi pegangan Dinda. Nenek Dinda mencontohkan cara berwudhu yang baik pada cucunya, Dinda mengikuti apa yang dilafalkan oleh neneknya, niat berwudhu. Nawaitul whudu'a lirof'il hadatsii ashghori fardhon lillaahi ta'aalaa, artinya Aku niat berwudhu untuk menghilangkan hadas kecil fardhu karena Allah ta'ala. Dinda memperhatikan setiap detail yang dilakukan neneknya, mulai dari membasuh telapak tangan sampai membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Selesai melakukan hal-hal yang perlu dibasuh atau dibersihkan dalam wudhu, Dinda mengikuti gerakan neneknya mengangkat tangan dan berdoa, Nenek Dinda melafalkan doa sesudah berwudhu di ikuti oleh Dinda. Mereka melanjutkan shalat berjamaah sampai tadarus. Tumbuh dan berkembang sebagai anak broken home, tak pernah membuat Dinda jatuh dan depresi, karena bagaimana pun Dinda juga tak pernah menginginkan situasi seperti ini. Dinda masuk ke kamarnya, meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dengan lincah kedua jempol tangan Dinda langsung beradu kecepatan di atas keyboard ponsel. Dinda mulai searching tentang Islam, agamanya yang selama ini hanya sebagai pengisi data di kartu keluarga, di lapor sekolah, di akta, dan dokumen-dokumen lainnya. Sebenarnya Dinda tak ada niat untuk mempelajari agama dengan dalam, karena dari kecil ia tak pernah dipupuk dengan keyakinan spiritual dalam keluarganya, hanya saja Dinda merasa... ingin mengenal Allah lebih dekat lagi, setelah mendengar apa yang dikatakan nenek Dinda 'Jika kamu takut pada Allah, kamu pasti tidak akan melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, kamu bisa mencintai orang lain dengan baik, tanpa benci dan pengkhianatan' Siapa anak broken home yang tidak ingin mengenal Allah jika begitu? Bahkan setiap orang pasti ingin hatinya bersih. Tapi setelah masuk pesantren, Dinda jadi sadar apa yang dipikirkannya selama ini salah. Takut pada Allah adalah kewajiban Dinda, Allah lah yang menciptakan semua yang ada di bumi. Harta, jodoh, maut, semuanya di tangan Allah. Sudah kewajiban kita sebagai seorang mukmin, hamba-Nya, umat Nabi Muhammad untuk percaya dan mengimani Allah SWT. *** Dinda bergegas dengan tumpukan buku tebal yang ada ditangannya, setelah bersalaman dengan neneknya, Dinda langsung berangkat ke sekolah. Saat ini Dinda sudah kelas 2 SMA, Minggu ke-2 di SMA tempatnya bersekolah. Dinda terus melangkah sampai ke sekolah, karena transportasi umum dari rumah Dinda sampai ke sekolah tidak ada. Jarak rumah Dinda sampai ke sekolah hanya 750 meter, jadi Dinda harus berjalan sejauh 1.5 KM setiap hari. Dinda sampai ke sekolah 5 menit lebih cepat sebelum bel masuk berbunyi, dengan langkah teratur Dinda melanjutkan perjalanannya sampai ke ruang kelas. Suasana kelas nampak cukup ramai, entah apa yang terjadi Dinda tidak tau, Dinda memilih duduk di bangkunya nomor 3 sebelah kiri. Kedua sahabat Dinda, Zahara dan Heni, belum nampak batang hidungnya, kebetulan saat kelas 2 Dinda masih sekelas dengan Zahara, dan Heni yang dulu saat kelas 1 beda kelas dengan Dinda, kini mereka sekelas. Beberapa murid perempuan mendekat ke arah Dinda sambil tersenyum lebar, seperti ada maksud tersirat di balik senyuman mereka itu. "Ada apa?" tanya Dinda dengan memasang ekspresi heran di wajahnya. Dinda tidak terlalu dekat dengan teman sekelasnya, kecuali Zahara dan Heni. "Dinda... lo lagi suka seseorang gak?" tanya salah satu teman kelas perempuan Dinda yang mendekat tadi. Dinda sedikit kaget mendengar pertanyaan temannya. 16 tahun dia hidup di muka bumi, sama sekali belum pernah merasakan cinta pada lawan jenis. "Eh... tidak," jawab Dinda jujur. "Wah! Kebetulan banget!" sorak salah seorang perempuan lain yang mendekati Dinda tadi. Heni sudah datang sambil melempar tasnya ke arah perempuan-perempuan yang mengerubungi Dinda. Heni hanya berpikir mereka sedang memanfaatkan Dinda, karena bagaimana pun Heni adalah perempuan yang peka, dia tahu ada seseorang di kelas ini yang menyukai Dinda, dan perempuan-perempuan yang mengerubungi Dinda saat ini, sedang menjadi b***k suruhan laki-laki b******k yang menyukai Dinda. Heni sangat tau siapa laki-laki itu. "Minggir!" seru Heni sambil menarik kursinya yang ada di sebelah Dinda, ya! Heni adalah teman sebangku Dinda. Murid-murid perempuan tadi jadi bubar satu persatu, ada yang berdecak sebal dan ada yang beraksi biasa saja. Heni sama sekali tidak menghiraukan ekspresi dan tanggapan mereka padanya. "Dinda! Jangan dengerin kata-kata mereka tadi, kamu hanya perlu belajar," jelas Heni sambil memasukkan tasnya ke dalam laci meja. "Memangnya kenapa? Mereka cuman menanyai apa aku lagi suka seseorang aja kok." Dinda menatap heran Heni. "Sebagai sahabat kamu, orang yang tau gimana hidup kamu, orang yang ingin kamu baik-baik saja. Lebih baik kamu tidak berurusan dengan cinta-cintaan pada masa sekolah ini." Heni meletakkan tangannya di atas meja setelah melihat guru matematika yang garang itu memasuki kelas. Ternyata bel sudah berbunyi 1 menit yang lalu. "Assalamu'alaikum!" sorak seorang siswi dengan hentakan nafasnya yang ngos-ngosan. "Wa'alaikumsalam..." jawab semua murid bersamaan. "Maaf Pak, saya terlambat," ucap Zahara, sahabat baik Dinda dan Heni. "Ok Zahara, kebetulan bel masuk juga baru berbunyi 1 menit yang lalu, ditambah mood saya sedang baik. Kamu silahkan langsung duduk!" seru guru matematika yang garangnya hilang hari ini. Zahara langsung berterima kasih dan menyalami gurunya itu, lalu langsung duduk di kursi depan. Pelajaran berlalu dengan tenang sampai bel istirahat berbunyi, selama yang mengajar adalah guru-guru yang garang, pasti murid-murid dijamin selalu tenang. "Ara," panggil Heni pelan pada Zahara. "Ya? Ada apa Heni?" tanya Zahara yang sedang mengeluarkan kotak bekal makan siangnya dari tas. "Makan di taman yuk!" ajak Heni ikut diangguki oleh Dinda yang kini berdiri di samping Heni. Seorang anak laki-laki mendekat ke arah mereka. "Dinda, bisa bicara sebentar?" tanyanya menatap Dinda. "Fauzi! Mau lo apaan sih!? Udah gue bilangkan? Jangan pernah lo dekat-dekat sama sahabat gue!" bentak Heni, untung saja semua murid sudah keluar dari kelas, kecuali mereka berempat. "Kenapa lo yang sewot sih Hen!? Kan gue cuman bicara sama Dinda," jelas Fauzi, ya anak laki-laki itu bernama Fauzi, teman sekelas Dinda sekaligus orang yang mencintai Dinda. "Ngomongnya di sini aja Fauzi, gak apa-apa kan?" tanya Dinda sambil tersenyum tipis. "Jangan Dinda! Kamu gak perlu berurusan sama dia, dia itu cowok b******k yang udah sering nyakitin perasaan anak orang! Aku yakin dia mau nembak kamu, tolak aja!" seru Heni. "Biarin aja Dinda yang memutuskan Heni, Dinda tau yang terbaik buat dirinya." Zahara yang dari tadi diam, kini mulai membuka bicara, "Dinda, ada banyak hal yang tidak disukai oleh Allah di muka bumi ini, salah satunya... memiliki hubungan dengan laki-laki lain yang bukan mahrommu." Zahara tersenyum tipis pada Dinda. "Heni! Ayo kita tunggu Dinda di taman," ajak Zahara lalu beranjak dari bangkunya sambil menarik tangan Heni. "Liat aja lo Fauzi! Kalau berani ngapa-ngapain Dinda!" ancam Heni pada Fauzi. Zahara langsung melepas tangan Heni saat sampai di pintu kelas. "Lah gak jadi ke taman Ara?" tanya Heni nampak bingung pada Zahara. "Udah! Kita ngintip dulu, laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom itu gak boleh satu ruangan, jadi kita harus mantau." Zahara mengintip dari balik kaca kelas, memantau gerak-gerik Fauzi. "Tau gitu, lebih baik kita di dalam aja tadi." Heni berdecak sebal. "Sssttt..." bisik Zahara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD